Jumat, 14 November, 2025

Krisis Otoritas Keilmuan di Era Influencer dan AI

Rengga Satria
Mahasiswa Program Doktoral (S3) SPs UIN Jakarta

Beberapa minggu ini di media sosial beredar postingan yang viral , curhatan seorang dosen dimana Ia diundang untuk mengisi acara di suatu kampus dan hanya dibayar Rp 300.000 oleh panitia. Pada kesempatan yang sama pembicara lain yang seorang influencer dibayar dengan nilai belasan juta beserta dengan riders-nya. Fenomena ini mungkin dimaklumi jika terjadi pada acara yang diadakan oleh masyarakat umum. Namun ternyata fenomena ini terjadi di lingkungan kampus yang seharusnya sangat menghargai otoritas keilmuan. 

Apa yang dialami oleh dosen tersebut sejalan dengan argumen Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise. Tom menyoroti fenomena dimana orang-orang yang memiliki banyak pengikut di media sosial lebih didengar dan diikuti pendapatnya dibandingkan seorang “pakar”. Seorang influencer dengan jutaan pengikut dianggap lebih layak didengar dibanding seseorang yang menyelesaikan pendidikan doktoral, membaca ratusan jurnal, dan menulis karya ilmiah selama bertahun-tahun. Dengan kata lain, otoritas keilmuan bergeser dari proses panjang pembentukan keahlian menuju angka engagement dan kemampuan mengelola citra digital. Pergeseran otoritas keilmuan ini tentu juga menjadi fenomena yang mengkhawatirkan dalam dunia Pendidikan Islam.

Masifnya gerakan digitalisasi dalam pembelajaran, dimana interaksi guru-murid tidak lagi terbatas ruang dan waktu, memungkinkan interaksi secara daring melalui platform digital seperti YouTube, WhatsApp, dan Telegram. Ditambah peserta didik dimasa sekarang adalah generasi yang menjadi “digital native”. Mereka bisa menghabiskan waktu belasan jam perhari untuk menggunakan smartphone, mengakses berbagai macam informasi dan tentunya berinteraksi dengan kecerdasan buatan atau generative AI seperti chatgpt, gemini, dll.  Di satu sisi, teknologi ini memudahkan peserta didik menghimpun dan mengelola informasi dengan cepat. Apa pun yang ingin diketahui dapat dicari hanya dalam hitungan detik. Peserta didik dapat mencari sumber belajar sendiri yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan zaman sebelum segala sumber belajar online ini mudah diakses. Namun di sisi lain, kemudahan ini membuat mereka sulit membedakan mana sumber yang otoritatif dan mana yang sekadar konten.

- Advertisement -

Informasi di ruang digital hadir tanpa hirarki, tanpa sanad keilmuan, dan tanpa proses validasi. Apa yang muncul pertama kali di beranda sering kali dianggap paling benar.

Terdapat kesamaan fenomena maraknya pemakaian hasil generative AI dengan tingginya penghargaan kepada influencer. Keduanya sama-sama dibesarkan dan dihasilkan oleh algoritma. Influencer diikuti karena algoritma. Sampai saat ini belum terdapat instrumen regulasi maupun teknologi yang dapat secara konsisten menilai kualitas konten dan memverifikasi keabsahan data yang digunakan.Begitu pula generative AI, jawaban yang disedikannya merupakan hasil olahan data raksasa di internet, bukan hasil proses verifikasi ilmiah. Penelitian bahkan menunjukkan bahwa AI dapat menghasilkan “ghost references”, istilah ini mengacu pada penyediaan referensi yang tampak ilmiah, tetapi sebenarnya tidak pernah ada. Bahaya ini tentu saja jarang disadari oleh pengguna biasa. 

Lalu bagaimana jadinya jika generasi penerus kita menggantungkan kebenaran pada algoritma yang tidak pernah dirancang untuk menilai kebenaran?

Dalam konteks Pendidikan Islam, ilmu agama adalah sesuatu yang bersumber dari sumber otoritatif. Ilmu agama tidak dapat dipelajari dengan menghimpun secara serampangan berbagai sumber informasi. Ada tradisi otoritas, metodologi, serta kaidah-kaidah disiplin yang harus diperhatikan. Pemahaman agama yang matang tidak lahir dari search engine atau rangkuman instan, tetapi dari proses belajar yang terarah dengan guru yang otoritatif.

Kemudahan yang didapat dari kecerdasan buatan seringkali membuat semua proses pencarian ilmu ini menjadi terabaikan. Peserta didik dapat bertanya pada AI dan mendapatkan jawabannya hanya dalam beberapa detik. Proses ini membuat ilusi bahwa ilmu dan kebenaran dapat diperoleh dengan cara yang sebegitu instan. Pernahkah peserta didik kita bertanya, dari mana AI mengambil informasi? Dapatkah peserta didik kita mengkritisi dan menyaring seberapa valid informasi yang dihasilkan oleh AI ?  Mampukah peserta didik mengkritisi jawaban tersebut jika mereka tidak lagi akrab dengan sumber-sumber asli dan otoritatif? Kita tentu tidak sedang menolak teknologi, tidak juga mengatakan bahwa Pendidikan Islam akan berseberangan dengan AI.

Tantangan kita sebagai pendidik justru memastikan bahwa peserta didik memahami posisi teknologi secara tepat, bahwa AI adalah alat bantu, bukan sumber kebenaran. Ia dapat meringankan pencarian informasi, tetapi tidak menggantikan sumber ilmu. Karena itu, tugas besar kita hari ini adalah menumbuhkan literasi digital yang kuat dan melatih kemampuan berpikir kritis peserta didik. Di era yang serba instan ini, fondasi keilmuan tidak boleh melemah. Teknologi adalah fasilitas, bukan otoritas.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER