Kamis, 13 November, 2025

DPR Dorong Penyelamatan Industri Baja Nasional, Saatnya Revitalisasi Total

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI, Rivqy Abdul Halim menyoroti serius kondisi industri baja nasional yang saat ini menghadapi tekanan berat akibat ketergantungan tinggi terhadap impor, terutama dari China. Menurutnya, ketergantungan impor baja sebesar 55 persen itu merupakan alarm untuk merevitalisasi industri baja domestik secara total.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa sekitar 55 persen kebutuhan baja nasional saat ini dipenuhi dari impor, sementara utilisasi kapasitas pabrik baja dalam negeri baru mencapai 50 persen. Artinya, setengah potensi produksi nasional belum terserap pasar.

“Ini bukan sekadar soal daya saing, tetapi persoalan kedaulatan ekonomi. Bagaimana mungkin kita berbicara industrialisasi jika bahan baku utamanya masih bergantung pada impor?” kata Rivqy, Kamis (13/11/2025).

Sebagai informasi, industri baja nasional tengah menghadapi kondisi darurat akibat banjir impor. Kementerian Perindustrian menyebut, hal itu disebabkan karena adanya ketimpangan antara kebutuhan dengan produksi baja nasional yang sangat besar.

- Advertisement -

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam persoalan ini seperti fakta bahwa negara asal impor baja terbanyak berasal dari China dengan kapasitas produksi baja kasar sebesar 1,005 miliar ton atau 53,3 persen produksi dunia.

Selain banjir impor, tekanan juga berasal dari pengelabuan kode HS, serta lemahnya perlindungan dari praktik perdagangan tidak adil. Ketika banyak negara memperketat tarif dan kuota impor, Indonesia justru dinilai menjadi pasar terbuka yang rentan diserbu limpahan baja murah, terutama dari China.

Berbagai praktik dan hambatan tersebut dinilai mengancam daya saing industri baja dalam negeri yang merupakan sektor strategis dan penopang utama pembangunan nasional.

Tingginya impor baja tersebut juga disebabkan karena produsen nasional hanya berorientasi pada pemenuhan sektor konstruksi dan infrastruktur yang selama ini menjadi pasar utama dari industri tersebut. Padahal, permintaan sektor tersebut tengah menurun, baik di Indonesia maupun global.

Di satu sisi, terdapat sektor lain yang berpeluang besar untuk meningkatkan permintaan baja nasional, yaitu otomotif, perkapalan, alat berat, dan lain-lain. Selain itu, industri baja dalam negeri juga mengalami tantangan kualitas mesin produksi yang sudah tua. Hal itu juga yang menyebabkan baja nasional tidak dapat berdaya saing.

Terkait situasi tersebut, Rivqy menilai ada ketidakseimbangan antara kapasitas produksi dalam negeri dan kebutuhan industri nasional. Ia menyebut, sektor-sektor strategis seperti otomotif, perkapalan, alat berat, dan energi masih mengandalkan baja impor dengan spesifikasi tinggi (special steel) yang belum dapat diproduksi secara massal di dalam negeri.

“Ini menunjukkan bahwa industri baja kita selama ini berjalan tanpa peta jalan yang komprehensif. Fokusnya sempit di konstruksi dan infrastruktur, sementara sektor bernilai tambah tinggi malah dikuasai impor,” sebut Rivqy.

Rivqy menambahkan, lemahnya integrasi rantai pasok dan arah pasar yang tidak jelas menyebabkan potensi industri nasional terhambat.

“Tanpa intervensi kebijakan yang terukur, pabrik-pabrik baja nasional akan terus beroperasi di bawah kapasitas optimal dan kehilangan daya saing di pasar sendiri,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Rivqy menyoroti pernyataan Kemenperin yang telah menegaskan bahwa banyak mesin pabrik baja nasional sudah tua dan tidak efisien, sementara produsen China menggunakan teknologi modern yang lebih produktif dan ramah lingkungan. Akibatnya, biaya produksi di Indonesia jauh lebih tinggi dan kualitas produk sering tidak konsisten.

“Maka kami mendesak pemerintah untuk segera menyiapkan skema insentif fiskal dan pembiayaan investasi teknologi baru, termasuk kemudahan bagi pelaku industri baja untuk modernisasi mesin dan penerapan teknologi hijau,” tegas Rivqy.

“Saatnya merevitalisasi total berbagai aspek, termasuk arah kebijakan, demi penyelamatan industri baja nasional,” imbuh Legislator dari Dapil Jawa Timur IV itu.

Rivqy pun menilai perluasan riset dan pengembangan (R&D) di sektor metalurgi, kerja sama dengan perguruan tinggi, serta transfer teknologi dari mitra strategis menjadi langkah penting agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi baja impor, tetapi produsen baja berkualitas global.

Berdasarkan analisis CORE Indonesia, terdapat selisih besar antara data ekspor baja China ke Indonesia dan data impor resmi Indonesia, serta indikasi kuat adanya masuknya produk baja secara ilegal atau undervaluation yang merugikan industri nasional.

Rivqy menegaskan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap jalur impor baja, baik melalui pelabuhan utama maupun jalur tidak resmi.

“Kita tidak bisa membiarkan pasar domestik dibanjiri produk baja murah yang masuk tanpa kontrol. Pemerintah harus memperkuat mekanisme safeguard dan bea masuk anti-dumping untuk melindungi industri baja nasional,” ujar Rivqy.

Anggota Komisi Perdagangan DPR ini juga mendorong transparansi data perdagangan lintas kementerian. Menurut Rivqy, hal itu perlu dilakukan agar tidak ada lagi perbedaan mencolok antara data ekspor-impor yang bisa dimanfaatkan untuk praktik curang.

“Diperlukan kerja bersama untuk mengawal kebijakan industrialisasi dan kemandirian baja nasional melalui langkah-langkah strategis,” imbaunya.

Salah satu upaya yang harus dilakukan guna memperkuat industri baja Indonesia, disampaikan Rivqy, adalah dengan melakukan audit menyeluruh terhadap kebijakan impor baja dan perizinan industri.

“Serta memastikan kebijakan impor tidak justru melemahkan kapasitas produksi dalam negeri,” pungkas Rivqy.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER