MONITOR, Jakarta – Lembaga kajian dan aktivisme demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai pemberian status pahlawan nasional untuk Soeharto merupakan skandal politik terbesar era Reformasi. Kebijakan ini adalah pengkultusan elite yang menihilkan nilai-nilai moral, pengetahuan ilmiah dan ingatan rakyat atas penyimpangan kekuasaan selama 32 tahun.
Direktur Eksekutif PVRI Muhammad Naziful Haq, menilai, “keputusan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto lebih mirip pencucian dosa sejarah yang dipaksakan terang-terangan. Keputusan ini mengabaikan aspirasi dan penolakan masyarakat sipil termasuk korban pelanggaran HAM yang hingga kini masih menuntut keadilan.”
“Para elite mungkin menganggapnya sah administratif, tapi apalah artinya itu dibanding sebelangga fakta ilmiah yang terhampar terang dan dibaca khalayak umum. Jadi keputusan ini pada dasarnya sesat pikir dan logika. Bagaimana mungkin aktor yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM dan KKN secara sistematik dianggap pahlawan?,” kata Nazif.
Penetapan Soeharto sebagai pahlawan bertentangan dengan: Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme; Tap MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional; Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa; Tap MPR Nomor VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Ketua Dewan Pengurus PVRI Usman Hamid menambahkan, “Bagaimana bisa orang yang paling bertanggungjawab atas salah satu genosida terbesar selama sejarah ketika merebut kekuasaan justru dijadikan pahlawan nasional. Benar-benar absurd,” kata Usman.
Kajian ilmiah menunjukkan, Soeharto bermasalah sejak awal karena meraih kekuasaan dengan penuh rekayasa berdarah. Sebagian fakta ini tercermin di karya Benedict Anderson dan Ruth McVey pada tahun 1971 berjudul Preliminary Analysis of the 1 October, 1965 Coup in Indonesia, terbitan Cornell University Press. Sebagian lagi tercermin dari karya John Roosa pada 2006 berjudul Pretext of Mass Murder: The September 30th Movement and Soeharto’s Coup d’ Etat in Indonesia, terbitan University of Wisconsin Press.
“Rezim Soeharto mengawali kekuasaannya dengan pembasmian gerakan rakyat yang berkemajuan, yang salah satunya adalah gerakan perempuan, seperti yang ditulis di Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999) karya Saskia E. Wieringa. Anti-komunisme juga dinormalisasi lewat film dan sastra yang akhirnya ini menjadi kekerasan budaya setelah 1965. Wijaya Herlambang menuliskannya dengan rinci dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013). ” lanjut Usman.
“Berdirinya rezim Soeharto tidak terlepas dari agenda global Amerika Serikat (AS) menjatuhkan kepemimpinan Soekarno yang kritis pada kekuatan ekonomi politik Barat dan menyediakan karpet merah untuk kapitalisme Amerika di Indonesia. Karya jurnalis Amerika, Vincent Bevins, Metode Jakarta (2022) bahkan menggambarkannya amat gelap. Sekitar 500,000 jiwa telah menjadi korban program anti-komunisme bersponsor AS di Indonesia. Dunia kampus pun tidak luput dari sasaran. Campus on Fire: Indonesian Universities During the Political Turmoil 1950s-1960s (2018) karya Abdul Wahid melukiskan bagaimana Surat Instruksi No.22/KOTI/1965 yang Soeharto keluarkan pada 15 Oktober memantik screening dan penangkapan para mahasiswa, profesor, dan dosen-dosen di universitas. Mereka kemudian menerima interogasi brutal, siksaan, dan kekerasan seksual di penjara.” tambah Nazif.
Menurut pengamatan PVRI, wajar bila cara perolehan kekuasaan yang problematis dan berdarah itu kemudian diikuti oleh agenda ‘keliling’ negara tetangga. Karya terbaru Matthias Fibiger berjudul Suharto’s Cold War (2024) mendapati Soeharto memanfaat pergolakan Perang Dingin di kawasan untuk mengamankan dukungan negara tetangga agar kekuasaannya tidak dipertanyakan. ASEAN sendiri merupakan forum regional perdagangan kepanjangan sistem ekonomi global, khususnya kebijakan ekonomi Amerika. ASEAN mengakhiri Gerakan Asia-Afrika yang dimulai era Soekarno.
Bila mengingat karya Richard Robison yang sempat dilarang beredar di era Orde Baru, Indonesia: The Rise of Capital (1986), di situ tergambar bagaimana industrialisasi bergandengan tangan bersama militerisme dan kronisme dalam pembangunan dan tata negara. Ekonomi hanya menetes ke segelintir orang, profit besarnya masuk kantong kroni dan pejabat.
Pendidikan sepanjang 32 tahun Orde Baru juga mencetak generasi bisu: takut bertanya sekaligus patuh perintah. Siswa tidak dijadikan sebagai calon warga negara, tetapi dijadikan objek penundukan negara. Orde Baru lalu menutup kekuasaannya pada 1998 dengan tragedi kemanusiaan, termasuk pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa.
“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto tidak saja menegasi nalar, tetapi juga menganggap enteng apa yang seharusnya tidak dimaafkan. Elit menganggap publik tidak membaca dan menelisik ulang sejarah, sehingga seolah tidak bisa membedakan mana yang punya nilai teladan dan seolah semuanya bisa direkonsiliasi. Bila sastrawan Rusia Maxim Gorki mengatakan kekerasan sosial itu lebih keji daripada kekerasan fisik, Orde Baru justru memulai kekerasan fisik untuk kemudian mewariskan kekerasan sosial. Bila ada kemudian kalangan yang merasa baik-baik saja dengan hal ini, maka tanda tanya besar untuk kepala dan hatinya.” kata Nazif.
“Sayangnya, gelar Soeharto sebagai pahlawan nasional juga didukung oleh pimpinan dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Sebagai negara berpopulasi muslim terbesar di Asia Tenggara, dukungan itu menjadi keberpihakan yang tragis sekaligus bagian dari skandal politik terbesar era Reformasi itu. Peleburan ormas dan negara adalah fasis,” kata Nazif. Terakhir, PVRI mengingatkan, di tengah meluasnya militerisme, pemberian gelar pahlawan nasional bagi Suharto bisa menjadi awal pembuka babak fasisme. Konfigurasi saat ini mengarah pada kekuasaan fasis yang percaya diri atas tindakannya karena telah mengantongi kelompok agama. Dari 10 nama pahlawan yang dinominasi hari ini, 6 di antaranya adalah berlatar agama, 2 Jendral Militer yang berperan penting dalam G30S, dan sisanya sipil. Situasi yang membawa keburukan ini perlu dicegah karena jika tidak, maka jarum jam sejarah benar-benar akan berputar menuju era gelap fasisme masa lalu.