Kamis, 6 November, 2025

Demi Pariwisata yang Sehat, DPR Dorong Perbaikan Sistem Izin Usaha via OSS

MONITOR, Jakarta – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty berpandangan perlunya perbaikan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau Online Single Submission (OSS). Hal ini lantaran OSS kini menjadi salah satu tantangan pariwisata di daerah sebab prosesnya tidak melibatkan Pemerintah Daerah (Pemda) yang memiliki kewenangan soal tata ruang di wilayahnya.

Menurut Evita, sistem OSS yang langsung terhubung ke pusat belum sepenuhnya melibatkan pemerintah daerah, sehingga sering menimbulkan persoalan di lapangan, terutama di sektor pariwisata.

“Yang paling memahami tata ruang pariwisata itu kan pemerintah daerah. Komisi VII akan memperjuangkan perbaikan sistem perizinan pada OSS agar pelaksanaannya selaras dengan tata ruang dan kewenangan pemerintah daerah,” kata Evita, Kamis (6/11/2025).

Adapun OSS atau Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik adalah perizinan berusaha yang diterbitkan Lembaga OSS untuk dan atas nama Menteri, pimpinan lembaga, Gubernur, atau Bupati/Walikota kepada pelaku bisnis melalui sistem elektronik yang terintegrasi.

- Advertisement -

Saat ini, seluruh perizinan berusaha di berbagai sektor usaha harus diurus dan diterbitkan melalui OSS.

Sayangnya, sistem perizinan OSS yang sepenuhnya otomatis telah menghilangkan peran pemerintah daerah, bahkan izin bagi penanaman modal asing (PMA) bisa terbit tanpa verifikasi kabupaten/kota.

Evita mencontohkan sejumlah kasus di berbagai daerah yang muncul akibat lemahnya sinkronisasi antara izin pusat dan tata ruang daerah. Seperti di Bali di mana banyak villa dan resort berdiri di kawasan konservasi dan zona pertanian produktif.

Kepada Komisi VII DPR, Gubernur Bali, Wayan Koster mengeluhkan soal OSS sebab ada berbagai kelemahan dari sistem ini, mulai dari ketidaksinkronan norma pusat dan daerah, lemahnya verifikasi izin, hingga dampaknya terhadap kemandirian ekonomi masyarakat daerah.

“Ada masalah pada OSS ini. Karena OSS ini kan langsung ke pusat. Sementara yang tahu tata ruang pariwisata itu kan pemerintah daerah, jadi ada sistem yang harus kita perbaiki,” jelasnya.

Selain itu, Evita menyinggung persoalan izin tambang nikel di Raja Ampat, Papua, yang berada di wilayah konservasi yang seharusnya dilindungi. Raja Ampat juga termasuk destinasi wisata unggulan Indonesia.

“Kasus-kasus seperti ini menunjukkan OSS belum sinkron dengan rencana tata ruang wilayah dan karakter daerah,” tegas Evita.

Menurut Evita, situasi serupa juga terjadi di beberapa provinsi lain di mana izin usaha yang keluar melalui OSS sering kali tidak sesuai bahkan melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW) setempat.

“Investor kan klaim sudah dapat izin dari OSS, sementara proses pengajuan izinnya tidak melibatkan Pemda sepenuhnya,” ungkap Legislator dari Dapil Jawa Tengah III itu.

Akibatnya, menurut Evita, muncul konflik kewenangan dan degradasi lingkungan yang berdampak pada pembangunan berkelanjutan di daerah.

“Kalau izin tidak selaras dengan rencana tata ruang dan daya dukung lingkungan, yang rusak bukan hanya alamnya, tapi juga ekonomi kreatif dan keberlanjutan pariwisata daerah,” sebut Evita.

Pimpinan komisi DPR yang membidangi urusan pariwisata dan ekonomi kreatif itu menambahkan, Komisi VII DPR berkomitmen memperjuangkan revisi tata kelola OSS. Evita mengatakan hal ini dilakukan agar pemerintah daerah dilibatkan penuh dalam proses evaluasi dan penerbitan izin, khususnya di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

“Harus ada satu peta dan satu pemahaman demi pariwisata yang sehat. Jangan sampai kementerian satu mengeluarkan izin, sementara kementerian lain atau pemda justru menolak karena tidak sesuai tata ruang,” tuturnya.

Evita menilai sinergi serta koordinasi lintas kementerian dan lembaga, termasuk dengan Pemda, penting dilakukan agar tidak terjadi perbedaan pandangan dalam penerbitan izin. Ia juga mengusulkan agar evaluasi berkala dilakukan terhadap izin-izin yang telah terbit melalui OSS.

“Tujuan kita memastikan bahwa investasi berjalan sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan. Jangan sampai izin yang keluar dari pusat justru merusak lingkungan dan melanggar tata ruang daerah,” ujar Evita.

“Masalah ini kami akan bawa untuk diskusi bersama Pemerintah pusat agar ketidakharmonisan norma antara regulasi pusat dan daerah dalam penerbitan izin dapat dihindari sehingga setiap unit usaha yang ada tidak melanggar aturan tata ruang daerah,” tutupnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER