Rabu, 5 November, 2025

DPR Dorong Pemerintah Pastikan Transisi Energi ke B50 Tak Abaikan Kepentingan Petani

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi XII DPR RI, Ratna Juwita Sari mendorong Pemerintah untuk memastikan kebijakan transisi energi melalui peningkatan kadar biodiesel dari B40 menjadi B50 pada tahun 2026 tidak mengorbankan kepentingan petani sawit rakyat. Termasuk harus ada kepastian stabilitas harga pangan nasional bila kebijakan ini diterapkan.

Ratna menjelaskan, peningkatan kadar biodiesel memang penting untuk memperkuat kemandirian energi nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak fosil.

Namun, Ratna menekankan kebijakan tersebut harus berjalan seimbang dengan memperhatikan kesejahteraan petani sawit yang selama ini menjadi tulang punggung pasokan bahan baku Crude Palm Oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah nasional.

“Pemerintah harus menyiapkan kebijakan yang berkeadilan. Energi berkelanjutan penting, tetapi kesejahteraan petani dan ketahanan pangan rakyat juga hal yang fundamental,” kata Ratna, Selasa (4/11/2025).

- Advertisement -

Seperti diketahui, Pemerintah menargetkan biodiesel B50 pada semester II-2026 untuk mengurangi impor solar dan meningkatkan nilai tambah kelapa sawit.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral RI (ESDM) mengungkap, setelah Juni 2026, B50 bisa digunakan secara luas di Indonesia. Saat ini, pengembangan B50 masih dalam tahap pengujian.

Terkait hal ini, Ratna menekankan tentang pentingnya reformasi tata kelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) agar dana pungutan sawit dapat benar-benar digunakan untuk mendukung petani rakyat.

Selama ini, sekitar 90 persen dana BPDPKS disalurkan untuk industri energi dan biodiesel, sementara hanya 8 persen yang kembali kepada petani dalam bentuk program peremajaan kebun, peningkatan produktivitas dan pemberdayaan ekonomi.

“Keadilan energi sawit tidak hanya bicara soal efisiensi industri, tetapi juga bagaimana kebijakan ini membawa manfaat langsung bagi petani kecil yang menjadi tulang punggung rantai pasok sawit nasional,” tegas Ratna.

Anggota Komisi DPR yang membidangi urusan energi dan mineral itu pun mengingatkan, potensi pergeseran pasokan CPO untuk sektor energi dapat menekan ketersediaan minyak goreng. Selain itu, kata Ratna, hal tersebu dapat pula memicu kenaikan harga pangan rumah tangga.

“Di sisi lain, perluasan lahan sawit akibat peningkatan kebutuhan bahan baku B50 juga dapat berisiko memicu deforestasi jika tidak diatur dengan prinsip keberlanjutan,” sebut Legislator dari Dapil Jawa Timur IX itu.

“Maka transisi energi harus sejalan dengan kedaulatan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Energi hijau tidak boleh lahir dari praktik yang merusak hutan dan menekan rakyat kecil,” tambah Ratna.

Lebih lanjut, Ratna menegaskan keberhasilan kebijakan energi hijau bergantung pada sejauh mana kebijakan tersebut adil dan inklusif. Oleh karenanya, Pemerintah dinilai perlu melibatkan seluruh pemangku kepentingan, terutama petani dan masyarakat lokal, dalam setiap tahapan penyusunan kebijakan transisi energi.

“Energi hijau tidak boleh menjadi agenda eksklusif. Ia harus menjadi gerakan nasional yang menyejahterakan rakyat, menjaga lingkungan, dan memastikan keadilan bagi petani sawit,” pungkas Ratna.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER