OPINI

Singgung Orasi Gorok Leher Ketua Ansor DKI; Bukan Ancaman Harfiah, Tapi Ekspresi Kecintaan Mendalam

Oleh: Hamzah Arif*

Pernyataan Ketua Ansor DKI Jakarta, Muhammad Ainul Yakin Simatupang, yang viral karena potongan video orasi dengan kalimat “gorok leher” di depan kantor Trans 7, belakangan menimbulkan banyak tafsir. Padahal, jika dicermati secara utuh, ucapan itu bukanlah ancaman fisik, melainkan bentuk ekspresi retorik—ungkapan emosional yang lahir dari rasa tersinggung dan kemarahan kolektif terhadap pelecehan nilai-nilai keagamaan, terutama terhadap para kiai dan lembaga pesantren.

Yakin berbicara bukan sebagai individu yang sedang mencari sensasi, tapi sebagai Ketua GP Ansor DKI Jakarta terlihat jelas dengan atribut yang ia pakai, membawa amanah organisasi yang berakar kuat pada tradisi Nahdlatul Ulama. Maka, ketika dalam orasi ia menggunakan bahasa yang tegas dan menggugah, konteksnya adalah panggilan nurani untuk membela kehormatan kiai dan pesantren—bukan ancaman kepada siapa pun secara personal.

Polemik ini sebenarnya berawal dari kesalahpahaman publik yang memotong konteks orasi. Banyak pihak kemudian menggiring opini dengan menempelkan berbagai jabatan pada Yakin untuk memutar makna dari semangat membela kiai menjadi seolah tindakan provokatif. Padahal, dalam situasi dan momentum itu, posisinya sangat jelas: seorang santri yang sedang membela martabat gurunya.

Serangan terhadap Yakin secara pribadi pun terasa tidak proporsional. Ia dihantam bukan semata karena ucapannya, tetapi karena ia mewakili suara santri yang tidak diam saat nilai-nilai luhur pesantren dilecehkan. Maka tak heran, sebagian pihak melihat reaksi keras itu sebagai bentuk “serangan balik” terhadap kelompok santri yang selama ini teguh menjaga marwah ulama.

Kita juga perlu menempatkan orasi tersebut dalam konteks yang lebih luas: kemarahan kolektif umat Islam, terutama kalangan pesantren, terhadap media yang dianggap abai dalam menjaga sensitivitas keagamaan. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan benteng moral bangsa. Ketika simbol-simbolnya direndahkan, tentu akan muncul reaksi emosional dari mereka yang hidup dan besar di bawah naungan adab pesantren.

Muhammad Ainul Yakin sendiri bukan sosok sembarangan. Ia adalah seorang doktor dalam bidang Ilmu Al-Qur’an sekaligus hafizh, yang dalam kesehariannya dikenal santun, moderat, dan penuh dedikasi pada nilai-nilai perdamaian serta toleransi. Namun dalam kasus ini, sebagai santri, ia juga merasa memiliki tanggung jawab moral untuk berdiri tegak membela kehormatan gurunya dan dunia pesantren yang telah membesarkannya.

Apa yang dilakukan Yakin dalam orasi tersebut sebenarnya berangkat dari semangat Hifdz al-Din—menjaga agama—yang merupakan salah satu tujuan utama dalam maqashid al-syari’ah. Ia sedang mengingatkan publik agar lebih berhati-hati, agar tidak menistakan atau menyepelekan lembaga-lembaga keagamaan yang selama ini menjadi tiang penyangga etika sosial bangsa. Dalam hal ini, peringatan keras bukan berarti ajakan kekerasan, melainkan sebuah simbol ketegasan moral.

Kemarahan yang muncul dari orasi tersebut sejatinya adalah cerminan dari rasa luka dan ketersinggungan batin jutaan santri di seluruh Indonesia. Mereka bukan marah tanpa sebab, tapi karena merasa nilai yang mereka junjung—kehormatan kiai dan lembaga pesantren—telah dilanggar. Maka wajar bila ekspresi itu muncul dengan nada tinggi. Yang perlu dicatat, semangat dasarnya tetap: menuntut tanggung jawab media agar lebih sensitif dan menghormati nilai-nilai keagamaan di ruang publik.

Dari insiden ini, kita belajar bahwa dalam komunikasi sosial, bahasa emosional kadang memang muncul sebagai bentuk kepedulian mendalam, bukan ancaman. Karena itu, publik sebaiknya tidak terburu-buru menilai tanpa melihat konteks dan rekam jejak tokoh yang bersangkutan. Yakin berbicara dari hati seorang santri, bukan dari dorongan kebencian.

Pada akhirnya, dinamika soal “gorok leher” ini bukan tentang provokasi, tapi tentang kehormatan. Ia mengingatkan kita bahwa di balik setiap kalimat yang terdengar keras, sering kali tersembunyi kegelisahan yang lahir dari cinta: cinta kepada kiai, pesantren, dan ajaran agama yang dijaga dengan sepenuh hati oleh para santri di negeri ini.

Penulis adalah: Jaringan Intelektual Muda Nahdlatul Ulama*

Recent Posts

Kemenag Perkuat Kemitraan dengan Dunia Industri untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan MAKN

MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) terus memperkuat kemitraan dengan dunia industru untuk meningkatkan mutu…

2 jam yang lalu

KPID Banten dan KPI Pusat Gelar Literasi Media di Dua Sekolah Kabupaten Lebak

MONITOR, Banten - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Banten terus menggaungkan pentingnya literasi media di…

3 jam yang lalu

Wamenag Ajak Mahasiswa Jadi Penjaga Persatuan Bangsa di Kongres PMMBN

MONITOR, Jakarta - Wakil Menteri Agama Romo R. Muhammad Syafi’i, mengajak mahasiswa untuk menjadi penjaga…

5 jam yang lalu

Delegasi Indonesia Raih Perunggu pada Ajang Prison FitX Challenge di Brunei

MONITOR, Jakarta - Delegasi Pemasyarakatan Indonesia sukses meraih medali perunggu pada ajang Prison FitX Challenge…

6 jam yang lalu

Inilah Lima Dampak Buruk dari Makanan dan Harta Haram

Makanan adalah sumber energi yang bisa memengaruhi terhadap jasmani dan rohani manusia. Untuk itu, Islam…

9 jam yang lalu

Menag Hadiri Pertemuan Internasional untuk Perdamaian di Vatikan

MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar bertolak ke Vatikan, Roma untuk menghadiri Pertemuan Internasional…

10 jam yang lalu