MONITOR, Jakarta – Lembaga kajian demokrasi dan kebajikan publik Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai rencana penetapan mantan Presiden Suharto sebagai pahlawanan nasional akan melengkapi segala fenomena kembalinya otoritarianisme Orde Baru.
PVRI menilai bahwa pemberian gelar pahlawan nasional bagi Suharto tidak terpisah dari meningkatnya militerisme dan pembungkaman suara kritis saat ini. Ini menandakan babak baru kembalinya otoritarianisme di Indonesia yang tidak saja telah mengkooptasi struktur pemerintahan. Tapi juga sedang berupaya memutihkan sejarah sebagai basis legitimasinya.
Direktur Eksekutif PVRI, Muhammad Naziful Haq (Nazif) mengatakan, “demokrasi kita telah mengalami erosi yang besar dengan kembalinya militerisme. Ruang publik dan oposisi kian melemah dengan terbentuknya aliansi ormas agama dan oligarki. Situasi saat ini butuh figur yang punya makna demokrasi dan Reformasi yang bersejarah. Suharto bukan bukan nominasi yang tepat. Secara historis, ia adalah bagian dari otoritarianisme masa lalu yang menghianati cita-cita kemerdekaan.”
Nazif menilai, “dari total 40 nama nominasi pahlawan, 10 di antaranya berlatar belakang militer. Ini termasuk Suharto. Dan 11 lainnya berlatar elit agama. 19 sisanya berasal dari berbagai latar. Artinya, militer dan elit agama memperoleh masing-masing seperempat dari total keseluruhan. Nominasi nama-nama pahlawan di satu sisi tidak lepas dari politik pengkultusan individu, namun di sisi lain mencerminkan kompromi antara aktor penguasa dan kelompok agama yang sedang diakomodasi.”
Lebih jauh ia menjelaskan, “ini bukan preseden yang positif untuk iklim demokrasi di Indonesia lantaran struktur maupun simboliknya telah mengayun ke arah otoritarianisme.”
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti PVRI, Alva Maldini menjelaskan, “nama Marsinah dan Gus Dur memang masuk dalam nominasi itu sebagai representasi kelompok buruh dan ikon demokrasi. Namun ketika dua nama ini bersanding dengan nama Suharto dalam situasi militerisme dan menyempitnya ruang sipil, ada risiko dua nama ini menjadi apologi untuk situasi saat ini atau bahkan tukar guling politik.
PVRI mencatat, demokrasi Indonesia saat ini semakin menghadapi ancaman. Bukan hanya ruang publik menyempit, oposisi melenyap dan pemilu tak lagi berintegritas. Ancaman pada Demokrasi Indonesia juga Kini semakin nyata dengan meluasnya peranan militer di pemerintahan sipil. Ini ditambah dengan rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Presiden Suharto.