Sabtu, 25 Oktober, 2025

Desak Agar Jangan Ada Kriminalisasi Warga Adat, DPR Disebut Bela Rakyat

MONITOR, Jakarta – Kasus pemidanaan 11 warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara, karena menolak tambang nikel menjadi potret pilu dari wajah hukum dan pembangunan di Indonesia hari ini. Karenanya, imbauan DPR RI melalui Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Andreas Hugo Pareira agar jangan ada kriminalisasi bagi masyarakat adat yang mempertahankan hak dan tanah leluhurnya dinilai sebagai bentuk membela rakyat.

“Saat hukum lebih cepat menghukum mereka yang menjaga bumi dibanding mereka yang merusaknya, di situlah nurani hukum kita sedang benar-benar diuji,” kata Dosen FISIPOL Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Hairunnas, Jumat (24/10/2025).

Menurut Hairunnas, wanti-wanti Andreas Hugo Pareira yang keras agar tak ada kriminalisasi terhadap masyarakat adat menunjukkan bagaimana DPR berdiri membela rakyat.

“Pernyataan Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira merupakan sebuah pembelaan terhadap rakyat yang hanya ingin menjaga tanah warisan leluhur dan kelestarian lingkungan hidup. Karena masyarakat adat Maba Sangaji justru diperlakukan seperti penjahat karena dijerat Pasal 162 UU Minerba hingga divonis penjara,” ujarnya.

- Advertisement -

Hairunnas menambahkan, evaluasi terhadap pasal yang sudah lama menuai kritik itu juga harus segera dilakukan, sesuai dengan permintaan Andreas. Sebab, pasal tersebut sering dipakai untuk membungkam masyarakat yang menolak tambang sehingga perlu penyesuaian yang relevan.

“Apa yang disampaikan Bapak Andreas Hugo Pareira juga menyentuh inti persoalan yang selama ini dihadapi bangsa ini, ketimpangan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan hak asasi manusia,” terang Hairunnas.

Sebelumnya, Andreas menyampaikan keprihatinan atas vonis penjara terhadap 11 warga adat Maba Sangaji karena menolak aktivitas tambang di daerahnya.

Adapun Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan, memvonis bersalah sebelas warga adat Maba Sangaji dari Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, di mana putusan itu menuai gelombang kecaman karena perjuangan mempertahankan tanah leluhur berujung di balik jeruji.

Dalam sidang yang digelar Kamis (16/10), majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara kepada para warga yang selama ini dikenal lantang menolak aktivitas tambang nikel milik PT Position.

Majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara lima bulan delapan hari kepada sepuluh warga, antara lain Sahrudin Awat, Jamaludin Badi, Alaudin Salamudin, hingga Yasir Hi. Samar. Dalam sidang terpisah, terdakwa lainnya, Sahil Abubakar, juga dijatuhi hukuman serupa.

Mereka dinyatakan bersalah melanggar Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Selama ini, pasal tersebut dikritik karena dianggap menjadi alat represi terhadap warga penolak tambang.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Kriminalisasi Maba Sangaji menyebut vonis ini sebagai bentuk nyata ketidakadilan dan kriminalisasi terhadap rakyat kecil yang memperjuangkan hak hidupnya.

Proses hukum terhadap warga adat itu juga dinilai penuh kejanggalan, dan tuduhan membawa senjata tajam serta melakukan pemerasan dianggap tidak berdasar karena tidak pernah ditemukan barang bukti maupun laporan kekerasan dari pihak perusahaan.

Atas putusan itu, Andreas Hugo Pareira menyebut kasus ini mencerminkan ketegangan serius antara kepentingan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan ketimpangan regulasi dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia.

Andreas pun mengingatkan agar jangan ada kriminalisasi terhadap warga adat yang mempertahankan hak dan tanah leluhurnya. Sebagai pimpinan komisi DPR bidang HAM, ia mendorong adanya evaluasi terhadap penerapan Pasal 162 UU Minerba dan diharmonisasi dengan UU Lingkungan Hidup dan UU Masyarakat Adat.

Terkait hal tersebut, Hairunnas menilai Kasus Maba Sangaji bukan sekadar urusan hukum di pengadilan.

“Kasus ini cermin dari betapa regulasi dan kebijakan kita masih gagal berpihak pada rakyat kecil,” tukas peneliti Spektrum Politika Institute itu.

Hairunnas mengatakan, aturan di sektor tambang memang memberikan perlindungan kuat bagi investasi besar. Namun di sisi lain, perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat adat masih lemah, bahkan sering kali diabaikan dalam praktik.

“Dan DPR tidak cukup hanya menyatakan keprihatinan. Sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menyuarakan kepentingan rakyat, DPR harus berani turun tangan dan memastikan hukum tidak dijadikan alat untuk membungkam warga,” sebut Hairunnas.

“Sudah saatnya parlemen mengambil langkah nyata, menyatukan dan menyeimbangkan antara UU Minerba, UU Lingkungan Hidup, dan RUU Masyarakat Adat agar keadilan ekologis benar-benar hidup dalam kebijakan,” sambungnya.

Menurut Hairunnas, revisi terhadap Pasal 162 UU Minerba pun menjadi hal mendesak.

“Agar hukum tak lagi digunakan untuk menghukum mereka yang berjuang melindungi tanah dan lingkungan tempat mereka hidup,” jelas Hairunnas.

Hairunnas memandang kasus ini juga memperlihatkan jurang yang lebar antara kekuasaan korporasi dan hak masyarakat adat. Menurutnya, negara tampak begitu sigap menjamin kepastian investasi, tetapi justru menghilang ketika rakyat mencari keadilan.

“Padahal, hak atas tanah adat dan lingkungan yang sehat bukan sekadar tuntutan moral, melainkan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal HAM,” tegasnya.

Hairunnas menekankan, pembangunan yang mengorbankan nilai kemanusiaan dan merampas ruang hidup masyarakat adat bukanlah kemajuan, melainkan bentuk lain dari ketidakadilan yang meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.

“Di sinilah peran DPR menjadi sangat penting. Sebagai lembaga politik yang memegang mandat rakyat, DPR harus berani menggunakan kekuatannya untuk mendorong reformasi regulasi sumber daya alam agar lebih berpihak pada manusia dan kelestarian lingkungan,” tutur Hairunnas.

Hairunnas sepakat dengan Andreas yang menyebut setiap kebijakan investasi semestinya berlandaskan pada prinsip human rights due diligence, memastikan bahwa setiap korporasi bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan ekologis dari aktivitasnya.

Selain itu, Hairunnas menilai fungsi pengawasan DPR perlu benar-benar dijalankan, agar hukum ditegakkan secara adil dan tidak lagi menjadi alat diskriminasi terhadap masyarakat yang hanya ingin mempertahankan hak hidup mereka.

“Hukum seharusnya menjadi perisai bagi yang lemah, bukan alat yang hanya menguntungkan yang kuat. Di tengah tekanan ekonomi dan arus kepentingan politik yang sering kali meminggirkan nurani, DPR tidak boleh kehilangan arah moralnya,” ucap Hairunnas.

“Parlemen harus berani menjadi suara bagi mereka yang tak terdengar masyarakat adat, petani kecil, dan para pembela lingkungan yang mempertaruhkan hidup demi bumi yang lestari,” lanjutnya.

Hairunnas mengingatkan, keberanian politik untuk berpihak kepada keadilan sosial bukan sekadar pilihan moral, melainkan kewajiban konstitusional. Ia menyatakan bahwa DPR memiliki mandat, kekuasaan, dan panggung untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan berpijak pada kemanusiaan, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi.

“Sudah saatnya parlemen berdiri tegak di sisi rakyat, menggunakan kewenangan politiknya untuk menata ulang arah pembangunan bangsa,” kata Hairunnas.

“Karena sejatinya, ukuran kemajuan sebuah negara bukan diukur dari seberapa banyak modal yang masuk, tetapi dari seberapa kuat ia melindungi martabat manusia dan keadilan bagi semua,” tambahnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira menyatakan keprihatinan mendalam atas vonis penjara yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan, terhadap 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara. Mereka dinyatakan bersalah karena menghalangi aktivitas pertambangan nikel di sana.

Andreas menilai kasus ini mencerminkan ketegangan serius antara kepentingan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan ketimpangan regulasi dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia.

“Dalam perspektif reformasi regulasi dan hak asasi manusia, kami menilai bahwa peraturan dan praktik hukum yang ada masih belum sepenuhnya mampu memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat adat dan pejuang lingkungan,” kata Andreas, Kamis (23/10).

Menurut Andreas, putusan pengadilan yang menolak mengakui warga Maba Sangaji sebagai pembela hak atas lingkungan hidup memperlihatkan adanya celah besar dalam harmonisasi hukum antara Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

“Dan tentunya ini sangat disayangkan. Vonis hukum bagi warga yang mempertahankan tanah adat mereka sendiri menunjukkan gagalnya sistem peradilan dalam membela hak-hak masyarakat,” tukasnya.

Andreas menegaskan bahwa hak masyarakat untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian integral dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi dan Deklarasi Universal HAM.

“Setiap tindakan warga dalam mempertahankan ruang hidupnya tidak seharusnya dikriminalisasi,” tegas Andreas.

“Negara wajib memastikan bahwa hukum tidak digunakan untuk membungkam partisipasi masyarakat, terutama kelompok adat yang rentan terhadap tekanan struktural dan korporasi,” imbuhnya.

Andreas juga mendorong harmonisasi antara UU Minerba, UU Lingkungan Hidup, dan UU Masyarakat Adat. Andreas mengatakan, setiap kebijakan dan proses penegakan hukum berorientasi pada keadilan ekologis dan hak asasi manusia.

“Kami juga meminta evaluasi terhadap penerapan Pasal 162 UU Minerba, di mana seringkali digunakan untuk menjerat warga yang menolak aktivitas tambang, sehingga berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” ujar Legislator dari Dapil NTT I itu.

Andreas pun mendorong Mahkamah Agung dan Komnas HAM untuk melakukan kajian terhadap putusan Pengadilan Negeri Soasio, serta memastikan bahwa asas-asas hak asasi manusia tidak diabaikan. Termasuk hak atas lingkungan dan hak atas peradilan yang adil.

“Komisi XIII DPR mendorong adanya reformasi regulasi sektor sumber daya alam, agar prinsip human rights due diligence menjadi bagian wajib dalam setiap kegiatan investasi, terutama di wilayah yang bersinggungan dengan komunitas adat dan ekosistem penting,” pungkas Andreas.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER