Rabu, 22 Oktober, 2025

Ngopi Bareng Santri! Edisi Khusus Hari Santri Nasional 2025

“Segala kekuatan dan kesanggupan mempertahankan Kemerdekaan yang ada pada mereka. Tidak akan surut seujung rambut pun” -Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. “They cannot represent themselves, They must be represented” -Karl Marx, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.

Oleh: Dinno Brasco*

Mohon izin ya Bang Haji, nyruput kopi sambil sharing sebuah kisah dan cerita. Kisah tentang sejarah keren, aduhai, dan mantap. Perihal kisah Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari, tentang Indonesia, tentunya tentang kamu dan cinta Tanah Air, yaitu kisah anak bangsa memperingati Hari Santri Nasional, 22 Oktober. Pernahkah Anda mendengar kisah Resolusi Jihad 1945 yang dimaklumatkan Hadratussyaikh? Pastinya pernah denger dong! Pendiri NU dan tokoh bangsa yang menyelamatkan bayi Republik.

Saya mau cerita saat muda waktu sowan ke mabes PBNU, saat masuk ruangan pribadi Gus Dur. Melihat sebuah lukisan yang luar biasa dan begitu inspiring. Tertulis dalam lukisan, pahatan tulisan: Jejak-jejakmu merahimi kebangkitan. Ya, tentang merahimi kebangkitan. Dirimu, diri kita memang harus bangkit dari kebodohan menuju kearifan, hijrah dari keterpurukan menuju kreativitas, dari pesimisme menuju optimisme. Indonesia yang gini-gini aja menjadi maju, bangkit dan ngeri, tentunya dengan Visi Asta Cita sebagai bintang penuntun. Katanya orang pinter, tentunya pejabat sih!

Rakyat kita saat ini berjumlah lebih dari 270 juta. Bukan hanya kuantitas dan jumlah, tapi kualitas, pikiran, dan inovasi. Seperti yang pernah disampaikan aktor Bollywood bernama Amitabh Bachan mertuanya Aishwarya Rai Bachchan dalam orasi film berjudul The Pad Man yang juga dibintangi Akhsay Kumar. “Jumlah 1,5 milyar penduduk India adalah juga 1,5 milyar pikiran dan inovasi,”begitu kata Om Bachan. Luar biasa!

- Advertisement -

Saat ini dengan perasaan haru-biru, kita mengenang Resolusi Jihad. 22 Oktober 1945 yang diserukan oleh Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari dan barisan santrinya. Apalagi dioperasi oleh Trans TV yang ingin ‘menghancurkan nama Santri dan Kiai.’ Kan kakeane mereka, jamaah Si anak Singkong.

Hadratussyaikh meminta rakyat dan santri untuk mempertahankan bayi Republik ini menjadi contohnya yang paling membahana, kata putri Gus Dur, Alissa Wahid. Akibatnya, 200 ribu rakyat dan santri gugur dalam jihad di medan laga Surabaya, 10 November 1945. Namun, Republik ini terselamatkan dari penjajah baru alias garong NICA yang kembali menancapkan kaki di bumi Nusantara. Semua itu berkat perjuangan rakyat bersama santri-Kiai.

SENANDUNG PENJARAHAN

Kisah kita berawal ketika gerombolan manusia berekor dari dunia lain menjajah manusia lainnya. Mereka ingin menguasai, memenuhi, menjarah kembali dan menghancurkan penggalan surga di bumi. Sebelum itu terjadi, para kiai dan santri bangkit bersaksi, berkorban untuk sebuah kemerdekaan negeri, demi rakyat dan ilahi.

Dalam bahasa Bung Karno, mereka para penjajah tidak punya rezeki di negaranya, akhirnya memetakan negara, bahkan dunia untuk dirampok dan dijarah. Perjanjian Tordesillas adalah bukti nyatanya, membagi dunia hanya milik Spanyol dan Portugis. Indonesia, Asia, Afrika, Timur-Tengah adalah targetnya. Bener-bener parah mereka. Barbar soal harta dunia dan menghabisi kemanusiaan, sebagai kini yang terjadi di Palestina yang dilakukan serigala Israel.

Begitulah yang terjadi pada sejarah bangsa kita dulu. Kisah fatwa Resolusi Jihad 45 yang digerakkan oleh pendiri NU, yaitu Hadrattussyaikh adalah untuk membela, mempertahankan bayi Republik. Sebuah perlawanan suci melawan para penjarah bangsa. Ya, tentang Resolusi Jihad 45!

Bagaimanakah kita membayangkan rakyat Indonesia di Surabaya, 80 tahun yang lalu, saat mereka menghadapi maut, dengan ketulusan tanpa pamrih, membela Tanah Air-nya dengan berbekal hubbul wathan minal iman. Sebuah negeri akan dimakmurkan dengan kecintaannya pada Tanah Air, umiratil buldan bihubbil awthan, begitulah dawuh suami tercinta Sayyidah Fatimah Az Zahra, putri tersayang Rasulullah Saw.

Ketika Mayor Jenderal R.C Mansergh, Panglima Tentara Darat Sekutu mengancam, mengultimatum bangsa Indonesia serta pemimpinnya untuk menyerah bersama seluruh persenjataannya, terjadilah pertempuran dahsyat, tawuran massal di kota arek-arek Suroboyo. Santri dan rakyat melakukan perlawanan sebagai reaksi atas ancaman gerombolan Inggris yang menghina bangsa dan kemerdekaan Indonesia. Tak kurang dari 200 ribu lebih ‘gladiator-gladiator bangsa’ meninggal dan syahid. Merdeka atau Mati! begitulah semboyannya. Sebuah pengorbanan tanpa pamrih, membela martabat, harga diri, dan menyelamatkan bayi republik.

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, pondok pesantren menjadi markas-markas Hizbullah-Sabilillah. Pengajian kitab-kitab telah berganti menjadi pengajian tentang caranya menggunakan karaben, mortir, dan cara bertempur dalam medan-medan pertempuran.” Kenang Kiai Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang- Orang Pesantren.

Lihat saja, betapa pasukan gabungan Inggris yang baru saja memenangkan Perang Dunia II mengalahkan geng militer Roberto (Roma, Berlin, Tokyo, dan Nazi pimpinan Adolf Hitler). Dengan keahlian dan pengalaman perang, bertempur, penuh dengan kelengkapan senjata, mereka kewalahan menghadapi perlawanan santri dan rakyat. Kota Surabaya, bagi pasukan NICA adalah neraka tergelap dalam hidupnya. Sekali dan selamanya, kami takkan pernah lagi menginjakkan kaki di bumi Kanjeng Sunan Ampel dan waliyullah, demikianlah isi laporan dari dinas intelijennya. Mereka membawa kisah pilu saat balik ke negaranya dengan seribu bara api, trauma di jiwanya.

Sejak saat itu hingga kini zaman digital, santri setia bersumpah memperingati kepahlawanan, patriotisme dan berusaha mengambil hikmah dan teladan dari sebuah pengorbanan. Tindakan besar dan pikiran selevel raksasa dalam hidup mereka, mempertahankan kemerdekaan bayi Republik, membuat Indonesia tetap ada untuk anak cucu dan semua anak bangsa hingga akhir masa.

TENTANG CINTA

Memikirkan itu semua, adalah sebuah kebahagiaan. Perubahan besar apakah yang dilakukan santri? Mereka adalah didikan mulia Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim dan lainnya. Percikan cahaya langit seperti apa yang mengubah santri yang katanya “moderat dan kompromistis” menjadi gerakan revolusioner dan radikal, menjebol tembok besar imperialisme. Sebagaimana kata sejarawan Thomas Carlyle, ”And I said thegreat man always act like a thunder. He stormed the sky, while other are waiting to be stormed.”

Tekad membela agama dan Tanah Air Indonesia yang dipicu oleh Resolusi Jihad 1945, kemudian diperkuat lagi dengan Pidato Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pada Pembukaan Muktamar NU ke-16 dan yang pertama setelah perang, pada 26- 29 Maret 1946 di Purwokerto, “… Sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.”

Deklarasi Resolusi Jihad 21-22 Oktober 1945 merupakan kelanjutan gerakan dari hasil            pertemuan  Bung Karno dengan Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari. “Resolusi itu menunjukkan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) mampu menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka dalam sejarah,” kata Martin Van Bruinessen. Maka dari itu, berkobarlah Pidato Bung Tomo di bumi Surabaya, “Dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!” Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar! Santri dan rakyat bersatu takkan bisa dikalahkan. Gerak melawan penjajah NICA adalah fardu ‘ain. Setiap nyawa 200.000 yang wafat, air mata yang tertumpah hanyalah cinta Indonesia, Tanah Air dan tumpah darah kita.

Sebuah kisah negeri yang teraniaya, terjarah dan terjajah dari masa ke masa. Do’a, dan cinta Hadratussyaikh terhadap bangsanya takkan pernah luntur dan surut seujung rambut pun. Resolusi Jihad NU adalah jawabannya. Karena perlawanan kepada penjajah dan penjarah bangsa adalah perintah agama. Inilah yang membangkitkan nasionalisme rakyat dan ummat Islam Indonesia. Semangat menjemput kematian, syahid dalam melawan penjajah, terpatri di jiwa generasi terkini. Belajar dari generasi pendahulu, baginya kematian adalah obyek kesadaran. Kematian membuat hati jadi lapang seperti manusia shaleh dalam sejarah.

WHAT I’VE DONE?

Sedih juga, sekian lamanya perjuangan kiai dan santri tidak masuk buku pelajaran sejarah. Bahkan, ngga’ ada dalam cerita level anak-anak TK/SD. Bahkan tidak ada di materi kuliah mahasiswa. Tragis memang. Propaganda hitam dan kesunyian perjuangan santri harus dikubur bersama waktu hingga berakhirnya dunia. Monumental history, sebuah perjuangan kiai- santri harus dihilangkan dalam peta bumi republik, layaknya usaha untuk membunuh nyamuk menghabiskan energi kalau perlu dengan belati. Apalagi dengan kelakuan  jahat Trans TV yang jancuk !

Sungguh benar ucapan filsuf Socrates dalam buku berjudul Republic, sungguh mendebarkan, bagaimana caranya membangun mentalitas para pengawal negara,“….Tugas kita yang utama adalah mengawasi fabel dan legenda serta menolak semua yang tidak memuaskan.” Demi mencetak karakter anak- anak dan putra bangsa, “…Harus kita perintahkan seluruh ibu dan inang pengasuh agar menceritakan dongeng-dongeng yang telah kita setujui saja.”

Sekecil apa pun peristiwa hidup apalagi sejarah perjuangan kiai dan santri itu wajib ditulis dan dikisahkan kepada anak cucu. Siapa yang dapat menulis kisahnya sendiri, ia tidak akan lekang dan sirna di makan zaman dan cuaca.

Kisahnya terus abadi menjadi warisan berharga dan bintang penuntun bagi generasi berikutnya yang mewarnai kehidupan bangsa, anak-cucu, murid dan kader-kadernya. Maka dari itu, benar juga apa yang disampaikan filsuf Soren Kierkegaard, “Seorang tiran mati dan kekuasaannya berakhir. Ketika sang martir gugur ke bumi, kisahnya baru dimulai.” Inilah kisah Resolusi Jihad 45 yang baru saja diakui dan dimulai. Kisah santri baru dimulai Bang Haji !

Kenang-kenanglah, kiai dan santri pernah dijadikan target operasi sadis Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto. Kiai dan santri yang turut mendirikan Indonesia, disingkirkan atas nama ideologi pembangunan ala kapitalisme global. Mungkin Trans TV terinspirasi.

History doesn’t repeat itself, but it sure does rhyme, sejarah tak mengulangi dirinya, tapi sungguh ia punya pola yang sama. Karena sesungguhnya, seperti sejarah, justru saat kekuatan lahiriah melemah, tumbuh kekuatan akbar dari kuasa batiniah kiai-santri yang sekian lama ditindas oleh struktur jahat kekuasaan.

Di masa kini, setiap tanggal 22 Oktober, semua anak negeri bersuka cita, hari santri diperingati di segala penjuru negeri. Kaum santri bangkit bersaksi di desa-desa dan kota-kota besar. Jejak-jejak pengorbanan kiai-santri dalam sejarah, dalam keabadian, dalam kisah Indonesia, selamanya.

Perjuangan Hadratussyaikh dan santri kini diakui negara, mengakui identitas dan perjuangannya. Tak aneh jika Pemerintah mengeluarkan Keppres No. 22 Tahun 2015 yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Keppres ini menjadi pengakuan sejarah atas komitmen kebangsaan para santri mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Tahukan kita cita-cita bangsa? Tentunya tahu betul! Ngga’ banyak, hanya 4 (empat), yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian dan keadilan sosial. Apa bisa diwujudkan cita-cita tersebut? Hanya Presiden Prabowo dan anak buahnya  yang bisa menjawabnya. Tentunya dengan senjata rahasianya yaitu secangkir kopi. “Pria harus ngopi,” katanya 08.

MASA LALU=MASA KINI

“Kemarin sudah berlalu, kawan. Sekarang, saatnya mengatakan hal-hal baru.” Demikian dawuh Sang sufi maulana Jalaluddin Rumi untuk kita.

Kita pernah baca buku judulnya Mossad yang ditulis oleh Dennis Eisenberg, dikatakan bahwa bangsa Yahudi Israel berpegang dalam ayat-ayat pergerakan, “Akan tiba waktunya bagi suatu negara kecil yang berdaulat, yang lapisan pertahanannya adalah pengetahuan.” Kalimat yang dibuat oleh Charles Proteus Steinmetz, ilmuwan Yahudi kelahiran Jerman, sungguh mengilhami seluruh rakyat Israel hingga detik ini bisa jadi negara kuat dan digdaya. Bisa jadi dia adalah Nabi palsu, karena nubuatnya itu, dengan ketepatan dan mengejutkan dunia Islam dan Barat. Israel yang kuat hanya bisa diatasi mentalitas Iran, bukan mentalitas Korea ala Bambang Pacul.

Adalah nyonya Golda Mayer, mantan Perdana Menteri Israel pertama dalam memoarnya berjudul Malice, bercerita fase penting kehidupannya. Perempuan itu harus bekerja keras, bergerak selama 16 jam sehari. Demi cita-citanya, perjuangannya, prinsipnya ia lalui demi mewujudkan negara Yahudi, Israel Raya. Sukses bener, menjadi negara hebat di muka bumi, bersama Ben Gurion. Katanya sih, padahal dibombardir pasukan Ayatullah Ali Khamenei, mereka keok dan angkat tangan juga! Ampunnn!

Begitu juga dengan Menteri Pertahanannya yang legendaris, bermata satu, Moses Dayan namanya. Di bukunya berjudul The Sword and Rule, ia berkisah harus terbang dari daerah satu ke daerah lain, kota, negara satu ke negara lain, pagi siang dan malam. Secara sembunyi-sembunyi, bawah tanah, ataupun terang-terangan bergerak demi cita-citanya. Ia ingin membentuk dan memperkuat negara Israel. Ia setia dengan pergerakannya sebagai bangsa Yahudi.

Sayang sekali memang, orang seperti mereka, justru lebih bisa menunjukkan keuletan dan tekadnya seperti ini. Sebaliknya kita semua, justru jadi pemalas, tidar-tidur. Kita semua terlena, lalai, kaum milenial dan sebagai kaum Muslimin dan Muslimat yang sama sekali tidak pernah berbuat apa pun, meski satu jam saja. Kita semua larut dalam main-main, makan, minum, tidur dan menghabiskan waktunya dengan sia-sia, percuma. “Waktu adalah pedang,” demikian Sayyidina Ali, menantu Sang Nabi bertutur kepada kita.

Kita bangsa Indonesia telah kalah dengan tekad dan cita-cita orang Yahudi kulit putih Eropa. Belum lagi kita kalah dengan bangsa Cina, India, Barat, Rusia, Latin, Turki, Korsel, Iran dan bangsa lainnya dari langkah progresivitas sejarah, terutama bidang medis, sains, teknologi dan ekonomi. Bahkan, dibilang oleh sebagaian orang sebagai bangsa gagal (the failed state). Itulah tantangan terbesar dan terberat di masa kini, era baru digital.

Bagaimana Indonesia di tangan Mr. Prabowo? Akan maju atau mundur Indonesia Bang?

SIAPAKAH SEBENARNYA SANTRI?

Ulama pinisepuh KH. A. Mustofa Bisri (2016) pernah menyampaikan, bahwa santri adalah siapa pun yang berakhlak, tawadhu’ kepada Allah Swt, sesama manusia, serta melihat Tanah Air sebagai rumahnya. Gus Mus sapaan akrab K.H A. Mustofa Bisri mengartikan siapa pun yang berakhlak, rendah hati, mengamalkan nilai-nilai agama Islam yang santun adalah santri. Menghormati yang tua dan mengayomi yang muda. Pun santri adalah ia yang dalam jiwanya paling dalam tertanam semangat nasionalisme. Mencintai Tanah Air yang menjadi tempat ia lahir dan disemayamkan kelak.

Jelas dan terang benderang perjuangan santri dalam berbangsa-bernegara, tidak dapat diragukan lagi. Santri tidak hanya sibuk mengaji ilmu agama, ilmu akhirat, tetapi juga terlibat dalam perjuangan fisik, mengusir penjajah, menghalau penjarah bangsa dan merumuskan dasar negara, Pancasila. Santri pun konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen, jadi working ideology.

Santri mesti menjadi teladan dalam berlaku sejuk, damai dalam meniti kebaikan. Berlaku adil, menjaga persatuan, ukhuwwah wathaniyyah, ukhuwwah islamiyyah, dan ukhuwwah insaniyyah. Mampu bersaing dalam berbagai disiplin ilmu modern. Santri harus memperkenalkan kepada dunia, bahwa Pancasila tidak hanya diberlakukan sebagai haluan berbangsa- bernegara, tetapi juga cahaya peradaban Indonesia untuk dunia. Santri jadi pemersatu seluruh anak semua bangsa dari operasi siluman devide it impera. Santri harus berkarya nyata menuju Indonesia Maju.

Di masa kini, terdapat 270.000 ribu lebih basis pesantren, yang harus dikuatkan kembali di era kekinian. Karena pesantren adalah pembentuk negara modern bernama nation state of Indonesia. Santri era kekinian harus bertempur kembali menghadapi tantangan dan ancaman baru di tengah raksasa-raksasa dunia baik dari Barat dan Timur. Belum lagi menghadapi tantangan ekonomi umat dan krisis global. Bagaimana santri membangun kemandirian dan berdikari menegakkan kepala dan bangsa di dalam pergaulan dunia. Berat juga ya jadi santri! Yang pasti, santri di penjuru negeri mesti berkarya, sebagai the inovator.

Misi santri masa kini seperti yang dilukiskan dalam metafora pakar sejarah Arnold Toynbee,”Harus memberikan jawaban yang tetap pada tantangan yang sudah berubah”.  Makkk !

SANTRI SEDUNIA BERSATULAH!

Sahabat fillah dimana pun berada.

Di era digital ini, dunia pesantren sedang berada di antara patahan sejarah. Santri kini bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga agen perubahan sosial, teknologi, dan kemanusiaan. Mereka tidak cukup hanya ngaji kitab kuning, tetapi juga perlu melek digital, memahami dinamika global, dan menjadi duta Islam yang damai di dunia maya. Sebagaimana diungkapkan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dalam bukunya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”, santri adalah penjaga moral bangsa.

Gus Dur menulis bahwa pesantren adalah benteng kebudayaan dan kemanusiaan yang melahirkan generasi penuh kasih, bukan kebencian. Di tengah dunia yang mudah terpecah oleh politik identitas dan hoaks digital, semangat Gus Dur menjadi sangat relevan: santri harus hadir sebagai penebar damai, bukan pemecah belah bangsa kayak Trans TV!

Nurcholish Madjid dalam karya monumentalnya “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan” menegaskan bahwa Islam adalah agama kemajuan, bukan hambatan bagi modernitas. Baginya, santri sejati adalah mereka yang terbuka pada ilmu pengetahuan dan rasionalitas, tanpa kehilangan spiritualitas. Di era kecerdasan buatan (AI) dan inovasi teknologi, semangat ijtihad intelektual Cak Nur menjadi inspirasi agar santri berani berpikir kritis, kreatif, dan berwawasan global.

Buya Syafii Maarif dalam bukunya “Islam dalam Bingkai Ke-Indonesiaan dan Kemanusiaan” mengingatkan bahwa kecerdasan moral jauh lebih penting daripada sekadar kecerdasan intelektual. Buya percaya, santri harus menjadi intellectual moral force — kekuatan moral yang membimbing arah bangsa. Dalam konteks santri kekinian, itu berarti menjaga etika di ruang digital, berani jujur, dan berpihak pada kemanusiaan, bukan pada kepentingan politik sesaat.

Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya “Meraih Cinta Ilahi” dan “Psikologi Agama”, menekankan pentingnya spiritual intelligence (kecerdasan spiritual). Ia mengajarkan bahwa ilmu tanpa kasih sayang akan kering, dan dakwah tanpa empati akan kehilangan makna. Santri masa kini harus menjaga keseimbangan antara intelektualitas dan kelembutan hati. Dunia digital boleh serba cepat, tapi nilai-nilai santri tetap harus berakar pada cinta, adab, dan akhlak. Empati adalah kompas psikologi bagi santri.

Nilai-nilai dari keempat Maha guru bangsa ini, Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafii, dan Kang Jalal sesungguhnya merupakan jantung peradaban pesantren. Mereka mengajarkan bahwa santri sejati adalah yang mampu memadukan iman, ilmu, dan amal, serta menebar manfaat lintas batas. Kini, dengan hadirnya media sosial dan teknologi, santri bisa menjangkau dunia tanpa batas. Hari ini, panggilan itu terasa makin kuat: Santri sedunia, bersatulah!

Satukan langkah untuk menghadapi tantangan zaman dari krisis global sampai genosida Palestina, dari dunia maya hingga dunia nyata. Dunia sedang menunggu wajah Islam yang teduh, cerdas, dan menyejukkan. Wajah santri yang bersatu dalam cinta ilmu dan kemanusiaan.

Saat ini adalah era revolusi digital, era medsos, abad yang beda dengan abad 19, abad 20, sebuah abad yang dibanjiri informasi. Tapi minus empati dan kasih sayang kepada sesama, sebuah abad kemarahan (the age of anger) seperti yang dipaparkan Pankaj Misra, penulis hebat dari India. Francis Lim dalam Filsafat Teknologi yang saya pahami, bahwa ada kecenderungan anarkis manusia saat ini, tidak sadar, abai, tega banget, katakanlah sadis alias kejam tentang hubungannya dengan manusia yang lain, alam, bahkan dengan Pencipta Alam. Manusia sudah dikendalikan teknologi, bukannya mempermudah hidupnya, mengendalikan teknologi. Parah!

Kemajuan teknologi digunakan untuk menaklukkan isi dan makhluk semesta, perang dan propaganda demi kehendak kuasa, bukan menebar cinta kasih Tuhan dan memperkuat Indonesia. Lapar akan kenikmatan dan silau dengan pernak-pernik cahaya teknologi yang memukau iman serta imun. Semakin cangih zaman, tapi pikiran makin sempit, semakin barbar manusia-manusia Israel contohnya.

Tahu kan bro dan sista tantangan dan ancaman kita terkini di era baru digital? Kata Jared Cohen dan Eric Schmidt dalam Era Baru Digital,”bagaimana peluang teknologi dan konektivitas akan melawan kekejaman, penderitaan dan kehancuran dunia kita. Hal terbaik yang bisa kita lakukan ialah mendorong konektivitas dan peluang teknologi untuk kemakmuran ekonomi, HAM, pendidikan, dan keadilan sosial.”

Dengan senjata dzikir, pikir, dan amal saleh, itulah warisan terbesarnya para Nabi, para revolusioner sebagaimana Hadratussyaikh, dan para santri. Di era kekinian, sudah waktunya kita terjun di tengah masyarakat, memberikan kesadaran baru tentang Indonesia yang kita impikan bersama-sama. Kita buktikan cinta dan empati kita pada sesama. Melepaskan orang dari beban kehidupan yang mengimpitnya dan membebaskan orang dari belenggu-belenggu yang memasung kebebasannya. Singsingkan lengan bajumu para penikmat Kopi!

Cinta Tanah Air adalah sebuah keimanan, akidah, dan jihad. Marilah kita resapi syair Kiai Wahab Hasbullah agar tetap macho, keren, dan ganteng maksimal berbuat untuk negara-bangsa. “Wahai bangsaku, wahai bangsaku, cinta Tanah Air bagian dari iman. Jangan kalian jadi orang terjajah. Wahai bangsaku yang berpikir jernih, dan halus perasaaan. Kobarkan semangat, jangan jadi pembosan.”

Sebuah pesan untuk generasi milenial, gen-Z dan umat Islam Indonesia terkini, untuk selalu mencintai negeri. Kita serap dan ambil berkah para kiai dan santri yang pernah berjuang mati- matian demi sebuah negeri yang bisa kita nikmati hari ini dan nanti. Untuk anak-cucu antum.

Senantiasa sayang, marilah kita semua belajar hidup dari Hadratussyaih KH. Hasyim Asy’ari, jalan hidupnya hanya untuk to pave the road to Allah. Meraih kemuliaan dan kejayaan sebagaimana orang-orang mulia dalam panggung sejarah. Hadratussyaikh Sang Kiai yang harum nama besarnya, menjulang tinggi di angkasa raya. Manusia hebat beneran! Yang namanya tak sekedar ada di baliho dan spanduk acara-acara Bung !

Sudah 80 Tahun bangsa kita merdeka, negara gini-gini aja, bahkan kedodoran hadapi tantangan dan ujian misalnya bagaimana hadapi wabah corona. Lihatlah Korsel maju, Barat, China, Jepang, India, Turki juga turut meraih kemajuan. Kita harus maju dalam sejarah masa kini dan masa depan. Sesekali para penyelenggara negara, baca bukunya Fareed Zakaria perihal pengalaman negara-negara melawan pandemi.

Sayangnya, pejabat negara hanya tahunya baca buku rekening saja. Tentunya dengan kontemplasi dan perjuangan menghadapi tantangan abad 21, semua anak bangsa gotong royong memajukan Indonesia. Pejabat model beginian, dibuang ke laut aja Bang! Karena mereka jadi parasit negara, jadi jamur rakyat kayak di film Korea. Manusia dicengkeram kerakusan, kata Bang Iwan Fals.

AKHIRUL KALAM

Hadratussyaikh adalah seorang ulama peduli umat dan bangsa serta mempunyai pemikiran-pemikiran moderat. Artinya, sebagai ulama ia pasti mempunyai umat yang harus diperhatikan dan diarahkan ke tujuan yang seimbang atau moderat. Dan sebagai seorang yang dilahirkan di negeri ini, ia mempunyai keinginan kuat untuk memperjuangkan cita-cita bangsa.

Kita semua wajib bersaksi, Hadratussyaikh, kiai, santri, dan pejuang negeri yang turut menggerakkan Resolusi Jihad 45 bisa disimpulkan dengan tiga kata, “Ia lahir, berjuang, dan syahid.” Bahwa the great man, manusia besar selalu seperti halilintar yang membelah langit, dan manusia yang lain hanya menunggu dia seperti kayu bakar.

Hadratussyaikh adalah sebuah contoh utama, teladan mulia di bumi pertiwi. “Siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit dari ihwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa yang terjadi pada mereka. Hingga saat-saat kepunahannya akan mengetahui bahwa kejayaaan yang menggelimangi mereka, kebanggaan yang mereka sandang. Dan kemuliaan menjadi perhiasan mereka. Tidak lain adalah berkat apa yang secara kukuh mereka pegangi, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seiya-sekata, searah setujuan, dan pikiran mereka seiring,” demikian dawuhnya.

Bangsa yang keren dan top markotop adalah bangsa yang mampu bersatu padu mengayomi ribuan keragaman suku, budaya, etnik dan agama. Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari telah mengajarkan kita bagaimana melawan, walaupun mereka gajah, sedangkan kita hanya semut. Kita lawan mereka dengan cara kita. Bahkan, bagaimana kancil menghadapi serigala, semua sudah diajarkan tetua para kiai dan santri di masa penjajahan. Semua tergantung diri kita saat ini. Jejak-jejakmu merahimi kebangkitan.

Selamat Hari Santri nasional, sebagaimana ucapan Karl Marx, dalam karya pembuka Edward W. Said, Orientalism,”They cannot represent themselves, they must be represented.” Saatnya santri mempresentasikan diri mereka sendiri, yang selama ini dipresentasikan orang lain dengan cara yang kurang tepat dan tidak jelas. Santri tetap mencintai negeri, menggapai ridha ilahi. Karena santri adalah kita, untuk Indonesia.  Saatnya santri berkarya kembali di era kekinian. Negeri tercinta ini wajib kita warnai dengan passion, bakat, skill, inovasi, kreativitas, dan cinta kita memajukan negara dan menjaga kemanusiaan. Santri adalah kita, bangkit memajukan dan mencerahkan bangsa yang saat ini dilanda wabah. Seperti maunya grup band Korea Blackpink: Light up the sky, tentunya langit cerah Indonesia. Ngeri !

Akhirnya, saya tutup dengan puisi indah dari sang penyair celurit emas, Kiai Zamawi Imron judulnya Tanah Air Sajadah: Karena Tanah Air adalah ibunda kita/Siapa mencintainya jangan menodainya dengan dosa/Siapa menghormatinya jangan mengotorinya dengan darah/Tanah Air adalah sajadah/Tempat bersujud mengagungkan Allah.

Di zaman now, marilah kita kenang, walaupun dengan deg-degan, dengan setia kobarkan apa yang dikatakan Ayahandanya Gus Dur, Kiai Wahid Hasyim,”Membaca sejarah itu penting, tetapi membuat sejarah itu lebih penting.”Cinta Tanah Air adalah bagian dari Iman. Yuk, lanjutkan Resolusi Jihad 45, perjuangan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan santri, barisan mujahidnya di zaman kekinian. Rabbi fanfa’na bibarkatihim wahdinal husna bihurmatihim

Sruputan Secangkir kopi senja hari ini terasa agak beda, ternyata lupa karena belum lantunkan Al-fatihah kepada Sang cinta.

*Penulis Adalah: Pengurus Pusat GP ANSOR & Cand. Magister Universitas Paramadina

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER