MONITOR, Serang – Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin (SMH) Banten melalui Pusat Moderasi Beragama (PMB) di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) mendorong mahasiswa untuk menjadi pelopor moderasi beragama. Langkah ini dinilai penting untuk memperkuat kesehatan mental di kalangan mahasiswa melalui penguatan nilai-nilai spiritualitas dan keseimbangan berpikir.
Wakil Rektor II UIN SMH Banten, Dr Ali Muhtarom, menuturkan bahwa mahasiswa saat ini sangat rentan mengalami gangguan kesehatan mental, seperti rasa putus asa yang dapat berujung pada tindakan ekstrem. Ia menyoroti kasus mahasiswa Universitas Udayana berinisial TAS sebagai peringatan penting bagi dunia kampus.
“Fenomena ini harus menjadi perhatian. Kalau bicara faktor tentu banyak, antara lain karena gangguan kesehatan mental,” ujar Dr Ali Muhtarom saat membuka kegiatan Pelatihan Kepeloporan Moderasi Beragama dan Wawasan Kebangsaan bagi Mahasiswa di Kampus 2 UIN SMH Banten, Curug, Kota Serang, Senin (20/10/2025).
Menurut Ali, kesehatan mental mahasiswa sangat dipengaruhi oleh pemahaman agama dan spiritualitas yang benar. Ia menilai perubahan yang cepat saat ini, termasuk di media sosial, turut juga mempercepat pergeseran cara berpikir keagamaan di kalangan anak muda.
“Sekarang perubahan begitu cepat, termasuk soal pemahaman keagamaan,” katanya.
Ali menegaskan pentingnya penguatan spiritualitas di lingkungan kampus agar mahasiswa memiliki keseimbangan dalam berpikir dan bertindak.
“Moderasi beragama menyeimbangkan pola pikir, intelektualitas, sikap, dan perilaku,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris LP2M UIN SMH Banten, Dr Salahuddin Al Ayyubi, mengungkapkan bahwa moderasi beragama membentuk pribadi yang memiliki prinsip tawasuth atau sikap adil dan seimbang dalam memandang berbagai hal. Karena itu, mahasiswa dianggap tepat menjadi pelopor moderasi beragama.
“Selain harus moderat, dia juga harus menjadi agent of change,” tutur Salahuddin.
Senada dengan itu, Ketua Pusat Moderasi Beragama UIN SMH Banten, Salim Rosyadi, menjelaskan bahwa kegiatan tersebut bertujuan mencegah mahasiswa dari pengaruh paham radikal.
“Data Alvara Research merinci bahwa 48 persen mahasiswa pernah terlibat dalam kekerasan atas nama agama,” katanya.
Adapun narasumber kegiatan, Dr Nurul Huda Maarif, menekankan bahwa moderasi beragama mencakup nilai tawassuth (jalan tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (seimbang). Nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, serta penerimaan terhadap budaya lokal.
“Praktiknya bagi mahasiswa bisa dilakukan dengan menyebarkan nilai-nilai moderat, misalnya melalui media sosial,” ujar Nurul.