Sabtu, 11 Oktober, 2025

Soal Ancaman BPJPH pada Produk yang Tak Punya Sertifikasi Halal, DPR: Kebijakan Sembrono!

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam menanggapi pernyataan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Ahmad Haikal Hasan yang menyebut seluruh produk makanan, minuman, obat hingga kosmetik yang belum mengantongi sertifikat halal akan dikategorikan sebagai barang ilegal mulai 2026. Menurut Mufti, kebijakan BPJPH tersebut ngawur dan sembrono.

“Saya menilai, pernyataan bahwa mulai tahun 2026 semua produk tanpa sertifikasi halal akan dianggap sebagai produk ilegal adalah pernyataan yang ngawur dan kebijakan yang sembrono,” kata Mufti Anam, Jumat (10/10/2025).

Sebelumnya, Kepala BPJPH Ahmad Haikal Hasan mengatakan bahwa seluruh produk makanan, minuman, obat hingga kosmetik yang belum mengantongi sertifikat halal akan dikategorikan sebagai barang ilegal mulai 2026.

Menurut Haikal, UU Nomor 33 Tahun 2014 mengamanahkan semua makanan, minuman, termasuk di dalamnya obat, kosmetik dan lain sebagainya wajib memiliki sertifikat halal. Ia juga menyerukan, batas sertifikasi halal bagi produk-produk tersebut diatur dalam PP Nomor 42 Tahun 2024 Pasal 160 dan 161.

- Advertisement -

Pelaku usaha mikro dan kecil disebut wajib memiliki sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihannya mulai 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2026. Ketentuan terkait jenis-jenis produk lainnya lebih lanjut diuraikan pada Pasal 161.

Adapun produk-produk yang wajib memiliki sertifikat halal antara lain barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

BPJPH juga menyebut pemerintah akan memberi sanksi berupa surat peringatan, teguran serta pencabutan izin usaha demi menegakan hukum yang berlaku terkait aturan sertifikasi halal. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kualitas produk yang akan dikonsumsi masyarakat.

Kepala BPJPH juga menuturkan, bahwa label halal tak lagi menyangkut urusan agama, melainkan standar global yang menunjukkan kualitas, keamanan, serta nilai tambah suatu produk.

Menurut Mufti Anam, pernyataan seperti itu tidak hanya menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam mengelola industri halal nasional, tapi juga berpotensi mematikan jutaan pelaku UMKM yang hari ini sedang berdarah-darah menjaga usahanya tetap hidup di tengah tekanan ekonomi global.

“Kita semua sepakat bahwa halal itu penting, bahkan wajib. Tapi kebijakan besar seperti ini tidak bisa dijalankan dengan pendekatan maklumat dan ancaman,” tegasnya.

“Sebelum bicara pemaksaan, negara harus bercermin: apakah ekosistem sertifikasi halal di Indonesia sudah siap? Apakah prosesnya sudah sederhana, murah, dan bebas pungli? Apakah aparat dan lembaganya sudah punya kredibilitas? Karena kenyataannya, banyak pelaku usaha yang ingin taat, tapi tidak mampu,” lanjut Mufti Anam.

Anggota Komisi Perdagangan DPR itu pun menyinggung proses sertifikasi halal yang rumit dan mahal sehingga membebani pedagang kecil. Bahkan, Mufti mendengar sendiri bahwa biaya dan birokrasi sertifikasi halal masih menjadi momok, karena banyak oknum dan makelar bermain di tengah sistem yang tidak transparan.

“Bayangkan pedagang gorengan di pinggir jalan, penjual bakso keliling, warung nasi padang, toko kelontong di kampung, sampai penjual bumbu di pasar tradisional, semua itu tulang punggung ekonomi rakyat,” sebut Legislator dari Dapil Jawa Timur II itu.

“Apakah kita tega menyebut mereka ‘ilegal’ hanya karena belum punya sertifikat halal yang prosesnya rumit dan mahal?
Kebijakan seperti ini bukan memberdayakan rakyat, tapi menakuti rakyat kecil yang justru paling loyal pada produk dalam negeri,” tambah Mufti.

Lebih parah lagi, lanjut Mufti, sertifikat halal keluar tanpa pengecekan lapangan yang komprehensif.

“Jangan heran apabila sertifikasi halal berubah menjadi komoditas baru pungli. Maka dari itu, sebelum memaksa rakyat, benahi dulu institusinya. Perkuat kredibilitasnya di dunia internasional,” ungkapnya.

“Hari ini saja, produk halal Indonesia tidak bisa langsung masuk ke pasar global karena sertifikasi halalnya belum diakui,” imbuh Mufti.

Mufti mengungkapkan, saat ini masih banyak eksportir nasional harus mendapat sertifikasi halal dari Malaysia agar produk mereka diakui sebagai halal.

Padahal seharusnya, kata Mufti, sertifikasi Indonesia lebih baik dari sertifikasi halal Malaysia, sebab jumlah penduduk muslim dan UMKM di tanah air jauh lebih besar dari negeri jiran.

“Artinya apa? Dunia belum percaya pada standar halal Indonesia. Lalu bagaimana kita bisa memaksa rakyat kecil di negeri sendiri, sementara dunia luar saja belum percaya pada sistem kita?” tukasnya.

Mufti pun khawatir, kebijakan ini justru menghambat akselerasi ekonomi nasional, terutama di sektor UMKM yang seharusnya menjadi tulang punggung pertumbuhan.

“UMKM kita baru saja bangkit dari pandemi, baru belajar bertahan dari krisis global, jangan lagi dibebani regulasi yang tidak realistis. Jangan sampai niat baik menuju industri halal berubah menjadi kuburan massal bagi UMKM Indonesia,” jelas Mufti.

Mufti menekankan, seharusnya pemerintah tidak menakuti pelaku usaha dengan ancaman ‘ilegal’, tapi membangun ekosistem halal yang kredibel, transparan, dan berpihak pada rakyat.

Mulai dari digitalisasi proses sertifikasi, pendampingan gratis bagi UMKM, subsidi biaya sertifikasi, hingga pengawasan ketat terhadap oknum yang mencari keuntungan di balik label halal.

Pemerintah, tambah Mufti, seharusnya fokus pada membangun sistem yang dipercaya dulu, baru bicara kewajiban rakyat.

“Jangan seperti pemadam kebakaran, datang hanya setelah kebijakan menimbulkan gejolak,” urainya.

“Kalau mau bangsa ini menjadi pusat industri halal dunia, mulailah dari niat yang benar, bukan dari ancaman yang justru menakut nakuti rakyat,” pungkas Mufti.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER