MONITOR, Jakarta – Lembaga kajian dan penelitian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) mempertanyakan tindakan kepolisian yang menangkap sejumlah aktivis seperti Social Movement Institute, Muhammad Fakhrurrozi alias Paul oleh jajaran Polda Jawa Timur tanpa mematuhi kaidah hukum yang benar. PVRI juga mengecam tindakan polisi memburu aktivis maupun demonstran pasca aksi 28 Agustus silam yang kini telah mengkriminalisasi 959 orang dengan 295 diantaranya adalah anak-anak. Jumlah ini merupakan pemolisan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Direktur Eksekutif PVRI, Muhammad Naziful Haq (Nazif) mengatakan, apa yang polisi lakukan selama satu bulan ini menjadi paradoks dari agenda reformasi Polri.
“Ironis, ketika pemolisian tanpa surat tetap dilakukan dan jumlah kriminalisasi terus bertambah, sementara wacana reformasi Polri bukan saja sudah digaungkan, melainkan juga sudah terbentuk timnya meskipun belum mulai mengayun penyuh.” ucap Direktur Eksekutif PVRI, Minggu, (28/09/2025)
Nazif menilai, Polisi sebenarnya tidak perlu mewacanakan suatu janji perubahan yang besar jika kenyataannya paradoks di lapangan tetap bertambah. Polisi setidaknya melakukan hal kecil tetapi berdampak besar, seperti misalnya memenuhi hak warga dengan menyediakan surat penangkapan dan menyiapkan argumentasi serta bukti yang logis dan bisa dipertanggungjawabkan. Lebih jauh, ia menjelaskan, kriminalisasi dan pemolisian terhadap warga yang menggunakan hak kebebasan berpendapatnya tetap tidak dibenarkan.
“Bagaimanapun, ini cara dan logika yang sama kolonialnya dengan kriminalisasi dan pemolisan yang aktivis nasionalis dulu pernah alami hampir seratus tahun lalu. Jadi, Polisi seharusnya tidak menggunakan apalagi menikmati logika ini jika ia benar-benar komitmen pada demokrasi.” papar Nazif.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti PVRI, Alva Maldini (Vava) menjelaskan, transparansi dan akuntabilitas penangkapan adalah hak dasar warga, tapi cara yang klandestin masih tetap membudaya dalam praktik kriminalisasi dan pemolisan. “Preseden ini tampaknya makin suram ketika hak-hak pendampingan hukum pun belakangan ini mulai dijauhkan.” tegas Vava.
Vava melanjutkan, Fakhrurrozi dijerat dengan pasal 160,170,187, dan 55 KUHP. “Jika dilihat, pasal-pasal ini masih sangat strategis menjadi katalis kriminalisasi dan pemolisian ala kolonial yang mendayagunakan tafsir arbitrer ala penguasa.” terang Vava.
PVRI menilai bahwa penangkapan Paul dan kriminalisasi terhadap 959 orang tidak saja bentuk pembasmian hak bersuara yang vital bagi demokrasi, tetapi juga menjadi indikator kritis bahwa polisi harus berhenti menikmati logika kolonialisme. Paul dan aktivis-aktivis maupun warga yang dikriminalisasi karena menggunakan hak bersuaranya harus dibebaskan.