MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana mempertanyakan langkah Polri yang menyita buku-buku sebagai barang bukti dalam rangkaian penangkapan yang terjadi setelah demonstrasi yang berlangsung pada akhir Agustus 2025. Menurut Bonnie, buku adalah alat untuk memperkaya pemikiran, bukan untuk melalukan kejahatan.
“Membaca buku bukanlah sebuah kejahatan. Saya mengecam tindakan kepolisian menyita buku sebagai alat bukti kejahatan karena akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpikir dan berpendapat,” kata Bonnie, Kamis (25/9/2025).
“Terutama imbasnya ke dunia akademik di mana pikiran dan pemikiran diuji berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah,” tambahnya.
Seperti diketahui, sejumlah buku menjadi bagian dari barang bukti yang disita Polisi setelah gelombang demonstrasi yang berlangsung pada 25–31 Agustus 2025 di berbagai kota. Selain batu, spanduk, dan bom molotov, polisi menyita buku-buku dari lokasi penangkapan sejumlah pihak yang ditetapkan sebagai tersangka.
Penyitaan ini pertama kali muncul setelah penangkapan terhadap Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen.
Peristiwa serupa terjadi di Bandung. Polisi menyita 29 judul buku yang terdiri dari berbagai tema, mulai dari buku tentang perlawanan jalanan hingga buku-buku yang membahas filsafat. Cerita penyitaan buku berlanjut ke Sidoarjo, di mana dari 18 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, polisi kembali menghadirkan buku sebagai barang bukti.
Judul-judul yang disita di Sidoarjo antara lain “Karl Marx” karya Franz Magnis Suseno, “Anarkisme” karya Emma Goldman, “Kisah Para Diktator” karya Jules Archer, dan “Strategi Perang Gerilya” karya Che Guevara. Buku-buku tersebut dipajang di meja barang bukti bersama benda-benda lainnya yang ditemukan saat penangkapan berlangsung.
Bonnie berpandangan, buku-buku yang disita adalah karya-karya yang banyak dikenal di kalangan akademik dan gerakan sosial, yang mendorong pikiran kritis tentang ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik. Sehingga, tak ada yang salah dengan isi dari buku tersebut.
“Buku tidak bisa menjadi barang bukti kejahatan. Menyita buku, sebagai produk pengetahuan, sama artinya memenjara pemikiran,” tegas Bonnie.
Anggota komisi pendidikan DPR itu juga menambahkan, penyitaan buku sebagai bukti kejahatan bukan hanya melukai kebebasan akademik. Menurut Bonnie, langkah hukum kepolisian tersebut turut mengingatkan sejarah dunia yang kelam.
“Penyitaan buku sebagai barang bukti kejahatan hanya terjadi pada rezim fasis yang totalitarian,” ungkap Legislator dari Dapil Banten I itu.
“Tentu kita tak mau memutar jarum jam mundur ke belakang, membawa kita kepada kondisi yang sama buruknya dengan era kolonial,” sambung Bonnie.
Bonnie pun menyayangkan sikap impulsif pihak kepolisian yang juga dinilai tidak sensitif terkait hal ini.
“Semestinya aparat peka terhadap kritik anak-anak muda. Mereka menjadi sadar akan sesuatu yang tidak beres di negeri ini karena memiliki pengetahuan menganalisis keadaan berbekal dari bacaan,” pungkasnya.