MONITOR, Jakarta – Ada satu hal yang kerap terulang dalam sejarah politik Indonesia yaitu regulasi yang lahir dengan gegap gempita seringkali menjadi pesta elite, tapi meninggalkan rakyat sebagai penonton di luar gedung. Revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) berpotensi mengulang babak itu jika tidak diletakkan di atas fondasi akademis yang kokoh.
Demikian disampaikan Masady Manggeng, tokoh muda yang juga politisi PDI Perjuangan asal Aceh. Menurutnya revisi UUPA bukan sekadar soal menata pasal atau menambah ayat. Tapi menyangkut arah masa depan Aceh, bagaimana kekhususan yang diperoleh lewat perjanjian damai bisa diterjemahkan menjadi kesejahteraan nyata.
“Tanpa keterlibatan akademisi, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil, revisi hanya akan menjadi kosmetik politik, indah dipandang, tapi rapuh di dalam,” ujar Masady kepada media di Jakarta. Sabtu 13 September 2025.
Masady membeberkan sejumlah literatur tentang otonomi di berbagai negara memperlihatkan, otonomi yang lahir tanpa basis pengetahuan hanya akan menjadi simbol kosong. Quebec di Kanada, Catalonia di Spanyol, atau Papua di Indonesia, semuanya menunjukkan betapa rentan otonomi jika tidak disertai tata kelola yang adil dan partisipasi masyarakat yang kuat. Papua adalah cermin yang paling dekat, dimana lebih dari Rp 1.000 triliun dana otonomi khusus digelontorkan sejak 2002, namun indeks pembangunan manusianya tetap terendah, 61,4 pada 2023.
“Aceh menyimpan ironi serupa. Data BPS 2024 mencatat tingkat kemiskinan masih 14,4 persen, tertinggi di Sumatra. Padahal, tanah ini kaya gas, emas, dan laut luas yang menyumbang seperlima PDRB provinsi. Kekayaan itu ibarat sungai besar yang mengalir deras, tapi entah bagaimana airnya jarang sampai ke sawah rakyat. Revisi UUPA, jika tidak berani menegaskan kewenangan Aceh atas pertambangan, fiskal, dan kelautan, hanya akan menambah daftar panjang paradoks itu,” ungkapnya.
Masalah representasi politik, ungkap Masady juga menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Dengan 13 kursi DPR RI, suara Aceh di Senayan sering terdengar lirih, tenggelam dalam koor lantang dari Jawa. Menambah kursi bukanlah soal privilege, melainkan keadilan representasi, agar suara Aceh tidak hanya bergema di daerah, tetapi juga di ruang rapat yang menentukan arah negara.
“Namun, lebih dari sekadar ekonomi dan politik, revisi UUPA juga menyangkut janji moral. MoU Helsinki 2005 bukan hanya dokumen damai, melainkan kontrak batin yang ditandatangani dengan darah dan air mata. Di dalamnya ada janji bagi mantan kombatan, anak syuhada, korban konflik, dan masyarakat adat. Melupakan mereka sama saja dengan merobek halaman sejarah yang seharusnya dijaga,” ujar Masady.
“Pendidikan dan keagamaan juga tidak boleh absen dari meja revisi. Rata-rata lama sekolah di Aceh baru 9,2 tahun, masih di bawah angka nasional 9,6. Pendidikan adalah jembatan panjang menuju kesejahteraan. Tanpa investasi serius di bidang ini, generasi Aceh akan terus berjalan dengan langkah tertatih di jalan panjang itu,” tegasnya.
Masady juga mengingatkan agar revisi UUPA jangan berhenti menjadi kosmetik elit politik. Kosmetik bisa mempercantik wajah di depan kamera, tapi tidak bisa menyembuhkan luka di tubuh. “Yang dibutuhkan Aceh adalah obat, bukan bedak. Jembatan kokoh, bukan cat yang mengelupas di musim hujan,” tegasnya.
MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, menyoroti kondisi pendidikan di…
MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar meresmikan Masjid Raya Al Bakrie di Bandar Lampung,…
MONITOR, Jakarta - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita telah meresmikan kebijakan baru terkait Tingkat Komponen…
MONITOR, Jakarta - Menteri Agama Nasaruddin Umar meminta penyuluh lintas agama untuk menjadi duta perdamaian…
MONITOR, Jakarta - Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen TNI Richard Tampubolon bersama Kepala Jaksa…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini menyambut baik percepatan pembahasan…