MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan visinya mengenai pangan biru sebagai pilar utama ketahanan pangan Indonesia. Hal itu dibahas dalam podcast bertajuk “Blue Food Indonesia Nomor 1 Dunia untuk Ketahanan Pangan”.
Dipandu oleh Praktisi dan Pengamat Lingkungan Hidup, Prof. Hadi Sukadi Alikodra, diskusi ini menyoroti potensi luar biasa ekosistem perairan Indonesia dalam menopang kebutuhan pangan nasional maupun global. Dari laut hingga tambak dan kolam bioflok yang mampu menghasilkan hingga 115 juta ton pangan per tahun. ini
Angka ini jauh melampaui kebutuhan domestik yang hanya sekitar 15 juta ton, menjadikan Indonesia sebagai eksportir utama dengan surplus perdagangan perikanan mencapai USD 5,8 miliar per tahun.
“Potensi produksi maritim dan akuakultur Indonesia mencapai 115 juta ton per tahun, jauh melampaui kebutuhan konsumsi domestik yang hanya sekitar 14–15 juta ton,” ujar Politisi Fraksi PDI Perjuangan, pada Senin (1/9/2025).
Menurut Prof. Rokmin, Surplus ini menjadikan Indonesia salah satu eksportir utama dengan nilai surplus neraca perdagangan perikanan mencapai USD 5,8 miliar per tahun.
Lebih dari sekadar statistik, Rektor Universitas UMMI Bogor mengaitkan urgensi kemandirian pangan dengan pidato historis Presiden Soekarno tahun 1957: “Pangan adalah hidup dan mati suatu bangsa.” Ia menekankan bahwa ketergantungan pada impor pangan, terutama gandum, menghambat kemajuan bangsa. Sebagai solusi, ia mendorong pengembangan alternatif lokal seperti sagu, sorgum, dan porang yang dinilai lebih kaya karbohidrat dan cocok dengan agroekologi Indonesia.
Artinya pangan itu menentukan maju mundurnya sebah bangsa. Sehingga kemandirian pangan menjadi syarat mutlak menuju negara maju.
“Tahun 2000 FAO melakukan penelitian tentang pangan. Kalau negara dengan 100 juta penduduknya pangannya bergantung pada impor itu impossible untuk bisa menjadi negara maju dan makmur,” tegasnya.
Menurutnya, pangan itu menentukan kesehatan, kecerdasan, masa depan bangsa. Karena kalau individu rakyat sebuah negara itu terkena stunting, gizi buruk, segala macam penyakit tidak mungkin SDM nya unggul.
Ia menegaskan, Komisi IV mendukung penuh gerakan Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan mengawasi agar on the track.
“Kami nilai Insya Allah beras, jagung bisa. Kalau ikan sudah rajanya sejak dulu sejak saya menjadi menteri, neraca perdagangan selalu positif. Kita impor hanya 5% dari kebutuhan. Itupun sebagian besar dalam bentuk tepung ikan. Karena memang rajanya tepung ikan itu Perlu dari ikan ancofi,” tuturnya.
Dalam tahun ini, jelasnya, kita swasembada beras, jagung, singkong. Sementara daging belum walaupun potensinya bagus. Pada tahun 2027 paling lambat kita bisa swasembada kedelai. Tetapi kalau gandum tidak mungkin karena secara agroekologi tidak bisa ditanam di Indonesia.
“Tetapi Komisi IV mendorong bahwa tanaman pangan yang mengandung karbon hidrat lebih tinggi dari gandum, misalnya sorgum dan sagu,” katanya.
Ia mengungkapkan Prof. Buntoro melakukan penelitian RIOS sejak 5 tahun terakhir sudah berkembang bahwa sagu itu bisa untuk mie tidak kalah dengan Indomie yang terbuat dari gandum.
Dalam 20 tahun terakhir impor gandum selalu meningkat dan tahu lalu sudah 13 ton. Jadi, komposisi gandum di pakan karbohidrat Indonesia sekarang sudah 50%. Kalau dulu pada tahun 70an hanya 2%. “Kenapa kita tidak kembangkan sagu, sorgum, kemudian Porang dst?” tukasnya.
Lalu ia memaparkan tentang blue food, yaitu semua jenis pangan yang berasal dari ekosistem perairan. Tidak hanya dari ekosistem laut tetapi juga perairan tawar juga. Seperti payau ada tambak, waduk, karamba jaring terapung yang ramah lingkungan bisa menghasilkan jutaan ton ikan.Kemudian di darat ada kolam dengan sistem bioflok dengan drum-drum atau denah HDPE.
“Yang lebih penting blue food itu bukan hanya berasal dari budidaya, terapi dari penangkapan pun termasuk blue food. Potensinya nomor satu di dunia,” ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).
Menurut penelitian terakhir, bahwa produksi perikanan Indonesia yang mencakup Perikanan tambak dan perikanan budidaya itu sekitar 115 juta ton pertahun. Sementara kebutuhan konsumsi nasional rata-rata baru 50kg. Jika 50kg dikallkan 285 juta penduduk sekitar 15 juta ton. Berarti masih surplus 100 juta ton.
“Dalam neraca perdagangan perikanan kita 90% surplus. Artinya kita impor hanya 200 juta, kita ekspor 6 miliar US dolar. Kita surplus 5,8 miliar US dolar dari produksi perikanan,” terangnya.
Kedua, modus operandinya untuk produksinya melalui penangkapan atau budidaya. Ketiga, salama ini kita kenal blue food itu hanya empat jenis. 1. Dari jrnys fish nya, ikan-ikanan kita ribuan spesies. 2. Dari Molas atau kekerangan Moluska ada kerang hijau, balon, kerang darah. 3. Krustasian, yaitu udang, kepiting rajungan, lobster dst. 4. Rumput laut atau makroalge dan microalge. “Tetapi kita lupa bahwa ada invertebrate, seperti model tripang, jenis-jenis lain ang terkenal bergizi,” ujarnya.
Prof. Rokhmin juga menyoroti pentingnya inovasi bioteknologi seperti genom editing dan DNA sequencing untuk menciptakan varietas pangan yang tahan salinitas, bahkan memungkinkan budidaya padi di laut seperti yang telah dilakukan di China.
Prof. Rokhmin juga menekankan pentingnya mengoptimalkan sektor ini agar menjadi game changer dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
“Akuakultur atau pangan biru bisa menjadi game changer bagi masa depan Indonesia,” tandas Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Sebagai penutup, ia menegaskan bahwa daya saing produk Indonesia harus memenuhi empat syarat: kualitas unggul, harga kompetitif, suplai berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Semua sektor dari kelautan hingga pertanian dan energi harus berkontribusi dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Pertama, kualitasnya harus top. Kita bisa menghasilkan tekstil, udang, kayu, apapun harus top quality. Kedua, harganya reaktif murah. Ketiga, produksi atau suplainya harus reguler dan berkelanjutan. “Jangan mampu memproduksi setahun, tahun keduanya drop. Kita kontrak kerja dengan importir tidak dipercaya lagi,” ujarnya.
Keempat, di era global warming dan makin terbatasnya bumi kita mengenai ramah lingkungan.
Ia mengingatkan, kalau bangsa Indonesia mau maju, berdaya saing dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan paling lambat 2045 kita harus menghasilkan semua perusahaan, semua sektor kelautan dan perikanan, pertanian, pertambangan, energi atau SDM, industri harus menghasilkan produk yang bersaing.