Senin, 25 Agustus, 2025

‘Pertarungan Ideologis’ Konservasi vs Ekploitasi dalam Revisi UU Kehutanan

MONITOR – Pemerintah dan DPR RI kini tengah melakukan pembahasan mengenai Revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Agenda tersebut masuk dalam Prolegnas 2025 sejak bulan November 2024. DPR telah menunjuk Komisi IV sebagai dapur utama pembahasan. Panitia Kerja dibentuk, dan sejak Juni 2025 digelar serangkaian RDPU.

Perubahan UU Kehutanan dinilai bukan hanya sekedar penyegaran tetapi didalamnya ada “pertarungan ideologis” antara konservasi dan kepentingan ekonomi. Revisi UU Kehutanan bukan sekadar soal pasal dan ayat, melainkan soal masa depan ekologi Indonesia. Ya, Alih-alih menjadi tonggak reformasi tata kelola hutan, revisi UU Kehutanan ini dituding berpotensi melanggengkan model eksploitasi lama dalam bungkus baru.

Di luar gedung parlemen, hutan-hutan terus ditebang, lahan gambut terbakar, dan masyarakat adat berjuang mempertahankan tanah leluhur. Jika revisi UU Kehutanan ini gagal mengakomodasi perlindungan, maka ini bukan pembenahan, melainkan legalisasi kerusakan.

Anggota Komisi IV DPR RI Prof Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa revisi ideal UU Kehutanan ini harus mengakomodasi hak adat, memperkuat fungsi ekologis, membuka ruang multiusaha yang adil, dan menjamin partisipasi publik. Bila tidak, menururnya revisi ini hanya akan menjadi kosmetik politik: undang-undang baru dengan isi lama.

- Advertisement -

“Bila revisi ini berhasil mengakomodasi hak adat, menegakkan fungsi ekologis, memperkuat data, memberi ruang multiusaha yang adil, dan memastikan partisipasi publik, maka Indonesia bisa punya undang-undang kehutanan yang benar-benar progresif,” katanya kepada media.

Secara substantif terdapat tiga isu besar dalam Revisi Undang-Undang Kehutanan ini yakni status hutan adat, fungsi kawasan, dan mekanisme pemanfaatan. Isu hutan adat menjadi paling panas. Masyarakat sipil menuntut pengakuan penuh sesuai putusan MK 35/2012, sementara beberapa pakar hukum administrasi mendorong agar tetap ada syarat formal pengakuan melalui peraturan daerah. Di balik itu, terselip ketegangan politik: pengakuan penuh berarti negara kehilangan klaim atas jutaan hektare kawasan yang selama ini masuk hutan negara.

Dalam konteks fungsi kawasan juga mengundang perdebatan. Ada usulan memperluas fungsi, dari tiga fungsi klasik menjadi lebih banyak, termasuk fungsi sosial-ekologis. Namun pemerintah khawatir terlalu banyak kategori justru menambah rumit birokrasi. Perdebatan teknis itu sesungguhnya menyimpan pertarungan besar: apakah hutan akan tetap dilihat sebagai “aset negara untuk pembangunan” atau sebagai “penyangga kehidupan untuk keadilan ekologis”.

Selain substansi, masalah proses legislasi juga mencuat. Hingga Agustus 2025, draf resmi revisi belum dipublikasikan. Publik hanya bisa membaca versi matriks usulan dari berbagai pihak. Transparansi minim ini menimbulkan kritik. Koalisi masyarakat sipil menuntut DPR membuka dokumen kerja, agar publik bisa memberi masukan substantif. Tanpa itu, revisi akan berakhir seperti UU Cipta Kerja: disusun tergesa-gesa, minim partisipasi, dan penuh gugatan.

Namun Panja DPR bergeming. Mereka berdalih, draf masih dibahas internal. Di sisi lain, Komisi IV mengklaim sudah menerima ratusan masukan. Proses politik ini jelas belum final. Targetnya, naskah akademik dan draf revisi bisa rampung akhir tahun, lalu disahkan sebelum masa sidang 2026. Artinya, jalan masih panjang, tapi ruang publik bisa semakin sempit bila keterbukaan tidak segera dijamin.

Prof Rokhmin Dahuri yang juga Guru Besar IPB University itu membeberkan, ada lima prinsip fundamental yang harus dijaga dalam revisi UU Kehutanan: perlindungan hak adat, penguatan fungsi ekologis, akurasi data kehutanan, keadilan dalam multiusaha, dan partisipasi publik yang bermakna.

Pertama, revisi UU Kehutanan harus menjadi upaya komprehensif untuk memperkuat pengelolaan hutan, bukan tambal sulam pasal. Ia menolak jika revisi hanya memoles bahasa, tetapi tidak menyentuh akar persoalan: deforestasi, kriminalisasi adat, dan tata kelola yang korup.

Kedua, ia menegaskan pentingnya revisi ini untuk mendukung transisi energi ramah lingkungan. Indonesia punya target besar: FOLU Net Sink 2030, juga komitmen Paris Agreement. 

Menteri Kelautan dan Perikanan 2001-2004 itu menegaskan hutan bisa menopang bioenergi, biomassa, dan skema karbon yang menopang swasembada energi bersih. Namun ia memberi peringatan, transisi ini tidak boleh jadi kedok baru eksploitasi, seperti ekspansi sawit untuk biofuel. “Prinsip keberlanjutan harus nyata, bukan jargon,” tegasnya.

Ketiga, Rokhmin menyoroti urgensi mengatasi deforestasi, alih fungsi kawasan ilegal, dan kebakaran hutan. Baginya, semua itu bukan sekadar isu lingkungan, melainkan soal ekonomi nasional. Kebakaran hutan setiap musim kering misalnya, merugikan miliaran dolar, merusak kesehatan jutaan orang, dan merusak citra Indonesia di mata internasional. Ia percaya, revisi UU harus memberi instrumen hukum lebih tegas untuk mencegah deforestasi dan mengendalikan kebakaran.

Keempat, ia menekankan pengembangan ekonomi berbasis agroforestri. Bukan lagi 
model monokultur industrial yang terbukti menghancurkan ekologi dan memiskinkan  masyarakat lokal, melainkan agroforestri yang berkelanjutan. “Dengan sistem itu, masyarakat desa bisa menanam berbagai komoditas, dari kayu hingga tanaman pangan, tanpa merusak ekosistem. Agroforestri ini bukan hanya model bisnis, tapi juga jalan tengah antara konservasi dan kesejahteraan,” katanya.

Kelima, Prof. Rokhmin menyerukan partisipasi publik. Menurutnya, hutan tidak bisa hanya diurus oleh kementerian, perusahaan, atau DPR. Masyarakat harus ikut serta melalui gerakan menanam, mengelola sampah, hingga membangun industri berbasis kehutanan. “Pengelolaan hutan adalah tanggung jawab kolektif,” katanya. Dengan melibatkan publik, 
undang-undang baru bisa lebih kuat secara moral, bukan hanya legal,” tuturnya.

Ada sepuluh tema besar yang muncul, yang kemudian menjadi kerangka utama arah baru pengelolaan hutan. Tetapi seperti biasa, dalam politik legislasi, bukan hanya substansi yang dipertarungkan, melainkan juga siapa yang paling diuntungkan.

Hutan Adat. 

Sejak putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012, status hutan adat sudah ditegaskan sebagai hutan hak, bukan bagian dari hutan negara. Namun hingga kini, implementasi di lapangan sangat terbatas. Revisi UU diharapkan memberi kepastian: apakah negara betul-betul mengakui hutan adat, atau tetap mempertahankan kalimat klasik “sepanjang masih hidup”. Bagi komunitas adat, itu bukan sekadar redaksi. Kalimat “sepanjang masih hidup” adalah ancaman, karena pengakuan bisa sewaktu-waktu ditarik. Tidak heran, dalam setiap RDPU, suara masyarakat adat selalu bulat: cabut frasa diskriminatif itu, gantikan dengan pengakuan penuh.

Fungsi Hutan

Undang-undang lama membagi fungsi hutan hanya tiga: konservasi, lindung, dan produksi. RUU Kehutanan berusaha meluaskan cakupan, termasuk memasukkan ekosistem-ekosistem spesifik yang selama ini rentan: gambut, mangrove, karst, pesisir, dan pulau kecil. Penambahan ini penting, karena ekosistem tersebut kerap dianggap pinggiran, padahal perannya vital bagi perlindungan iklim dan mitigasi bencana. 

Ada pula usulan agar fungsi sosial-ekologis diakui sebagai fungsi sah, mengangkat praktik komunitas lokal yang selama ini mengelola hutan dengan kearifan sendiri. Dengan begitu, perhutanan sosial tak lagi hanya jadi program pemerintah, melainkan punya dasar hukum setara dengan izin-izin besar.

Inventarisasi dan Data. 

Tumpang tindih peta, data yang tak mutakhir, hingga ketertutupan informasi, selama ini menjadi biang carut-marut tata kelola kehutanan. RUU mencoba menjawab dengan kewajiban inventarisasi berbasis digital, penginderaan jauh, bahkan drone, yang diperbarui setiap tahun. Data itu mencakup bukan hanya biofisik, tetapi juga sosial-ekonomi, keanekaragaman hayati, hingga potensi karbon. Semua harus terbuka untuk publik, bukan hanya tersimpan di laci kementerian. Tanpa data transparan, semua rencana besar, termasuk komitmen FOLU Net Sink 2030—tak lebih dari slogan.

Soal Luasan Kawasan Hutan

Pemerintah masih mengklaim 63 persen daratan sebagai kawasan hutan, tapi di lapangan sebagian sudah lama jadi desa, sawah, bahkan kota. RUU menegaskan kembali aturan lama: tiap DAS atau pulau harus mempertahankan minimal 30 persen tutupan hutan. Tetapi angka itu sendiri dipersoalkan. Bagi kalangan ekolog, 30 persen tidak cukup untuk pulau padat seperti Jawa. Bagi kalangan bisnis, angka itu justru dianggap terlalu tinggi dan mengekang investasi. Jalan tengah yang diusulkan adalah audit ekologis berkala: luas minimal ditetapkan bukan hanya angka kaku, melainkan berdasarkan kajian daya dukung lingkungan.

Pemanfaatan Kawasan

Di sinilah kepentingan ekonomi paling kentara. Asosiasi pengusaha hutan mendorong sistem multiusaha: satu izin bisa mencakup banyak kegiatan, dari kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, hingga ekowisata. Sistem lama dianggap terlalu kaku, hanya menguntungkan pemain besar, dan gagal memberi nilai tambah. Di sisi lain, masyarakat sipil khawatir konsep multiusaha bisa menjadi pintu masuk eksploitasi lebih besar, jika tidak diiringi aturan ketat. Apalagi sistem OSS yang digunakan pemerintah masih serba digital tanpa memperhatikan keragaman 
lapangan. Usaha-usaha kecil bisa tergilas, sementara korporasi besar lebih diuntungkan.

Rehabilitasi dan Reklamasi

Selama ini, kewajiban merehabilitasi hutan kritis dan reklamasi pasca tambang hampir selalu diabaikan. RUU mencoba mempertegas: semua pemegang izin wajib melaksanakan, dengan sanksi administratif jika lalai. Bahkan ada usulan agar capaian rehabilitasi diumumkan terbuka, sehingga publik bisa mengawasi. Sederhana di atas kertas, tetapi sulit di lapangan. Reklamasi tambang, misalnya, hingga kini lebih banyak jadi laporan kertas daripada realitas.

Posisi Masyarakat Hukum Adat

RUU menyusun kriteria formal: harus punya komunitas, wilayah adat, kelembagaan, pranata hukum, harta benda, dan diakui dengan peraturan daerah. Di satu sisi, kriteria ini memberi standar jelas, mencegah klaim palsu. Namun bagi banyak komunitas adat yang hidup jauh dari akses birokrasi, mekanisme Perda adalah pintu penghalang, bukan pintu pengakuan. Kalangan sipil menuntut mekanisme FPIC (Free, Prior, Informed Consent) diadopsi, sehingga pengakuan bukan sekadar keputusan pemerintah daerah, melainkan hasil kesepakatan sejati.

Mekanisme Gugatan Hukum. 

Revisi ini untuk pertama kalinya membuka peluang luas: class action, citizen lawsuit, gugatan organisasi lingkungan, bahkan gugatan administrasi terhadap izin yang merusak hutan. Sengketa juga bisa 
diselesaikan di luar pengadilan, lewat mediasi atau arbitrase. Bagi aktivis, ini langkah maju. Selama ini, hak gugat warga nyaris tak punya dasar, padahal kerusakan hutan selalu berdampak langsung ke masyarakat sekitar. Tetapi tantangan berikutnya adalah implementasi: akankah pengadilan berani menerima gugatan warga melawan korporasi besar?

Soal Transisi Energi 

Untuk pertama kalinya, isu energi masuk ke pembahasan UU Kehutanan. Dorongan datang dari kalangan pakar, termasukb Prof. Rokhmin Dahuri , yang menekankan potensi hutan untuk menopang energi terbarukan: bioenergi, biomassa, jasa karbon. Dalam narasi besar pembangunan berkelanjutan, hutan tidak lagi dilihat hanya sebagai sumber kayu, tetapi juga sumber energi bersih. Namun, kritik segera muncul: jangan sampai transisi hijau ini jadi kedok baru ekspansi perkebunan energi, seperti sawit untuk biofuel.

Paradigma Keadilan Ekologis

Inilah tema yang paling ideologis sekaligus paling krusial. UU lama lahir dalam semangat “negara menguasai hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Tetapi praktiknya, yang makmur adalah segelintir korporasi, sementara rakyat kecil tersingkir. 

Revisi ini diharapkan mengubah arah: dari pendekatan administratif dan sektoral, menuju pendekatan ekoregional, partisipatif, dan berbasis hak. Hutan dilihat sebagai penyangga kehidupan, bukan sekadar aset negara. Narasi ini sejalan dengan tren global, dari Paris Agreement hingga Sustainable Development Goals.

Pertarungan politik legislasi membuat sepuluh tema ini tampak seperti medan tarik menarik. Kalangan bisnis mendorong kepastian investasi. Akademisi menekankan data dan sains. Masyarakat sipil menggaungkan keadilan ekologis dan pengakuan adat. Pemerintah sendiri sering gamang, terseret antara kepentingan iklim global dan tekanan industri domestik.

Pertanyaannya: apakah sepuluh poin besar ini akan melahirkan jalan baru, atau sekadar kosmetik politik? Jika DPR dan pemerintah berani menegakkan prinsip keterbukaan, partisipasi, dan keberlanjutan, revisi UU Kehutanan bisa menjadi tonggak baru. Tetapi jika tertutup dan terburu-buru, hasilnya hanya akan menambah babak panjang konflik, deforestasi, dan ketidakadilan.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER