MONITOR, Jakarta – Dana program Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam RAPBN 2026 yang mencapai Rp. 335 triliun menyulut kritik dari berbagai kalangan. Mulanya, dikabarkan caplok anggaran pendidikan hingga 44%, hampir separuh. Belakangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani merevisi dan mengaskan, alokasi anggaran pendidikan yang digunakan untuk MBG adalah Rp. 223,6 triliun, bukan semuanya (Rp. 335 triliun).
Tentu saja, JPPI kecewa dengan keputusan ini. Mestinya, anggaran pendidikan tidak boleh dibebani atau menanggung biaya MBG, sepeser pun. Jika dihitung, porsi MBG ini masih sangat tergantung dengan dana pendidikan. Bila dana MBG yang bersumber dari dana pendidikan adalah Rp. 223,6 triliun, berarti mayoritas (67%) anggaran MBG masih tergantung pada anggaran pendidikan.
“Ini artinya, program MBG akan merusak kualitas pendidikan dan membelokkan peta jalan pendidikan nasional. Kita masih punya masalah banyak di dunia pendidikan, mulai dari jutaan anak yang masih tidak sekolah, kualitas guru yang masih buruk dan kesejahteraannya yang memperihatinkan, serta ketersediaan sekolah dan daya tampung yang masih kurang. Masalah ini sampai kapan akan dibiarkan atau memang sengaja dipelihara?” tanya Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia.
Menurut JPPI, ada 3 alasan utama mengapa program MBG ini tidak boleh menggunakan anggaran pendidikan.
- Anggaran pendidikan sudah minim untuk kebutuhan pokok.
Anggaran pendidikan 20% APBN selama ini masih belum dialokasikan dengan benar, yang menyebabkan masih kurang untuk membiayai kebutuhan dasar. Contoh, Kemendikdasmen membuat program Wajib Belajar 13 Tahun. Pembiayaannya bagaimana? Ini masih menjadi masalah yang belum terpecahkan. Jangan sampai seperti periode lalu, pemerintah mencanangkan Wajib Belajar 12 Tahun, program pun sudah berjalan lebih dari 10 tahun, tetapi capaian rata-rata lama sekolah anak Indonesia masih 9 tahun. Itu baru potret satu program, belum lagi masalah peningkatan kualitas dan kesejahteraaan guru, sarana-prasarana sekolah, dan peningkatan kualitas pembelajaran. - MBG bukan fungsi pendidikan, melainkan fungsi kesehatan dan perlindungan sosial.
Program MBG lebih tepat dikategorikan sebagai program gizi dan perlindungan sosial, bukan program inti pendidikan. MBG seharusnya dibiayai oleh pos anggaran kesehatan, perlindungan sosial, atau ketahanan pangan. Menggunakan anggaran pendidikan untuk MBG akan mengaburkan prioritas dan mandat konstitusional anggaran pendidikan yang ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. - Risiko Pengurangan Kualitas dan Akses Pendidikan.
Jika MBG membebani anggaran pendidikan, maka akan muncul konsekuensi penurunan kualitas dan akses pendidikan. Ini pasti akan terjadi secara otomatis. Soal akses misalnya, bagaimana nasib keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sekolah tanpa dipungut biaya? Sampai hari ini masih terkatung-katung, tanpa ada keberpihakan dari anggaran pendidikan. Jika persoalan akses ini tidak diselesaikan, maka jutaan anak putus sekolah bisa terus bertambah. Soal kualitas, kita menghadapi problem serius tentang mutu guru yang masih di bawah standar dan juga kesenjangan mutu pendidikan antarwilayah semakin melebar.
“Jadi menggunakan anggaran pendidikan untuk MBG justru dapat mengorbankan masa depan pendidikan anak-anak itu sendiri,” pungkas Ubaid.