POLITIK

Pidato Puan Soal Kritik Harus Direspons Dapat Pujian, Dinilai Pahami Ekspresi Keresahan Rakyat

MONITOR, Jakarta – Pidato Ketua DPR RI Puan Maharani terkait fenomena kritik kreatif yang disampaikan di Sidang Bersama DPR-DPD RI beberapa hari lalu, diapresiasi sejumlah pihak. Di hadapan Presiden Prabowo Subianto, Puan menyatakan bahwa kritik dari masyarakat harus direspons secara bijaksana oleh Pemerintah, salah satunya soal pengibaran bendera ‘One Piece’ menjelang HUT ke-80 RI yang sempat viral di media sosial.

Pengamat komunikasi politik dari The London School of Public Relations (LSPR Institute of Communication Business), Ari Junaedi menilai ketakutan aparat cukup berlebihan terhadap cara perlawanan anak muda masa kini seperti pengibaran dan lukisan mural One Piece. Oleh karenanya tanggapan Puan yang meminta agar fenomena itu ditanggapi dengan bijak dianggap sangat baik.

“Apa yg disuarakan legislatif, dalam hal ini oleh Ketua DPR Puan Maharani agar Pemerintah memahami ekspresi anak muda dalam menyampaikan protes begitu mengena,” kata Ari Junaedi, Selasa (19/8/2025).

“Istilah ‘negara Konoha’, ‘Kabur Aja Dulu’, dan ‘Indonesia Gelap’ yang dipahami dengan baik oleh Puan harusnya bisa disikapi aparat tanpa kekerasan,” sambungnya.

Seperti diketahui, dalam pidatonya di Sidang Bersama DPR-DPD RI pada Jumat (15/8) lalu, Puan mengatakan bahwa demokrasi Indonesia memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bersuara dan menyampaikan kritik. Puan pun mencontohkan berbagai bentuk ekspresi publik yang viral di ruang digital, mulai dari kalimat singkat hingga simbol-simbol pop culture.

Fenomena ini, menurut Puan, menunjukkan bahwa aspirasi dan keresahan rakyat kini disampaikan dengan bahasa zaman mereka sendiri yang harus dipahami dengan bijaksana oleh pemerintah. Seperti ungkapan berupa kalimat singkat ‘kabur aja dulu’, sindiran tajam ‘Indonesia Gelap’c lelucon politik ‘negara Konoha’, hingga simbol-simbol baru seperti ‘bendera One Piece’.

Berbagai fenomena tersebut tak jarang mendapat respons negatif, bahkan represi. Ari menilai seharusnya Pemerintah tidak reaktif menanggapi kritik kreatif dari masyarakat.

“Jika Pemerintah masih mengedepankan langkap represif, artinya pemerintah gagal menangkap keresahan yang tumbuh di kalangan muda tetapi berhasil dimengerti hanya oleh wakil rakyat,” tutur Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama Institut tersebut.

Ari pun mendorong DPR untuk terus mengingatkan, mengawasi dan memberi teguran keras apabila masih ada tindakan represif dari aparat menyikapi aspirasi yang disampaikan rakyat seperti yang dilakukan Puan Maharani.

Bahkan, menurut Ari, kejadian unjuk rasa di Pati, Jawa Tengah, buntut arogansi kepala daerah hanya bisa dimengerti oleh kalangan dewan sebagai wakil-wakil rakyat.

“Dengan pernyataan Ketua DPR sebagai representasi penyambung aspirasi rakyat tersebut, sebaiknya Pemerintah mulai mengubah paradigma terhadap aksi-aksi protes yang dilancarkan publik terutama kalangan muda,” ungkap Ari.

Ari menekankan, Pemerintah tidak boleh hanya mendengar laporan-laporan indah yang direkayasa dan diutak atik angka surveinya, tetapi harus bisa merespons keresahan publik dengan cara yang jernih dan terbuka.

“Pemerintah harusnya mau mendengar kenyataan yang terjadi di lapangan, kalau kemiskinan dan pengangguran sekarang ini semakin membludak dan berbeda dengan angka-angka yang ‘menyenangkan’ dari BPS,” sebut Ari.

Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap angka persentase penduduk miskin pada Maret 2025 sebesar 8,47 atau turun 0,10% dari September 2024 atau menjadi 23,85 juta orang per Maret 2025 dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia menurun menjadi 4,76%.

Data tersebut kemudian dipamerkan Presiden Prabowo Subianto dalam Pidato Penyampaian RAPBN dan Nota Keuangan di Gedung DPR/MPR pada Jumat (15/8), bahwa angka pengangguran dan kemiskinan Indonesia mengalami penurunan. Padahal, Kementerian Ketenagakerjaan sempat mengumumkan bahwa sekitar 1,01 juta sarjana di Indonesia menjadi pengangguran. Sementara jumlah pengangguran di Indonesia tembus 7,28 juta orang.

Menurut Ari, pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto di Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD di Jakarta, Jumat (15/8), sarat dengan optimisme terhadap hasil positif sejumlah program kebijakan yang dilakukan.

“Jika berbagai institusi seperti Indef, LPM UI, Celios serta pengamat meragukan angka-angka optimistik Prabowo seperti penurunan angka kemiskinan, pembukaan lapangan kerja baru serta pertumbuhan ekonomi yang jauh berbeda dengan kenyataan di lapangan dan parameter yang mendukung, tidak pelak masih ada ‘rapor merah’ dari pemerintahan sekarang,” paparnya.

“Dan kebebasan berpendapat, adalah point terendah dari raport merah Prabowo – Gibran,” sambung Ari.

Ari berharap, pandangan pemerintah di bawah komando Presiden Prabowo dapat terbuka. Ia juga menuturkan, pesan Ketua DPR dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD RI juga dapat menjadi penegur bahwa keresahan masyarakat yang disampaikan lewat simbol-simbol dan istilah-istilah menyimpan banyak harapan agar pemerintah mampu merubah Indonesia menjadi cerah.

“Semoga Pemerintah selalu terbuka pandangannya. Semua suara rakyat yang kita dengar bukanlah sekedar kata atau gambar. Di balik setiap kata ada pesan. Di balik setiap pesan ada keresahan. Dan di balik keresahan itu ada harapan,” jelasnya.

“Dan beruntungnya, selarik kalimat penggugah dari Ketua DPR itu bisa menjadi klimaks dari perhelatan Sidang Tahunan MPR jelang peringatan Proklamasi di tengah kekecewaan publik, di saat masih banyak rakyat yang susah karena kehilangan pekerjaan atau kesulitan mencari pekerjaan sekarang ini,” ujar Ari Junaedi.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani menyinggung fenomena kritik kreatif masyarakat di media sosial dalam pidatonya di Sidang Bersama DPR-DPD RI tahun 2025. Puan mengatakan dalam demokrasi, masyarakat diberikan ruang seluas-luasnya untuk bersuara dan menyampaikan kritik.

“Marilah kita bangun demokrasi yang menghidupkan harapan rakyat. Demokrasi yang tidak berhenti di bilik suara, tetapi terus tumbuh di ruang-ruang dialog, di dapur rakyat, di balai desa, hingga di gedung parlemen agar setiap keputusan lahir dari kesadaran bersama, bukan hanya kesepakatan segelintir elite,” kata Puan dalam pidatonya di sidang Bersama DPR-DPD di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8).

Sidang Bersama ini merupakan rangkaian Sidang Tahunan MPR RI yang dihadiri Presiden Prabowo Subianto dan jajaran kabinetnya, serta sejumlah tokoh negara.

“Dalam demokrasi, rakyat harus memiliki ruang yang luas untuk berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat, dan menyampaikan kritik. Kini, kritik rakyat hadir dalam berbagai bentuk yang kreatif dan memanfaatkan kemajuan teknologi, khususnya media sosial, sebagai corong suara publik,” lanjut Puan.

Mantan Menko PMK ini pun mencontohkan berbagai bentuk ekspresi publik yang viral di ruang digital, mulai dari kalimat singkat hingga simbol-simbol pop culture. Di balik berbagai ekspresi keresahan rakyat, menurut Puan, tersimpan harapan yang harus dipahami dengan kebijaksanaan.

“Ungkapan tersebut dapat berupa kalimat singkat seperti ‘kabur aja dulu’, sindiran tajam ‘Indonesia Gelap’, lelucon politik ‘negara Konoha’, hingga simbol-simbol baru seperti ‘bendera One Piece’, dan banyak lagi yang menyebar luas di ruang digital,” urainya.

“Fenomena ini menunjukkan bahwa aspirasi dan keresahan rakyat kini disampaikan dengan bahasa zaman mereka sendiri,” imbuh Puan.

Puan mengingatkan bahwa kritik dari rakyat tidak boleh dipandang sebelah mata, melainkan perlu direspons dengan kebijaksanaan.

“Bagi para pemegang kekuasaan, semua suara rakyat yang kita dengar bukanlah sekadar kata atau gambar. Di balik setiap kata ada pesan. Di balik setiap pesan ada keresahan. Dan di balik keresahan itu ada harapan,” tutur perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI tersebut.

“Karena itu, yang dituntut dari kita semua adalah kebijaksanaan. Kebijaksanaan untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga memahami. Kebijaksanaan untuk tidak hanya menanggapi, tetapi merespons dengan hati yang jernih dan pikiran yang terbuka,” sambung Puan.

Puan menyebut bahwa kritik masyarakat meskipun disampaikan dengan keras, bukan untuk memecah belah, tapi sebagai bagian dari alat perbaikan demi kemajuan bangsa.

“Kita semua berharap apa pun bentuk dan isi kritik yang disampaikan rakyat tidak boleh menjadi bara yang membakar persaudaraan. Kritik tidak boleh menjadi api yang memecah belah bangsa. Sebaliknya, kritik harus menjadi cahaya yang menerangi jalan kita bersama,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Puan mengajak semua pihak untuk terus membangun demokrasi yang hidup dan berpihak pada harapan rakyat.

“Gunakanlah ruang kritik itu sebagai sarana untuk menyadarkan penguasa, memperbaiki kebijakan, menuntut tanggung jawab, dan mendorong kemajuan bagi seluruh anak bangsa,” tukas Puan.

Recent Posts

Spektakuler! Dari Closing Celebration ke Awal Perjalanan, UPH Festival 2025 Bangkitkan Iman dan Karakter Mahasiswa Baru

MONITOR, Jakarta - Semarak Universitas Pelita Harapan (UPH) Festival 2025 resmi ditutup dengan gemilang melalui…

1 jam yang lalu

Ribuan MABA UIN Malang Ikuti PBAK, Kemenag Bekali Wawasan Kepemimpinan

MONITOR, Malang - Kurang lebih 4.971 mahasiswa baru UIN Maulana Malik Ibrahim Malang mengikuti Pengenalan…

3 jam yang lalu

Tarif PBB-P2 Naik di Sejumlah Daerah, DPR: Pemicunya Cukup Beragam!

MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin mengatakan terdapat fenomena kenaikan tarif…

3 jam yang lalu

Kementerian PU Percepat Konstruksi Bendungan Cabean, Dukung Swasembada Pangan

MONITOR, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum (PU) terus mempercepat pembangunan Bendungan Cabean yang terletak di…

4 jam yang lalu

AICIS+ 2025 Catatkan Sejarah Baru dengan 2.434 Abstrak dari 31 Negara

MONITOR, Jakarta - Konferensi Internasional Tahunan tentang Islam, Sains, dan Masyarakat atau Annual International Conference…

4 jam yang lalu

Irjen TNI Hadiri Peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-80 MPR RI

MONITOR, Jakarta - Inspektur Jenderal (Irjen) TNI Letjen TNI M. Saleh Mustafa mewakili Panglima TNI…

5 jam yang lalu