Anggota Komisi III DPR RI, Gilang Dhielafararez. (dok: dpr)
MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi III DPR Gilang Dhielafararez menanggapi putusan vonis mati terhadap mantan Kasatreskrim Polresta Barelang, Kompol Satria Nanda dalam kasus narkoba. Menurutnya, keputusan Itu menjadi ujian besar bagi institusi penegak hukum, khususnya Polri, dalam upaya pemberantasan narkotika yang tak pandang bulu.
“Vonis ini harus menjadi momentum reformasi internal Polri, bukan sekadar panggung penegakan hukum,” ujar Gilang Dhielafararez, Rabu (13/8/2025).
“Jika hanya berhenti pada hukuman terhadap individu, sementara akar masalah seperti lemahnya pengawasan internal dan potensi kolusi dibiarkan, maka risiko kasus serupa akan tetap besar,” sambungnya.
Oleh karena itu, Gilang mendorong Polri untuk memperkuat peran Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta meningkatkan pengawasan eksternal yang melibatkan lembaga independen.
“Langkah ini penting agar publik melihat bahwa penegakan hukum tidak hanya ‘memotong ranting’, tetapi benar-benar mencabut akar praktik mafia narkoba di tubuh kepolisian,” tegas Gilang.
Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau memutuskan hukuman mati terhadap Kompol Satria Nanda, dalam sidang banding yang digelar di Tanjungpinang pada Selasa (5/8). Putusan ini memperberat vonis sebelumnya dari Pengadilan Negeri Batam yang menjatuhkan hukuman seumur hidup.
Dalam pertimbangan hakim, Satria Nanda sebagai perwira menengah dan kepala satuan, dinilai tidak hanya gagal mencegah penyalahgunaan barang bukti narkoba, tetapi diduga kuat turut terlibat dalam praktik tersebut. Satria Nanda juga tidak mengambil tindakan tegas terhadap sembilan anggota bawahannya yang kini telah dipecat dan sebelumnya divonis seumur hidup.
Terkait kasus ini, Gilang pun menyoroti perbedaan putusan hakim antara vonis mati Kompol Satria Nanda dan vonis seumur hidup terhadap Irjen Teddy Minahasa dalam kasus yang sama. Ia memandang, bahwa KUHP baru yang akan berlaku pada 2026 memberi ruang konversi hukuman mati menjadi penjara seumur hidup jika terpidana menunjukkan perilaku baik selama masa tunggu eksekusi.
Gilang menilai, aturan ini memerlukan penjabaran teknis yang ketat agar tidak menjadi celah pengurangan hukuman secara politis atau transaksional. Termasuk perlunya harmonisasi undang-undang yang mengatur narkotika, pidana mati, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), sehingga vonis berat tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memutus aliran dana ilegal yang menopang jaringan kejahatan.
“Putusan ini memunculkan pertanyaan publik terkait konsistensi hukum, sekaligus membuka diskusi tentang perlunya perbaikan regulasi agar putusan tidak dipersepsikan sebagai hasil tarik-menarik kepentingan,” terang Gilang.
Lebih jauh, anggota komisi di DPR bidang hukum yang bermitra dengan Polri tersebut menilai kasus yang menjerat Satria Nanda membuka babak baru dalam penanganan kejahatan narkotika di Indonesia. Gilang menyebut, kasus ini tidak hanya mencerminkan penyalahgunaan kewenangan, tapi juga mengindikasikan adanya TPPU yang dilakukan melalui penggelapan barang bukti narkotika.
“Maka negara harus memanfaatkan secara maksimal pasal-pasal TPPU untuk melacak, membekukan, dan menyita aset yang diduga berasal dari hasil kejahatan,” ungkap Legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu.
“Aset-aset tersebut, baik berupa rekening, properti, kendaraan, maupun investasi tersembunyi, harus dijadikan target utama penegakan hukum,” ucap Gilang.
Menurut Gilang, langkah ini tidak hanya akan memberikan efek jera bagi pelaku atau kelompok yang sama.
“Tetapi juga memutus sumber daya finansial yang memungkinkan jaringan narkotika tetap beroperasi bahkan dari balik jeruji penjara,” tambahnya.
Gilang juga mendorong peningkatan koordinasi strategis antara Kepolisian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Kejaksaan. Menurutnya, kolaborasi lintas institusi ini harus mampu mempercepat proses penelusuran dan pembuktian aliran dana ilegal, sekaligus memastikan prosesnya transparan dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik.
“Perang melawan narkotika tidak boleh berhenti pada penangkapan individu, tetapi harus meruntuhkan ekosistem keuangan gelap yang selama ini menjadi urat nadi bisnis haram tersebut,” kata Gilang.
“Dengan langkah terukur, penegakan hukum tidak hanya berfokus pada pelaku di lapangan, tetapi juga menyasar aktor-aktor di balik layar yang mengendalikan perputaran uang hasil kejahatan,” pungkasnya.
MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq mendorong agar Kementerian Agama (Kemenag)…
MONITOR, Jakarta - Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama menerapkan lima prinsip…
MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi menemukan adanya 'dapur fiktif' dalam pelaksanaan…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menegaskan komitmennya untuk memastikan Program…
MONITOR, Jakarta - Bakamla RI berhasil mengamankan aksi yang diduga terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO).…
MONITOR, Jakarta - Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menegaskan bahwa Kementerian Agama akan bergerak cepat…