Selasa, 12 Agustus, 2025

RUU Sisdiknas, DPR Usulkan Sejarah dan Sastra Jadi Mata Pelajaran Wajib di Sekolah

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana mengusulkan agar mata pelajaran Sejarah dan Sastra dijadikan mata pelajaran wajib dalam revisi Undang-Undang No 20 Tahun tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Menurutnya, hal ini penting untuk meningkatkan minat membaca anak.

“Saya mengusulkan mata pelajaran Sejarah dan Sastra itu menjadi wajib. Karena untuk meningkatkan gairah membaca dan meningkatkan kapasitas imajinasi berpikir, sekaligus kesadaran kognitif itu dari baca, dan baca itu melalui sastra, itu penting,” kata Bonnie, Selasa (12/8/2025).

Menurut Bonnie, Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dalam hal penguatan kapasitas kognitif generasi muda yang tergerus pola konsumsi konten media sosial. Ia menyoroti maraknya fenomena brain rot atau kondisi ketika kesadaran kognitif tidak lagi berkembang maksimal.

“Bisa dibayangkan, dengan kebiasaan mengakses internet, kemudian mengonsumsi konten yang ada di media sosial itu, berbagai kajian sudah muncul,” sebutnya.

- Advertisement -

“Ada fenomena namanya brain rot, atau lama-lama kesadaran kognitif itu tidak bisa lagi maksimal. Karena kebiasaan menerima konten-konten yang macam-macam, yang sebetulnya cuma memuaskan dahaga emosinya saja,” tambah Bonnie.

Usulan Bonnie Triyana ini merupakan bagian dari komitmen Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) di Komisi X DPR RI untuk memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang tidak hanya menekankan capaian akademis, tetapi juga membentuk karakter dan daya pikir generasi penerus bangsa.

Adapun dalam UU yang lama pelajaran wajib ada di pasal 37, namun pada RUU Sisdiknas yang tengah digodok DPR bersama Pemerintah, pada pasal baru sekalipun isinya tetap tidak mencantumkan sejarah dan sastra sebagai pelajaran wajib di sekolah. Untuk itu Bonnie mendorong agar dua pelajaran ini masuk sebagai pelajaran wajib.

“Kami juga sedang ada Panja Sisdiknas. Saya termasuk di dalamnya bersama rekan-rekan di Komisi X. Saya juga mengusulkan kalau perlu, dan semoga pimpinan juga setuju, mata pelajaran Sejarah dan Sastra itu menjadi wajib. Karena untuk meningkatkan gairah membaca dan meningkatkan kapasitas imajinasi berpikir,” paparnya.

Bonnie pun menyinggung data di mana pada tahun 2025, Indonesia memiliki sekitar 212 juta penduduk dengan 74,6% di antaranya adalah pengguna internet dan 143 juta atau 50,2% merupakan pengguna media sosial aktif. Dari jumlah tersebut, 34% adalah Gen Z dan 30,62% merupakan generasi milenial yang aktif bermedia sosial.

“Kita menghadapi persoalan ini. Jadi, kita bicara soal tingkat literasi, kita bicara soal tingkat numerasi, sementara penguatan fundamental kognitifnya itu nggak terjadi. Salah satu solusinya tentu baca,” ucap Bonnie.

Bonnie juga menyoroti tingkat literasi membaca di Indonesia yang rendah di mana hal ini ditunjukkan dengan berbagai fenomena adanya siswa sekolah lanjut yang belum bisa membaca tulis dengan lancar. Hal ini seperti menegaskan hasil temuan UNESCO yang menyebut bahwa hanya sekitar 0.001% atau satu dari seribu orang Indonesia yang memiliki minat baca.

Dalam rapat Komisi X DPR bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti beberapa waktu lalu, ada juga laporan soal siswa kelas siswa-siswa kelas 1-2 SMP di Serang, Banten yang belum bisa baca-tulis. Bahkan masih banyak siswa SMP di Kota Serang yang kesulitan menulis kata ‘Indonesia Raya’.

Temuan serupa juga terjadi di Buleleng, Bali. Berdasarkan informasi, ratusan siswa di wilayah tersebut tak bisa membaca dengan lancar. Dari 34.062 siswa di Buleleng, sebanyak 155 siswa dinyatakan termasuk dalam kategori tidak bisa membaca (TBM). Sementara 208 siswa siswa termasuk dalam kategori tidak lancar membaca (TLM).

Untuk itu, Bonnie menggarisbawahi pentingya kembali menghidupkan budaya membaca, seperti yang dilakukan di beberapa negara maju. Ia menjelaskan beberapa negara sudah membatasi akses media sosial untuk anak hingga memiliki program wajib membaca buku.

“Saya sebetulnya ingin mengusulkan seperti di negara Skandinavia itu kebiasaan untuk baca buku itu sekarang jadi mainstream lagi. Di Australia kita tahu penggunaan medsos dibatasi untuk usia dini dan peningkat remaja,” ucap Bonnie.

Anggota komisi pendidikan DPR itu menilai Indonesia bisa mencontoh beberapa negara maju untuk meningkatkan literasi anak, khususnya pada minat baca. Menurut Bonnie, diperlukan bentuk intervensi agar anak-anak bisa lebih mencintai buku sebagaimana program ini berhasil di era generasi sebelumnya.

“Di Skandinavia, anak muda, siswa sekolah wajib baca buku lagi sebagaimana generasi kita dulu. Di kita sekarang tidak lagi, dan budaya ini yang harus dikembalikan dengan berbagai pendekatan,” sebut Legislator dari Dapil Banten I itu.

Sebagai tindak lanjut, Bonnie juga mendorong Perpustakaan Nasional agar lebih proaktif dalam menyelesaikan persoalan literasi, tidak sekadar menjalankan program yang bersifat simbolis.

“Perpustakaan Nasional ini harus proaktif, melakukan langkah-langkah yang sekiranya meningkatkan minat baca, harus bisa mencari celah persoalan ini, menyelesaikannya yang lebih mendasar lagi,” ungkap Bonnie.

“Kita sering ke daerah, perpustakaannya paling ditinggalin tapi ya, gitu-gitu aja. Nah ini harus dicari caranya seperti apa,” imbuh mantan aktivis tersebut.

Dengan semangat menyambut HUT ke-80 RI, Bonnie berharap usul agar sejarah dan sastra menjadi pelajaran wajib di sekolah untuk semua jurusan dapat dipertimbangkan.

“Tentunya hal ini juga sekaligus membangun semangat nasionalisme untuk generasi muda di tengah tantangan zaman dan era disrupsi yang semakin pesat. Dasar-dasar kehidupan kita sebagai masyarakat Indonesia harus dibangun sedini mungkin agar menjadi fondasi bagi anak-anak kita,” tutup Bonnie.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER