Selasa, 12 Agustus, 2025

Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong, Renegosiasi Kontrak Sosial

Oleh: Imron Wasi*

Presiden Prabowo Subianto telah menggunakan hak prerogatif yang dimilikinya terhadap para narapidana, terutama pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong dan amnesti terhadap Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Pemberian keputusan mengenai amnesti dan abolisi terhadap kedua figur tersebut menuai perdebatan di ruang publik, karena keputusan yang berbeda antara Tom – panggilan populer Thomas Trikasih Lembong dan Hasto.

Sebelumnya, pengadilan telah memberikan keputusan terhadap kasus impor gula yang membawa Tom pada pemberian sanksi hukuman oleh pengadilan selama 4 tahun 6 bulan. Kemudian, Tom mengajukan banding atas putusan pengadilan tersebut. Tercatat, hal ini telah dilakukan dan diajukan pada Pengadilan Tinggi Jakarta pada 29 Juli 2025.

- Advertisement -

Sementara itu, Hasto didakwa oleh pengadilan karena melakukan pelanggaran hukum, seperti menyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum untuk meloloskan Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR melalui proses pergantian antar-waktu (PAW).

Meski secara kolektif kedua figur berhasil memperoleh amnesti dan abolisi secara bersamaan dari Presiden Prabowo Subianto, tapi keduanya berbeda. Sebab, amnesti dan abolisi adalah dua hal yang berbeda, terutama jika diasosiasikan terhadap pemberian amnesti dan abolisi pada Hasto dan Tom.

Pada dasarnya, pengadilan tidak menemukan pelanggaran tindakan rasuah yang dilakukan oleh Tom pada kasus impor gula, termasuk tidak menemukan motif jahatnya (mens rea), melainkan karena atas persetujuan pemimpinnya. Dengan kata lain, impor gula tersebut sudah sesuai dengan instruksi kinerja yang diberikan pimpinan terhadap Tom.

Secara faktual, kasus Tom ini mencerminkan adanya kriminalisasi terhadap individu yang tidak melakukan kesalahan apa pun. Karena itu, hal ini terjadi karena perbedaan dukungan sikap politik yang berbeda pada Pemilu 2024, karena Tom berada pada kongsi politik Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Artinya, ada motif politik untuk menyandera Tom.

Oleh karena itu, keputusan Presiden Prabowo Subianto dalam memberikan abolisi terhadap Tom dinilai oleh para pengamat dan warga relevan, karena tidak ditemukan bukti konkrit atas kesalahannya, termasuk tidak ada mens rea.

Sedangkan, pemberian amnesti terhadap Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristiyanto menjadi pertanyaan publik di tengah upaya pemerintah untuk meniadakan korupsi.

Pasalnya, Hasto telah melakukan transaksi suap terhadap anggota KPU dalam proses pergantian antar-waktu untuk membuat Harun Masiku duduk di tampuk kekuasaan parlemen pada Pemilu 2019-2024 (Tempo, 2024).

Saat ini, merujuk pada pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto berdasarkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat   terhadap narapidana koruptor, komitmen pemerintahan dalam pemberantasan tindakan rasuah mulai diragukan publik.

Padahal, publik sangat berharap bahwa Presiden Prabowo Subianto bisa memiliki komitmen penuh terhadap upaya untuk memberantas tindakan rasuah secara komperhensif, bukan sekadar formalitas di palagan politik domestik.

Kasus yang mendera Hasto dan Tom tidak bisa disangkal dari adanya upaya intervensi penguasa untuk mengunci posisi kedua figur tersebut. Sebab, keduanya, baik Hasto maupun Tom berada pada posisi yang strategis, terutama saat proses elektoral 2024, di mana Hasto berada pada posisi politik yang relatif tinggi, karena Hasto sebagai Sekretaris Jenderal PDI-P yang mengusung kandidat Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Tom sebagai petinggi tim kampanye nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang secara posisi politik berbeda dengan kandidat Prabowo-Gibran.

Atas dasar tersebut, terutama dalam arena politik – semua kontestan sesungguhnya menampilkan dramaturginya melalui strategi politik masing-masing. Meski begitu, koalisi politik Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud pada Pemilu 2024 relatif tidak memiliki daya politik yang superior, karena harus vis a vis dengan Prabowo-Gibran yang secara implisit memperoleh efek ekor jas yang berasal dari pemimpin sebelumnya sekaligus memiliki hubungan genealogis antara Joko Widodo dan Gibran Rakabuming Raka.

Amnesti yang diberikan Presiden Prabowo Subianto berdasarkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Hasto dinilai untuk membangun kekuatan politik koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran, terutama untuk merangkul PDI-Perjuangan agar bergabung dalam koalisi pemerintahan. Semula, PDI-Perjuangan berada di luar kongsi politik yang diprakarsai oleh Partai Gerindra tersebut.

Dalam konteks ini, hubungan Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri relatif baik, bahkan keduanya pernah membangun aliansi politik pada Pemilu 2009 dengan term politik MegaPro.

Teranyar, setelah putusan amnesti terhadap Sekretaris Jenderal PDI-P itu disampaikan, Megawati Soekarnoputri memberikan statement politiknya bahwa anggota dan kader PDI-P mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto atau dalam term politik internal PDI-Perjuangan dimaknai sikap politiknya lebih berfokus pada penyeimbang kekuasaan.

PDI-Perjuangan menyadari realitas politik elektoral, jika partai berlambang banteng tersebut secara eksplisit mendukung pemerintahan bisa berimplikasi terhadap raihan suara dari para pemilih. Karena itu, jika PDI-Perjuangan berada pada posisi internal koalisi, tentu saja kabinet Prabowo-Gibran tidak ada yang mengontrol secara ekstensif.

Akibatnya, bisa menciptakan executive heavy di tengah suasana demokratis. Kini, publik hanya bisa berharap pada organisasi masyarakat sipil dan para penegak hukum, yaitu lembaga peradilan (yudikatif).

Pada saat yang sama, penulis melihat bahwa pemberian amnesti dan abolisi terhadap Hasto dan Tom untuk meneguhkan sekaligus untuk meraih simpati dari publik, terutama dari kaum nasionalis dan kaum yang memiliki identitas keagamaan kental. Tom yang dekat dengan Anies Baswedan tentu memiliki kekuatan politik, terutama preferensi pemilih yang berbasiskan pada keagamaan.

Hal tersebut terekam dalam studi Jung (2006) yang menekankan bahwa nilai utama politik berbasis pada ras, etnisitas, dan agama ialah formasi identitas yang bisa menghasilkan legitimasi politik. Legitimasi politik ini diperlukan oleh Presiden Prabowo Subianto, karena untuk menciptakan stabilitas politik, terlebih PDI-P sebagai pemenang Pemilu Legislatif 2024 dengan raihan suara sebesar 25.387.279 atau 16,72 persen (Kompas.id, 2024).

Sehingga, semakin meneguhkan posisi politik partai berlambang banteng ini dalam politik elektoral, karena keberhasilannya secara berturut-turut selama tiga kali. Kemudian, dalam perspektif identitas keagamaan, misalnya, dimensi keagamaan bisa menghasilkan legitimasi yang bermuara pada stabilitas politik dan terciptanya otoritas politik (Haynes, 1994). Dewasa ini, terutama pada arena politik di Indonesia seringkali agama memainkan peranan yang signifikan, baik dalam skala nasional maupun lokal.

Ia bisa menjadi penggerak utama di tengah krisis moral maupun krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Dengan demikian, para aktor politik akan berupaya merenegosiasi kontrak sosial demi menjaga stabilitas politik agar tetap terjaga. Meskipun, aktor politik tersebut harus menanggalkan kongsi politik sebelumnya.

Hal ini perlu dilakukan agar magnet politiknya bisa terkelola secara efektif, terlebih untuk kepentingan politik di Pemilu 2029. Dalam bahasa lain, Presiden Prabowo Subianto berupaya untuk mengakomodasi kelompok nasionalis dan keagamaan untuk bisa mendukung pemerintahannya. Bahkan, ilmuwan sekaliber Diamond (1993: 24) juga menilai bahwa agama, “an important source of basic value orientation,”.

Selain itu, Presiden Prabowo Subianto tampaknya sedang melakukan renegosiasi politik untuk menjaga stabilitas kekuasaan di tengah dinamika global, terlebih mengalienasi persepsi publik terkait kedekatan Prabowo dan Jokowi. Renegosiasi ini muncul karena kontrak sosial bersifat dinamis (Abdul Gaffar Karim, 2020).

Dalam bahasa lain, menjelang satu tahun kepemimpinan politiknya, Presiden Prabowo Subianto berupaya untuk mengkonfigurasi politiknya. Artinya, komposisi kabinet bisa saja mengalami perubahan akibat adanya renegosiasi kontral sosial tersebut. Hal ini terekam dalam adagium yang populer dalam term politik, “tidak ada kawan (koalisi) dan lawan (oposisi) yang abadi, melainkan hanya kepentingan,”.

*Penulis Adalah Akademisi Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER