MONITOR, Jakarta – Kementerian Perindustrian terus mendorong transformasi industri batik untuk menerapkan prinsip keberlanjutan (sustainability), seiring meningkatnya kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan dan tuntutan pasar global terhadap produk yang ramah lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan kolaborasi atau kerja sama dari berbagai pihak agar dapat menciptakan ekosistem industri batik yang berkelanjutan secara menyeluruh.
“Industri batik yang berkelanjutan merupakan bentuk kecintaan kita terhadap kekayaan budaya dan alam nusantara. Namun transformasi menuju industri yang berkelanjutan tersebut harus menyentuh segala sisi agar lebih efektif, karena itu kerja sama antar pihak sangat dibutuhkan,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Reni Yanita dalam keterangannya di Jakarta, Senin (11/8).
Menurut Dirjen IKMA, salah satu penerapan prinsip keberlanjutan pada industri batik dapat dilakukan melalui pendekatan produksi. Namun hal tersebut perlu didukung dari aspek-aspek lainnya, di antaranya aspek regulasi atau kebijakan, penggunaan teknologi, standardisasi, pengurangan dampak lingkungan, serta dukungan konsumen dan masyarakat. “Karena bagaimanapun, transformasi industri membutuhkan kesadaran kolektif kita bersama,” ujarnya.
Untuk menciptakan ekosistem batik berkelanjutan, Ditjen IKMA bekerja sama dengan satuan kerja di lingkungan Kemenperin, serta pemangku kepentingan lainnya, seperti asosiasi, kementerian/lembaga, hingga pelaku usaha batik. “Melalui kolaborasi, kami dapat memperoleh wawasan lintas disiplin yang saling melengkapi, sehingga kebijakan yang diambil dalam mewujudkan ekosistem industri batik berkelanjutan menjadi tepat sasaran dan efektif,” imbuh Reni.
Direktur IKM Kimia, Sandang, dan Kerajinan, Budi Setiawan mengemukakan, guna mengangkat kesadaran kolektif terhadap upaya kolaborasi dalam mewujudkan ekosistem industri batik berkelanjutan, Ditjen IKMA telah menggelar diskusi dengan berbagai stakeholder, bersamaan dengan agenda Gelar Batik Nusantara (GBN) pada akhir Juli 2025.
Diskusi tersebut berlangsung dalam kegiatan talkshow bertajuk “Cinta Wastra Nusantara: Penerapan Keberlanjutan Lingkungan pada Industri Batik”, yang berlangsung pada 30 Juli – 3 Agustus 2025. Kegiatan ini menghadirkan beberapa pembicara, di antaranya Kepala BBSPJI Kerajinan dan Batik, Jonni Afrizon; Pembina Industri Ahli Madya Pusat Industri Hijau, Achmad Taufik; Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Muda Kementerian Lingkungan Hidup, Marni Sulistyowati; serta Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), Komarudin Kudiya.
“Kami menyoroti isu batik berkelanjutan ini dari sudut pandang latar belakang instansi yang berbeda, dan berupaya merumuskan tentang langkah-langkah yang dapat kami lakukan untuk bersama mewujudkannya,” tutur Budi Setiawan.
Sementara itu, Kepala BBSPJI mengupas upaya keberlanjutan IKM Batik dari sisi produksi, terutama pada bahan baku dan bahan penolong. Idealnya bahan yang digunakan dalam produksi batik bersifat alami, mudah terurai (biodegradable), dan menghindari bahan kimia berbahaya. Menurut Jonni, hal ini sangat mungkin dilakukan karena didukung oleh sumber daya alam melimpah dari hutan Indonesia.
Dari kaca mata perajin dan pengusaha, Komarudin mengamini tentang pentingnya pemilihan bahan baku alami. Ia juga mengingatkan bahwa inovasi tetap harus terjangkau bagi IKM agar dapat diadopsi secara luas.
Selanjutnya, dari pengampu kebijakan, Achmad menyampaikan bahwa Pusat Industri Hijau memberikan insentif fiskal dan nonfiskal, penyelenggaraan edukasi dan pendampingan industri hijau, serta pemberian penghargaan bagi industri yang telah menerapkan standar industri hijau.
Sedangkan dari sisi dampak lingkungan, Marni menekankan pentingnya pengelolaan dan pemanfaatan daur ulang air limbah hasil produksi batik untuk menjalankan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle).