MONITOR, Yogyakarta – Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University bersama Rekam Nusantara Foundation, YKAN, dan Climate Works Centre menggelar konferensi Internasional The 5th International Conference on Integrated Coastal Management & Marine Biotechnology (ICMMBT 2025) tentang Pengelolaan Pesisir Terintegrasi dan Bioteknologi Kelautan di di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta pada Rabu-Kamis 30-31 Juli 2025.
Pakar Kelautan dan Perikanan yang juga guru besar IPB, Prof Rokhmin Dahuri yang hadir dalam konferensi tersebut mendorong komitmen akademisi Indonesia dalam mewujudkan transformasi sektor kelautan menuju arah yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Dengan mengusung tema “Blue Food Nexus: Harnessing Solutions for Global Food Security and Ocean Health” kegiatan tersebut menghadirkan para pakar dunia untuk membahas masa depan laut Indonesia dan dunia.
”Dunia tengah berada di persimpangan kritis sejarah peradaban. Hari ini, kita berada di titik kritis dalam perjalanan sejarah umat manusia. Perpaduan berbagai krisis global, mulai dari meningkatnya ketegangan geopolitik, perang dagang, disrupsi teknologi, perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran lingkungan, hingga krisis pangan dan energi,” ujarnya.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu menegaskan bahwa tumpukan krisis global dari geopolitik hingga krisis ekologi menuntut solusi yang tak lagi konvensional: inovatif, inklusif, dan berakar pada alam. Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan itu menyebut bahwa saat ini umat manusia menghadapi badai krisis global: perubahan iklim, kerusakan lingkungan, disrupsi teknologi, ketegangan geopolitik, hingga krisis pangan dan energi. Namun di tengah ancaman itu, ia menegaskan bahwa solusi penyelamat ada di depan mata: Ekonomi Biru, sebuah visi pembangunan berbasis laut yang ramah lingkungan, inklusif, dan berkelanjutan.
“Ini bukan sekadar konsep, ini adalah revolusi paradigma. Laut bukan hanya sumber daya, tapi fondasi masa depan kita,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri, mengangkat tema “Ekonomi Biru, Industri Bioteknologi Kelautan, dan Pengelolaan Pesisir serta Laut Terintegrasi sebagai Pengubah Permainan menuju Dunia yang Lebih Baik dan Berkelanjutan”.

Ekonomi Biru, menurut Prof. Rokhmin Dahuri, yang juga Rektor Universitas UMMI Bogor ini, mengintegrasikan teknologi hijau, pembiayaan inovatif, serta kelembagaan proaktif untuk menjadikan laut sebagai motor pertumbuhan ekonomi sekaligus penjaga ekosistem. “Dengan pendekatan ini, kita bisa menjawab ancaman global sekaligus menciptakan lapangan kerja, mengatasi kemiskinan, dan menyehatkan lingkungan,” jelasnya.
Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, pendekatan berbasis kelautan bukan sekadar eksplorasi sumber daya, melainkan paradigma baru, yang memandang lautan sebagai poros kemakmuran, ketahanan, dan keadilan iklim. “Bioteknologi kelautan, infrastruktur hijau, dan pengaturan kelembagaan yang proaktif adalah fondasi utama,” tegasnya.
Dengan mengintegrasikan pengelolaan pesisir dan laut, Ekonomi Biru diyakini mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga keanekaragaman hayati dan kesehatan ekosistem laut.
“Jangan sampai kita hanya jadi penonton. Laut adalah warisan, kekuatan, dan masa depan bangsa. Mari ubah krisis jadi peluang!” seru Pendiri dan Ilmuwan Senior Pusat Studi Sumber Daya Pesisir dan Laut, IPB University itu.
Menteri Kelautan dan Perikanan 2001-2004 itu memaparkan, , Ekonomi Biru tidak akan berkembang tanpa ilmu pengetahuan, inovasi, dan tata kelola yang baik. Di sinilah bioteknologi kelautan dan Pengelolaan Terpadu Pesisir dan Laut (ICM) memainkan peran penting. Bioteknologi kelautan adalah permata tersembunyi dari Ekonomi Biru. Secara definisi, bioteknologi kelautan adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap organisme dan sumber daya laut untuk mengembangkan spesies, produk, dan layanan baru.
“Ini mencakup pemanfaatan kehidupan laut, mulai dari mikroorganisme hingga organisme yang lebih besar seperti ikan, krustasea, moluska, invertebrata, dan rumput laut untuk berbagai aplikasi industri bioteknologi,” terangnya.
Dalam praktiknya, bioteknologi kelautan menggabungkan berbagai bidang ilmu, termasuk biologi kelautan, ekologi laut, dan rekayasa genetika, seperti biologi molekuler, penyuntingan genom, sekuensing DNA, dan rekombinasi DNA—untuk menghasilkan spesies baru, produk baru, dan layanan baru.
Secara umum, jelas Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, terdapat tiga kelompok utama dalam industri bioteknologi kelautan: Pertama, ekstraksi senyawa bioaktif dan biomaterial dari organisme laut, yang kemudian diolah untuk menghasilkan Makanan dan minuman sehat (makanan fungsional), mulai dari protein berbasis mikroalga hingga minyak ikan kaya Omega-3, Produk farmasi, termasuk senyawa anti-kanker, anti-inflamasi, antivirus, serta kosmetik, Bioenergi dan biomaterial seperti bioplastik dan biofuel berbasis laut, serta berbagai industri pengolahan lainnya.
Kedua, Rekayasa genetika melalui penerapan penyuntingan genom, sekuensing DNA, dan rekombinasi DNA untuk menghasilkan indukan, benih, larva, dan spesies baru berkualitas tinggi yang memiliki karakteristik SPF (bebas dari patogen spesifik), SPR (resisten terhadap patogen spesifik), tumbuh cepat, dan tangguh terhadap perubahan iklim.
Selama lima belas tahun terakhir, china berhasil mengembangkan beberapa jenis padi yang dapat dibudidayakan di air laut (ekosistem laut), dengan potensi menghasilkan makanan yang cukup untuk 200 juta orang. Padi ini ditanam di lahan persawahan dekat Kota Pesisir Laut Kuning, Qingdao, Provinsi Shandong, Tiongkok. Produktivitasnya mencapai 4,5 hingga 9,3 ton per musim tanam per hektar (Kentish, 2010).
Ketiga, Remediasi lingkungan menggunakan mikroba laut hasil rekayasa genetika untuk bioremediasi tumpahan minyak dan degradasi plastik.