Selasa, 29 Juli, 2025

Komisi III DPR Minta Polisi Proses Pidana Kasus Kekerasan Seksual di Unsoed, Jangan Ada Perlindungan!

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi III DPR Gilang Dhielafararez menyoroti kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru besar di Universitas Soedirman (Unsoed) Purwokerto terhadap mahasiswinya. Ia meminta pelaku disanksi tegas apabila terbukti bersalah.

“Kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan terhadap tubuh, martabat, dan hak asasi korban. Ketika pelakunya adalah tokoh publik dalam dunia pendidikan, proses hukum harus berjalan dengan standar integritas yang tinggi dan tanpa kompromi,” kata Gilang Dhielafararez, Senin (28/7/2025).

Gilang juga meminta penegak hukum dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktsaintek) mengusut kasus ini secara profesional dan kredibel.

“Tidak boleh ada perlindungan bagi pelaku, negosiasi, atau penyelesaian internal yang melemahkan keadilan bagi korban,” tuturnya.

- Advertisement -

Seperti diketahui, Kepolisian Resor Kota Banyumas tengah melakukan penyelidikan terhadap dugaan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Unsoed. Penyelidikan ini dilakukan guna mendapat informasi awal meski belum ada laporan maupun aduan mengenai kasus tersebut.

Akibat kasus ini, demonstrasi sempat terjadi di depan kampus Unsoed. Aksi solidaritas itu dilakukan untuk mendukung mahasiswi korban kekerasan seksual yang diduga melibatkan seorang guru besar Universitas Unsoed tersebut.

Sementara, pihak rektorat telah membentuk Tim Pemeriksa yang terdiri dari tujuh orang untuk menuntaskan dugaan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan seorang guru besar Unsoed.

Gilang pun mendorong kepolisian dan kejaksaan untuk proaktif menangani kasus ini secara adil, cepat, dan transparan. Menurutnya, lembaga penegak hukum harus menegaskan bahwa hukum tidak tunduk pada status sosial, gelar akademik, atau posisi kekuasaan.

“Kami juga mendorong aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan khusus terhadap korban dari potensi intimidasi dan tekanan,” sebut Gilang.

“Pastikan bahwa bukti dan kesaksian ditangani secara profesional, dan menerapkan perspektif korban selama proses hukum berlangsung,” lanjut Legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu.

Gilang juga mendorong pihak kepolisian menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam mengusut kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus tersebut. Ia menekankan bahwa berdasarkan UU TPKS, kejahatan seksual yang dilakukan oleh seseorang dalam relasi kuasa memiliki dimensi pemberatan.

Adapun UU TPKS mengatur hukuman terhadap pejabat yang melakukan kekerasan seksual. Pada Pasal 11 disebutkan, setiap pejabat yang melakukan tindak kekerasan seksual dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300 juta.

“Jika terbukti, pelaku tidak hanya layak dijatuhi hukuman pidana maksimal, tetapi juga harus dicabut hak sosialnya untuk berkiprah di dunia akademik dan publik,” tegas Gilang.

Anggota komisi di DPR yang membidangi urusan penegakan hukum dan bermitra dengan Polri itu menambahkan, kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang pengajar tidak boleh direduksi sebagai pelanggaran etik internal kampus semata. Menurut Gilang, kasus kekerasan seksual harus diproses sebagai tindak pidana yang serius sesuai dengan UU TPKS.

“Kasus ini menjadi preseden penting bahwa dunia pendidikan tidak boleh menjadi tempat aman bagi predator seksual,” ucapnya.

Gilang pun meminta kepada seluruh perguruan tinggi agar tidak menyelesaikan kasus kekerasan seksual secara internal hanya dengan sanksi administratif, ataupun mendiamkannya demi menjaga reputasi institusi. Ia menegaskan, hukum pidana tidak bisa dinegosiasikan atas nama citra.

“Negara memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan hukum yang setara dan adil bagi seluruh warganya, tanpa kecuali. Tanggung jawab ini termasuk untuk instansi yang terlibat dalam penanganan kasusnya,” pungkas Gilang.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER