ilustrasi
Penulis:
Istianah & Muhammad Firdaus
Mahasiswa Magister Manajemen Dakwah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ketika mendengar kata “dakwah”, yang ada dipikiran kita seringkali langsung tertuju pada ceramah di masjid, pengajian di kampung, atau kultum setelah salat. Padahal, dakwah dalam Islam bermakna luas dan mendalam. Dakwah bukan hanya soal berbicara di depan fodium yang disaksikan banyak orang, tetapi dakwah merupakan bagaimana seorang Da’i mampu membentuk kesadaran spritual, mampu menanamkan nilai dan juga mampu membawa perubahan sosial secara bertahap kearah yang lebih baik.
Inilah yang menjadi gagasan utama dari pendekatan filsafat dakwah: bahwa dakwah tidak cukup hanya disampaikan, tapi harus dimaknai.
Dakwah Bukan Hanya Menyampaikan, Tapi Membangun Kesadaran.
Sejatinya dakwah bukan hanya soal menyampaikan ayat dan hadis, tetapi bagaimana membuat pesan itu hidup dalam realitas masyarakat. Pada pendekatan filsafat, dakwah adalah sebuah proses yang menyentuh tiga hal yaitu; rasionalitas, etika, dan konteks sosial.
Saat ini seorang dai tidak hanya harus hafal dalil, tetapi dia juga harus mampu menjawab tantangan zaman saat ini, seperti krisis moral, menurunnya kualitas spiritual, atau kecemasan eksistensial di era modern. Dakwah menjadi proyek peradaban, bukan sekadar agenda rutin keagamaan.
Nilai-Nilai Dasar Dakwah yang Kerap Terlupa
Dalam penyampaian suatu dakwah, ada nilai-nilai yang tetap harus dipegang oleh seorang Da’i, yaitu:
Dengan nilai-nilai ini, dakwah menjadi kegiatan yang menggerakkan hati dan pikiran, bukan hanya menggugurkan kewajiban.
Mengapa Filsafat Penting dalam Dakwah?
Karena kita hidup di zaman yang serba kompleks. Tantangan dakwah hari ini tidak lagi sederhana. Kita berhadapan dengan sekularisme, individualisme, bahkan krisis makna hidup. Banyak orang merasa hidupnya kosong meskipun segala fasilitas tersedia.
Dalam situasi seperti ini, dakwah tidak bisa hanya berbentuk seruan normatif atau sekadar larangan. Ia harus menyentuh inti persoalan: mengapa manusia hidup, untuk apa agama hadir, dan bagaimana membumikan nilai-nilai ilahiah dalam kehidupan sehari-hari.
Filsafat dakwah membantu para dai dan aktivis Islam untuk berpikir mendalam, tidak reaktif, dan tidak hanya berpegang pada teks, tapi juga konteks.
Pendekatan dakwah juga perlu berubah. Di era keterbukaan dan digitalisasi ini, dakwah yang kaku dan monologis cenderung ditinggalkan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan humanistik dan dialogis, menghargai mad’u sebagai manusia yang punya pengalaman hidup, latar belakang budaya, dan perasaan.
Dakwah yang sukses hari ini adalah dakwah yang bisa berempati, mendengar sebelum berbicara, dan mengajak, bukan menghakimi. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. yang dikenal dengan kelembutannya dalam menyampaikan kebenaran.
Kesimpulannya adalah Saatnya Membumikan Filsafat Dakwah.
Kita butuh lebih banyak dai dan aktivis Islam yang tidak hanya bisa berbicara, tapi juga berpikir reflektif dan strategis. Filsafat dakwah memberi kita landasan untuk menyusun pendekatan dakwah yang lebih dalam, kontekstual, dan bermakna.
Dakwah masa depan bukan sekadar soal banyaknya jamaah yang datang ke majelis, tetapi seberapa dalam perubahan kesadaran dan nilai yang terjadi dalam diri umat. Dan untuk itu, pemahaman yang filosofis, inklusif, dan solutif menjadi kunci dalam berdakwah.
MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Charles Meikyansah menyambut baik bergabungnya Indonesia ke…
MONITOR, Jakarta - Operasional penyelenggaraan ibadah haji 1446 H/2025 M sudah selesai. Kelompok terbang (kloter)…
MONITOR, Jakarta - Terdengar lantang dari salah satu baris penonton—sebuah seruan yang langsung digaungkan kembali…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini menanggapi usulan tambahan anggaran…
MONITOR, Sumbawa - Mengawali Tahun Ajaran Baru 2025/2026, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti,…
MONITOR, Sulteng - Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody menegaskan komitmennya dalam mempercepat penanganan jalan daerah…