MONITOR – Anggota Komisi IV DPR-RI Prof Rokhmin Dahuri mendorong pemerintah untuk melakukan transformasi sektor pangan mulai dari mempertahankan dan memperluas lahan pangan, diversifikasi pangan lokal, peningkatan produktivitas dengan teknologi modern, penguatan industri pengolahan, hingga reformasi regulasi.
Adapun reformasi regulasi diantaranya adalah revisi Undang-Undang Nomor 18/2012 tentang Pangan yang sedang dibahas di DPR RI, selain itu menghentikan impor pangan yang merugikan produsen lokal, kecuali untuk komoditas yang benar-benar tidak bisa diproduksi di dalam negeri.
“Indonesia memiliki potensi luar biasa untuk memberi makan rakyatnya sendiri dan bahkan dunia, tetapi kinerja sektor pangan masih jauh dari optimal,” ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University dalam Webinar Nasional dengan tajuk “Transformasi Regulasi Pangan untuk mewujudkan swasembada yang berkelanjutan ” yang diselenggarakan oleh Majelis Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), via Zoom, Jum’at (11/07).
“Kedaulatan pangan memiliki peran strategis dan vital bagi kemajuan, kesejahteraan, serta kedaulatan sebuah bangsa. Sebab, pangan yang cukup, terjangkau, dan berkelanjutan akan menopang kualitas hidup rakyat, meningkatkan produktivitas, serta memperkuat daya saing nasional,” katanya.
Dewan Pakar ICMI memaparkan bahwa salah satu penyebab lemahnya kedaulatan pangan Indonesia adalah alih fungsi lahan yang massif, krisis ekologi, hingga konflik geopolitik global.
“Lahan sawah Indonesia menyusut hingga satu juta hektar dalam tujuh tahun terakhir, sementara lahan potensial di kawasan hutan yang mencapai puluhan juta hektar belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, jika 20% lantai hutan produktif digunakan untuk pangan, Indonesia bisa memproduksi ratusan juta ton ubi kayu, jagung, dan tanaman pangan lainnya,” ungkapnya.
Selain masalah lahan, mantan menteri Kelautan dan Perikanan ini mengungkapkan mayoritas pelaku sektor pangan masih miskin, bekerja secara tradisional, dan tidak mendapatkan keuntungan yang layak karena rantai pasok yang timpang. “Keuntungan besar dinikmati oleh industri hilir, sementara petani, nelayan, dan buruh tani hidup pas-pasan,” ujarnya.
Selain itu, Prof Rokhmin juga menyoroti rendahnya hilirisasi, minimnya jaminan harga, lemahnya infrastruktur, mafia pangan, hingga dampak perubahan iklim yang makin terasa.
Lebih lanjut, Prof Rokhmin menegaskan bahwa kedaulatan pangan bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan pangan rakyat secara mandiri, tetapi juga memastikan kualitas, aksesibilitas, harga yang terjangkau, kesejahteraan petani dan nelayan, serta keberlanjutan lingkungan.
“Revisi UU ini harus menyediakan landasan hukum yang kuat agar bangsa ini bisa benar-benar berdaulat atas pangannya. Produksi nasional harus lebih besar dari konsumsi, dan petani serta nelayan harus sejahtera,” jelasnya.
Pada kesempatan tersebut Prof Rokhmin juga mengajak semua pihak untuk menghentikan impor pangan yang merugikan produsen lokal, kecuali untuk komoditas yang benar-benar tidak bisa diproduksi di dalam negeri. Ia mengingatkan bahwa tanpa kedaulatan pangan, Indonesia berisiko mengalami “lost generation” akibat gizi buruk dan ketergantungan pada negara lain.
“You are what you eat. Kualitas pangan menentukan kualitas manusia. Dan kualitas manusia adalah kunci kemajuan bangsa,” pungkasnya.
MONITOR, Jakarta - Gerakan pendidikan Al-Qur’an di Indonesia memasuki babak baru. Melalui Silaturahim Tilawati Nasional…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama meluncurkan delapan program prioritas bertajuk Asta Protas untuk periode 2024–2029.…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Perindustrian memberikan apresiasi atas suksesnya penyelenggaraan Aromatika Indofest 2025. Ajang ini…
MONITOR, Jakarta - Operasional layanan kesehatan jemaah haji Indonesia 1446 H/2025 M di Arab Saudi…
MONITOR, Jakarta - Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) sepertinya serius menjawab tantangan Penjabat (Pj) Sekda…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum (PU) terus mempercepat penyelesaian Jalan Tol Kuala Tanjung -…