MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI, Prof. Rokhmin Dahuri, menyampaikan kritik tajam soal kesejahteraan petani yang menurutnya kerap terabaikan di balik angka-angka swasembada.
Dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI bersama Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, sorotan tajam datang dari Politisi PDI Perjuangan, Ia menekankan bahwa keberhasilan swasembada pangan tak boleh hanya diukur dari angka produksi, melainkan dari sejauh mana petani turut merasakan kesejahteraan.
“Indikator kedaulatan pangan bukan sekadar surplus, tapi kesejahteraan para petani harus jadi parameter utama. Swasembada bukan hanya soal produksi lebih besar dari konsumsi, tapi juga menyangkut kesejahteraan petani,” tegas Prof. Rokhmin Dahuri, Rabu (2/7/2025).
Ia pun menyoroti fakta di lapangan berdasarkan kunjungannya ke Indramayu, kabupaten dengan produksi beras terbesar di Indonesia mencapai 810 ribu ton justru menyimpan ironi. Meski produktif, angka kemiskinan petani di sana masih tinggi:
“Kemiskinan di kalangan petani Indramayu mencapai 19 persen menurut BPS, padahal rata-rata nasional 8,9 persen. Kalau pakai standar Bank Dunia, petani miskin di Indramayu bisa mencapai 60-80%,” ungkapnya, menyoroti ketimpangan antara keberhasilan produksi dengan realitas kesejahteraan pelaku utama di sektor tersebut.
Tak ayal, Anggota Komisi IV DPR melempar kritik tajam, swasembada pangan yang dirayakan dengan spanduk dan pidato, ternyata tak sampai ke kantong para pelakunya. “Apa artinya volume panen melonjak kalau wajah petani tetap buram?” ujarnya getir.
Prof. Rokhmin Dahuri yang juga Rektor Universitas UMMI Bogor, menegaskan pentingnya perubahan perspektif dalam pelaporan kinerja Kementerian Pertanian.
Ia menilai ketimpangan ini mencoreng wajah pertanian Indonesia. Ia meminta agar laporan kinerja kementerian tak lagi terfokus pada volume panen, tetapi juga memperhatikan dinamika sosial ekonomi petani.
Tak hanya itu. Menteri Kelautan dan Perikanan 2001 – 2004 itu juga menyorot laporan kinerja yang terlalu sempit, seakan hanya tanaman pangan yang penting, sementara sektor perkebunan dibiarkan jadi hutan sunyi tanpa pantauan.

Ia pun mendesak agar Kementan melaporkan lebih lengkap soal sektor perkebunan agar Komisi IV bisa mengawal dengan lebih komprehensif. Tidak hanya memamerkan capaian volume, tapi juga memasukkan indikator kesejahteraan petani. Tak hanya itu, ia juga menyoroti kurangnya laporan terkait sektor perkebunan.
Padahal, menurut data BPS, jika sawit dikeluarkan dari neraca perdagangan, pertanian Indonesia langsung tekor USD 6 miliar. Perkebunan jaya di tangan korporasi, tapi petani kecil seperti tak diajak berpesta.
“Kalau sawit dicabut, neraca perdagangan pertanian kita bisa minus 6 miliar dolar,” ujar Prof. Rokhmin, menyindir dominasi korporasi di sektor perkebunan, sementara petani kecil masih menjadi pelengkap penderita.
Komisi IV pun mendesak agar ke depan, laporan kementerian tak hanya menampilkan tanaman pangan, tetapi menyertakan sektor perkebunan secara menyeluruh agar pengawasan dan solusi lebih menyentuh akar persoalan.
Ia meminta agar Kementerian Pertanian tak lagi terobsesi pada angka produksi dan malah mulai bicara soal kesejahteraan. “Jangan hanya hitung tonase. Hitung juga harapan yang retak,” imbuhnya.