MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher merespons data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang mencatat adanya peningkatan kasus sifilis tahun 2024 di Indonesia, khususnya di kalangan Gen Z. Netty menilai peningkatan kasus sifilis menjadi bukti lemahnya perlindungan negara dan minimnya edukasi ke masyarakat.
Sebagai informasi, sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang ditularkan melalui kontak seksual dengan seseorang yang terinfeksi. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum, yang masuk dan menginfeksi seseorang melalui luka di vagina, penis, anus, bibir, atau mulut.
“Lonjakan kasus sifilis bukan hanya menjadi isu medis, tapi juga sinyal lemahnya perlindungan negara terhadap generasi bangsa,” ujar Netty Prasetiyani Aher, Sabtu (21/6/2025).
“Edukasi yang dangkal, akses layanan kesehatan yang terbatas, serta minimnya ketahanan keluarga menjadi salah tiga penyebab yang perlu dibenahi bersama,” sambungnya.
Adapun Kemenkes mengungkap adanya peningkatan jumlah kasus infeksi menular seksual (IMS) di kalangan generasi Z atau Gen Z, dengan rentang usia 15-24 tahun yang didominasi kasus sifilis. Tiga provinsi dengan jumlah tertinggi kasus berada di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali.
Kemenkes mencatat peningkatan kasus penyakit IMS ini sudah tercatat dalam tiga tahun terakhir. Data terbaru pada 2024, ada lebih dari 4.500 kasus IMS pada rentang usia 15-19 tahun di mana sekitar 48 persennya atau 2.191 kasus merupakan sifilis.
Meski jumlah totalnya tidak sebanyak kelompok usia lainnya, peningkatan kasus pada rentang usia 15-19 menjadi perhatian karena peningkatannya lebih signifikan. Sementara untuk rentang usia 20-24 tahun, total kasus pada 2024 mencapai 14.604.
Angka tersebut sedikit menurun dibanding tahun sebelumnya yang menembus 15.170 kasus. Namun jika dibandingkan tahun sebelumnya lagi yang hanya tercatat 1.529 kasus, kasus sifilis mengalami lonjakan hingga 10 kali lipat.
Sementara itu, kasus IMS pada kelompok usia 25 tahun ke atas tercatat masih mendominasi secara keseluruhan, dengan jumlah konsisten di atas 30.000 kasus per tahun dalam tiga tahun terakhir.
“Angka ini mencerminkan urgensi perlindungan kesehatan reproduksi yang harus dilakukan secara menyeluruh, sistematis, dan berbasis budaya bangsa,” kata Netty.
Anggota Komisi Kesehatan DPR tersebut pun menyoroti pernyataan Kemenkes yang menyebut bahwa semua orang bisa terkena sifilis, bahkan mereka yang tidak tergolong dalam perilaku seksual berisiko tinggi. Menurut Netty, pernyataan Kemenkes mempertegas bahwa penanggulangan penyakit menular seksual tidak bisa dibatasi hanya pada imbauan moral.
“Tetapi harus melalui langkah-langkah konkret,” tegas Legislator dari dapil Jawa Barat VIII tersebut.
Oleh karena itu, Netty mendorong pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis. Termasuk penguatan edukasi kesehatan reproduksi di sekolah dan masyarakat dengan materi yang ramah nilai, tidak vulgar, dan sesuai karakter bangsa Indonesia.
“Kemudian sediakan pelayanan deteksi dini sifilis secara gratis dan rahasia di Puskesmas dan layanan primer, agar masyarakat tidak takut untuk memeriksakan diri,” ungkap Netty.
Pemerintah juga diminta Netty untuk melakukan penguatan ketahanan keluarga dan perlindungan anak dan remaja. “Ini agar mereka memiliki pegangan nilai dan lingkungan yang mendukung pilihan hidup sehat,” tambahnya.
Lebih lanjut, Netty menekankan perlunya sinergi antar-kementerian dan tokoh masyarakat untuk membangun gerakan sosial yang mencegah penyebaran penyakit menular seksual melalui pendekatan preventif dan kultural.
“Pemerintah harus hadir tidak hanya saat penyakit meledak, tetapi lebih penting lagi, saat anak-anak kita butuh panduan hidup sehat dan bermartabat,” sebut Netty.
“Ini bukan semata urusan kesehatan, tapi menyangkut masa depan bangsa,” tutupnya.