Senin, 16 Juni, 2025

DPR Kritisi Usulan Pajak Tinggi Rumah Tapak, Makin Banyak yang Tak Bisa Beli Hunian Pribadi

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi V DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri merespons kritis usulan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah yang menyarankan penerapan pajak tinggi terhadap pembangunan rumah tapak di perkotaan demi mendorong masyarakat tinggal di hunian vertikal. Ia menilai usulan tersebut dapat menimbulkan problem baru.

Irine berpandangan, gagasan tersebut tidak hanya akan membebani masyarakat sebagai konsumen, tetapi juga menghantam industri properti nasional yang saat ini tengah berjuang pulih dari dampak ekonomi pasca-pandemi Covid-19.

“Pajak tinggi justru menciptakan biaya tinggi bagi pembeli. Akhirnya, penjualan rumah tapak anjlok. Ini memperberat bisnis properti secara keseluruhan,” kata Irine Yusiana Roba Putri, Senin (16/6/2025).

“Dan pastinya semakin banyak masyarakat yang tidak bisa membeli hunian pribadi khususnya keluarga muda serta masyarakat dari kelas menengah,” sambung Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) DPR itu.

- Advertisement -

Seperti diketahui, Wamen PKP Fahri Hamzah mengusulkan pajak tinggi pada rumah tapak yang ada di perkotaan untuk mendorong masyarakat perkotaan tinggal di hunian vertikal seperti rumah susun dan apartemen.

Menurut Fahri, saat ini di perkotaan sudah tidak ada tanah lagi untuk membangun rumah tapak, karenanya perlu dibangun hunian vertikal untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal.

Namun, Fahri mengatakan, Kementerian PKP tidak memiliki otoritas atas pertanahan untuk membangun hunian yang menjadi ‘jantung’ perkotaan. Untuk itu, ia menilai, perlu ada aturan yang mengatur dari sisi suplai, termasuk otoritas pertanahan untuk perumahan.

Terkait hal ini, Irine menilai pajak tinggi bagi rumah tapak juga dapat menimbulkan dampak sosial. Sebab menurutnya, harga rumah yang semakin mahal justru membuat masyarakat semakin sulit memiliki hunian pribadi.

“Karena banyak yang tidak bisa beli rumah, akhirnya timbul masalah-masalah psikologis keluarga,” jelas Irine.

Irine memahami niat baik Wamen PKP yang mungkin menginginkan Indonesia semakin modern dengan hunian vertikal. Namun, ia mengingatkan bahwa pembangunan hunian bertingkat ini perlu didukung oleh rencana dan infrastruktur yang memadai. Sementara realitanya, fasilitas pendukung di Indonesia dalam hal ini masih jauh dari kata ‘optimal’.

“Mungkin niatnya supaya Indonesia semakin modern seperti negara-negara maju, tapi harus dilihat dulu, Indonesia sudah siap belum? Banyak infrastruktur pendukung dan fasilitas layanan belum optimal kok untuk masyarakat,” tutur Irine.

“Lagipula, belum semua orang di Indonesia bisa hidup dengan budaya tinggal di hunian vertikal seperti apartemen yang biasanya hidup lebih tertutup,” imbuh Legislator dari Dapil Maluku Utara itu.

Sebelum menetapkan kebijakan tersebut, Irine menekankan pentinya kajian mendalam bersama pemangku kepentingan seperti pengembang, BPN, masyarakat, dan pemda. Sehingga keputusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan dampaknya terukur.

“Perlu kajian mendalam terlebih dulu melalui diskusi dg pemangku kepentingan seperti pengembang, BPN, masyarakat, pemda, dan pihak terkait lainnya. Yang perlu didalami seperti apa dampaknya, apa kelebihan dan kekurangannya bagi tiap pihak, jika mau dinaikkan berapa persen naiknya,” ujar Irine.

“Jadi semua ada dasarnya, berdasarkan riset dan fakta, sehingga argumentasinya bisa dipertanggung jawabkan dan dampaknya bisa diantisipasi,” tambahnya.

Menurut Irine, pemerintah dalam hal ini Kementerian PKP, harus lebih dulu memikirkan kondisi budaya indonesia. Di mana warganya memiliki budaya dengan tingkat sosial yang tinggi, misalnya melaksanakan ronda bersama, dan aktivitas kemasyarakatan lainnya yang jarang ditemukan di hunian vertikal.

“Bisa berubah? Ya pasti bisa, seperti di negara-negara maju. Toh juga sekarang sudah cukup banyak warga Indonesia yang memilih tinggal di apartemen. Tapi untuk secara keseluruhan, pasti butuh proses, tidak ujug-ujug bisa langsung,” ungkap Irine.

“Jadi perubahan kultur dari rumah tapak ke hunian vertikal, biarkan berjalan alamiah, tidak bisa dipaksakan lewat kebijakan menaikkan pajak hunian. Itu malah bisa menimbulkan efek domino,” lanjutnya.

Irine pun menilai, pendekatan represif seperti menaikkan pajak rumah tapak demi memaksa masyarakat tinggal di rusun atau apartemen bukanlah solusi berkelanjutan.

Alih-alih mendorong adaptasi terhadap hunian vertikal, Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan perumahan rakyat tersebut menilai kebijakan ini justru menekan daya beli masyarakat serta membuat pasar properti domestik semakin tidak kompetitif.

“Kalau pajaknya mahal, tentu saja masyarakat akan menunda pembelian rumah tapak. Akibatnya, pengembang yang selama ini menggantungkan bisnisnya pada segmen rumah tapak bisa mengalami kerugian besar, bahkan gulung tikar,” sebut Irine.

“Jangan sampai niat mengubah pola huni malah merusak ekosistem usaha properti yang sudah terbentuk,” tambahnya.

Irine mengatakan, kebutuhan masyarakat terhadap rumah tapak tetap tinggi, terutama bagi keluarga muda dan masyarakat kelas menengah yang menginginkan ruang lebih luas, privasi, dan keamanan yang lebih fleksibel.

Menurut Irine, tidak semua masyarakat siap beralih ke hunian vertikal yang identik dengan keterbatasan ruang dan biaya layanan bulanan tambahan. Ia pun mengingatkan Pemerintah agar tidak membuat kebijakan tambal sulam yang bersifat coba-coba.

Irine menyebut diperlukan kepastian regulasi dan arah kebijakan yang matang dan konsisten dalam sektor sebesar properti yang menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi nasional.

“Kami minta Pemerintah tidak menyederhanakan masalah hunian hanya dengan mengandalkan instrumen fiskal yang membebani. Justru yang dibutuhkan adalah insentif, bukan disinsentif,” tukas Irine.

“Jangan ganggu stabilitas industri properti hanya karena ingin mempercepat perubahan pola hidup secara instan,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER