HUMANIORA

Khutbah Idul Adha, Prof Rokhmin ungkap 7 Esensi Rukun Ibadah Haji untuk Memaknai Hakikat Hidup

MONITOR, Jakarta – Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjadi khatib shalat Idul Adha 1446 H di Lapangan Perguruan Muhammadiyah Matraman, Jakarta Timur, pada Jum’at, 6 Juni 2025, dalam pesannya, Guru Besar IPB University itu mengungkap tujuh esensi pesan dibalik ritual ibadah haji sebagai pengingat atas kondisi kondisi umat islam saat ini yang terjebak pada pemaknaan ibadah hanya sebagai rutinitas dan seremonial sehingga kehilangan makna dan esensi perintah ibadah itu sendiri termasuk ibadah haji.

“Banyak umat hanya menjalankan ibadah sebagai ritual dan seremoni kosong, tanpa memahami makna serta nilai substansialnya dalam kehidupan nyata. Namun, dia sering menyakiti tetangganya, kikir, tidak suka menolong fakir miskin, korupsi, tidak jujur, pembohong, pendengki, pendendam, tidak mau berkurban untuk menegakkan kalimat Allah (Islam), dan akhlak buruk lainnya,” ungkapnya. 

“Dengan perkataan lain, sudah menjadi pemandangan sehari hari (hal yang lumrah), bahwa kebanyakan muslim dan muslimah di Indonesia itu sangat baik ‘kesalehan individual’nya, tetapi amat buruk ‘kesalehan sosial’ nya,” jelas Rektor Universitas UMMI Bogor itu.

Prof Rokmin menuturkan kesalehan individual sering kali tidak sejalan dengan kesalehan sosial, yang seharusnya menjadikan umat Islam sebagai pembawa kebaikan dan keadilan. Kasih sayang, perdamaian, dan sikap saling menolong antar sesama bangsa semakin memudar karena ambisi kekuasaan dan kepentingan pribadi.

“Banyak yang terlihat sangat religius secara lahiriah, tetapi tidak jujur, tidak peduli tetangga, korupsi, kikir, pendendam, bahkan tak peduli pada perjuangan Islam,” tegasnya.

Ia menilai, ibadah seperti qurban, haji, dan shalat Id seharusnya menjadi jalan menuju transformasi moral dan sosial. Bukan sekadar rutinitas tahunan. “Tanpa penghayatan nilai, ibadah menjadi kering. Maka jangan heran bila umat kita terjebak dalam kemunafikan sosial yang makin mengakar,” ujarnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menyerukan agar umat Islam tidak hanya beribadah secara ritual, tetapi juga memahami dan mengamalkan nilai-nilai luhur Islam dalam kehidupan sosial.  Jika ibadah hanya sebatas formalitas, maka pesan keadilan, ketakwaan, dan ukhuwah akan terus terkikis oleh kepentingan politik dan egoisme pribadi.

Hikmah Ibadah Haji

Dalam kesempatan itu, Eks Menteri Kelautan dan Perikanan itu memaparkan, Indonesia merupakan negara penyumbang jamaah haji terbesar di dunia setiap tahunnya. Bahkan pada tahun ini, kuota haji Indonesia mencapai 221.000 jamaah atau mengalami peningkatan sekitar 10 ribu jamaah dibandingkan tahun sebelumnya. 

Sayangnya, menurut Prof Rokhmin peningkatan kuota jamaah haji tersebut seolah hanya sebagai simbol saja dan tidak terlalu berdampak terhadap perbaikan kualitas diri maupun bangsa kita. Sehingga, tak heran bila perilaku akhlakul mazmumah (tercela) seperti pembunuhan, begal, perjudian, perzinahan, saling hujat, saling hantam, flexing (pamer kemewahan), korupsi, kolusi dan nepotisme masih menghiasi negeri ini. Lantas, dimanakah nilai dan makna ibadah Haji dan Ibadah Qurban yang telah dilaksanakan oleh ratusan ribu jamaah kita setiap tahunnya?

“Oleh karena itu, marilah kita jadikan Idul Adha kali ini sebagai momentum bagi kita Umat Islam di Indonesia pada khususnya, dan di dunia pada umumnya. Untuk bangkit, memaknai dan mengamalkan nilai-nilai (hikmah) substansial dari setiap ibadah mahdhoh yang kita kerjakan, terutama ibadah haji, sholat Idul Adha, dan ibadah qurban,” tuturnya.

Sebagaimana diingatkan oleh Presiden pertama RI, Dr.Ir. Soekarno (Bung Karno), bahwa kita “Umat Islam harus mengambil api (substansi, ruh) Islam, bukan asapnya (ritual dan seremoni nya) saja”. Setiap hari raya Idul Adha, setidaknya kita terus diingatkan kembali tentang Hikmah Ibadah Haji dan Hikmah Ibadah Qurban, guna meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT. 

Anggota Dewan Pakar ICMI itu menerangkan peristiwa ibadah haji seharusnya mampu menyadarkan bahwa pada hakikatnya umat manusia adalah satu keluarga, satu kesatuan, serta sama dan setara dalam pandangan Allah SWT. Tidak ada manusia yang lebih unggul dan lebih baik dari yang lainnya, kecuali atas dasar ketakwaan atau ketaatannya kepada Allah SWT. Namun, ibadah ini hanya akan menjadi sebuah simbol atau ritual yang tidak terlalu berguna, apabila kita tidak mampu menangkap makna terdalam dari setiap aktivitasnya. Semua aturan atau tata cara ibadah haji (Rukun, Wajib, dan Sunah) bertujuan agar jamaah haji semakin meyakini akan ke-Esaan Allah SWT, semakin mengingatkan tentang adanya neraca keadilan Allah di akhirat kelak, serta para jamaah haji akan semakin mengerti makna kemanusiaan yang universal tanpa perbedaan antara satu dengan yang lain. 

“Semua itu akan terasa begitu dahsyat dan bergetar dalam hati seorang yang melaksanakan ibadah haji, ketika dia berupaya benar-benar menghayati makna makna yang ada di balik ibadah haji tersebut. Para Ulama menjelaskan, ada beberapa makna filosofis dan substansial dalam pengamalan ibadah haji,” kata Ketua Dewan Pakar Ikhwanul Mubalighin itu.

Tujuh Makna Ibadah Haji

Pada kesempatan itu, Prof Rokhmin membeberkan sejumlah makna simbolis dari rukun ibadah haji diantaranya: Pertama, Ibadah haji dimulai dengan niat sambil meninggalkan pakaian biasa dan menggunakan pakaian ihram (putih). Pakaian tersebut yang akan menjadi satu-satunya pakaian kita, ketika kita telah meninggalkan dunia yang fana ini. Harta dan benda, jabatan, istri, anak-anak tidak akan menyertai kita ke alam kubur, alam barzakh, dan akhirat.

‘’Dalam pakaian ihram itulah, dapat kita artikan bahwa semua kita adalah sama, tidak ada sikap diskriminasi dan tidak ada perbedaan diantara kita, apakah status sosial, ekonomi, profesi, politik dan sebagainya. Sehingga, kita semua tidak ada yang paling mulia dan terhormat kecuali tingkat taqwa kita kepada Allah Swt. Dengan pakaian putih pula, seseorang akan merasakan kelemahannya, keterbatasannya serta pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah SWT. 

Kedua, dengan pakaian ihram, maka semua larangan harus dihindari dan ditinggalkan oleh pelaku ibadah haji. Dilarang untuk menyakiti binatang/hewan, dilarang membunuh, dilarang mencabuti pepohonan dan lain sebagainya. Mengapa?. Karena pada hakikatnya, manusia berperan memelihara makhluk-makhluk Allah lainnya serta memberinya kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaanNya. 

‘’Setiap penciptaan pasti ada tujuan dan manfaatnya untuk kehidupan manusia. Selain itu, pada saat menggunakan pakaian ihram juga dilarang untuk memakai wangian, berhias, menggunting rambut dan kuku dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan jati diri kita dan menghadap Allah dengan sebagaimana adanya,’’ tegasnya.

Ketiga, Ka’bah yang dikunjungi merupakan simbol atas nilai -nilai kemanusiaan. Disana ada Hijr Ismail (pangkuan Nabi Ismail a.s.), saat Ismail dipangku oleh ibundanya, Siti Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak. Namun demikian, peninggalannya diabadikan Allah SWT untuk memberikan pelajaran kepada manusia, bahwa Allah memberi status seseorang bukan karena keturunan atau status sosial, bukan karena kecantikannya, bukan karena hartanya, tetapi karena kedekatannya kepada Allah 
dan usahanya untuk Hajr (hijrah) dari kejahatan menuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban yang mulia dan membahagiakan.

‘’Disini bisa kita ambil pelajaran, walaupun bangsa kita sedang terpuruk baik segi ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya, tetapi kita tidak boleh pesimis, berkecil hati, dan merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Sebab, apabila kita berusaha sungguh sungguh untuk membangun bangsa ini dengan meminta pertolongan Allah untuk kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat. Insya Allah, ketertinggalan dan keterpurukan yang terjadi saat ini akan segera teratasi,’’ terangnya.

Keempat, Ibadah Thawaf dengan tujuh kali mengitari Ka’bah sebagai simbol kepatuhan makhluk kepada Sang Khalik. Thawaf dalam arti menggambarkan larut dan meleburnya manusia dalam hadirat Illahi, sehingga manusia betul-betul mampu menjadikan hatinya bersama dengan Allah (taat), kekhusukan hatinya tidak diragukan lagi dan terbentuklah pribadi yang mencintai sesama bukan meneror sesama. 

‘’Ratusan ribu orang yang bertawaf, silih berganti tanpa henti, terlihat seperti ribuan asteroid, komet, planet dan benda angkasa lainnya yang mengitari matahari. Atau bahkan seperti milyaran bintang di galaksi bima sakti yang mengitari pusat galaksi. Milyaran bintang mengitari pusat galaksi, semuanya berada dalam porosnya masingmasing,” beber Professor Emeritus in Sustainable Development, Shinhan University, Republic of Korea itu.

Kelima, setelah thawaf, dilakukanlah sa’i. Sa’i merupakan simbol etos kerja yang tinggi, tidak mudah menyerah dan tidak putus asa. Disini, jamaah Haji hendaknya mengenang dengan penuh penghayatan akan sifat pantang menyerah dan tak kenal putus asa dari sosok Ibunda Siti Hajar. ‘’Kita sebagai manusia hanya wajib berusaha dan berdoa, namun hanya Allah jualah yang akan menentukan segalanya (hasilnya). Inilah hikmah yang paling besar dibalik peristiwa sa’i tersebut,’’ ungkapnya.

Keenam, Wuquf (berhenti) sampai matahari terbenam di tanah ‘Arafah, padang yang sangat luas dan gersang. Disanalah seharusnya kita menemukan ma’rifat pengetahuan tentang diri kita dan perjalanan kehidupan kita. Disini pula kita bisa menarik benang merah agar supaya pemimpin bangsa ini memiliki pengetahuan tinggi, dalam arti pemimpin haruslah berjiwa bijaksana, merasakan penderitaan rakyatnya (seperti ketika merasakan panasnya di Arafah) tidak malah menekan rakyat dengan beban-beban yang memberatkan, sedangkan mereka hidup dalam kemewahan.

Ia mengingatkan bahwa pemimpin harus peka terhadap berbagai permasalahan bangsa saat ini. Mulai dari angka kemiskinan yang tinggi, pengangguran yang tak bisa dibendung lagi, status gizi yang rendah, stunting, kesenjangan sosial yang tinggi, daya saing bangsa rendah serta indeks pembangunan manusia yang masih rendah. 

“Untuk itu, kita butuh pemimpin yang kompeten, taat kepada Allah, berakhlak mulia, dan mampu membantu mengatasi segenap permasalahan bangsa menuju Indonesia Emas (maju, adil-makmur, berdaulat, dan diridhoi Tuhan YME), paling lambat pada 2045,” tegas Member of International Scientific Advisory Board of Center for Sustainable Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany itu.

Ketujuh, dari ‘Arafah, para jamaah ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata dalam menghadapi musuh utama yaitu setan. Kemudian selanjutnya ke Mina dan disanalah para jamaah haji melampiaskan kebencian dan amarahnya masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya. 

Recent Posts

Sekolah Swasta Gratis Akan Diatur di RUU Sisdiknas, Termasuk Agar Honor Memadai Bagi Guru Non-ASN

MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayanti menegaskan putusan Mahkamah…

6 menit yang lalu

Jasa Marga Jaga SPM dengan Rutin Lakukan Pemeliharaan Jalan Tol Cipularang dan Padaleunyi

MONITOR, Bandung - Guna meningkatkan keamanan dan kenyamanan pengguna jalan, serta untuk menjaga Standar Pelayanan…

58 menit yang lalu

Arab Saudi Umumkan Keberhasilan Penyelenggaraan Haji, Tahun ini Lebih Baik dari Tahun Sebelumnya!

MONITOR, Makkah - Arab Saudi mengumumkan keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji 1446 H/2025 M, baik dari…

1 jam yang lalu

Pertamina Patra Niaga Bagikan Hewan Qurban ke 50 Ribu Lebih Dhuafa dari Sabang hingga Marauke

MONITOR, Jakarta - Dalam momentum Hari Raya Idul Adha 1446 H, Pertamina Patra Niaga membagikan…

2 jam yang lalu

DPR Minta Pemberi Izin Tambang Nikel di Raja Ampat Diinvestigasi: Hancurkan SDA dan Kesejahteraan Rakyat!

MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan mengkritik keras ekspansi tambang nikel…

9 jam yang lalu

Iduladha 1446 H, Jasa Marga Group Salurkan 344 Hewan Kurban

MONITOR, Jakarta - PT Jasa Marga (Persero) Tbk. berbagi kebahagiaan dengan menyalurkan 344 ekor hewan…

16 jam yang lalu