Sabtu, 7 Juni, 2025

DPR Kritik Program Bantuan Subsidi Upah, Banyak Pekerja Rentan Terabaikan Karena Tak Punya BPJS Ketenagakerjaan

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi mengkritik program Bantuan Subsidi Upah (BSU) 2025 senilai Rp 600.000 yang diberikan kepada pekerja bergaji maksimal Rp 3,5 juta sebagai pengganti kebijakan diskon tarif listrik sebesar 50% yang dibatalkan Menteri Keuangan. Ia menilai, program ini masih menyisakan persoalan lantaran mekanisme penyalurannya hanya ditujukan bagi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan hingga April 2025.

“Fakta di lapangan, masih banyak pekerja dengan penghasilan rendah yang belum terdaftar atau bahkan kesulitan mengakses BPJS Ketenagakerjaan karena berbagai kendala ekonomi, terutama pekerja informal dan sektor mikro,” kata Nurhadi, Kamis, (5/6/2025).

Seperti diketahui, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menetapkan syarat penerima Bantuan Subsidi Upah (BSU) tahun 2025 melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2025. Pertama, Warga Negara Indonesia (WNI). Kedua, peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.

Ketiga, pegawai dengan gaji atau upah maksimal Rp 3,5 juta per bulan. Keempat, bukan Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit TNI, atau anggota Polri. Kelima, tidak sedang menerima bantuan sosial lainnya.

- Advertisement -

Adapun BSU 2025 bertujuan untuk membantu pekerja atau buruh dalam menjaga daya beli dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Total anggaran yang digelontorkan untuk program BSU Bantuan Subsidi Upah tahun ini mencapai Rp 10,72 triliun.

BSU 2025 akan diberikan sebesar Rp 300.000 per bulan selama dua bulan, yaitu Juni dan Juli 2025. Namun, bantuan ini akan disalurkan sekaligus sebesar Rp 600.000 pada bulan Juni 2025.

Nurhadi menegaskan, pembatasan penerima BSU 2025 berpotensi menyisakan kelompok pekerja paling rentan di luar jangkauan bantuan.

“Padahal, mereka yang sebenarnya sangat membutuhkan dukungan ekonomi justru terancam gagal menerima bantuan karena belum terdaftar di BPJS,” tegasnya.

Nurhadi menyoroti juga fenomena banyaknya perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya sebagai peserta BPJS. Oleh karena itu, syarat penerima BSU harus memiliki BPJS Ketenagakerjaan dinilai kurang tepat.

“Belum lagi ancaman PHK, jika tak punya BPJS Ketenagakerjaan, karyawan yang bahkan mengabdi puluhan tahun juga tak menerima upah atau pesangon,” imbuh Nurhadj.

Sebagai informasi, berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek, tercatat jumlah peserta aktif sebanyak 39,7 juta orang per April 2025. Jumlah tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan posisi per Maret 2025 yang sebanyak 40,2 juta orang, dan posisi per Desember 2024 yang sebanyak 45,22 juta orang

Di sisi lain, Nurhadi pun mendorong mekanisme penyaluran BSU sekaligus sebesar Rp 600.000 harus diiringi dengan sistem pengawasan yang ketat agar bantuan tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.

“Namun, yang paling penting adalah perlu adanya terobosan agar akses kepesertaan BPJS dan program perlindungan sosial lain dapat diperluas, termasuk bagi pekerja informal yang selama ini sulit dijangkau,” ungkapnyq.

Lebih lanjut, Nurhadi menilai program stimulus ekonomi semacam BSU tentu penting, namun tidak boleh menjadi solusi parsial yang hanya menguntungkan sebagian kecil pekerja. Menurutnya, Pemerintah harus serius mengevaluasi dan memperbaiki sistem agar bantuan sosial benar-benar bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan, tanpa terkecuali.

“Penguatan perlindungan sosial harus menjadi prioritas nasional, terutama di masa ketidakpastian ekonomi global. Jangan sampai program bantuan justru menjadi sumber ketimpangan baru yang menambah beban rakyat kecil,” tutur Nurhadi.

Nurhadi menegaskan komitmennya dalam memperjuangkan perlindungan tenaga kerja, khususnya bagi pekerja bukan penerima upah (BPU). Ia juga menekankan pentingnya BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja sektor informal seperti petani, pedagang, nelayan, pekerja ekonomi kreatif, hingga pekerja lepas lainnya.

Menurut Anggota Komisi Ketenagakerjaan DPR itu, jaminan sosial ketenagakerjaan bukan hanya untuk pekerja kantoran saja. Nurhadi menyebut, jaminan ketenagakerjaan juga merupakan hak bagi semua tenaga kerja di berbagai bidang.

“Kami di Komisi IX DPR RI terus mendorong agar pekerja sektor informal bisa mendapatkan perlindungan yang layak melalui BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya.

“Jangan sampai pekerja kita tidak terlindungi ketika mengalami kecelakaan kerja atau saat memasuki usia tua,” pungkas Nurhadi.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER