MONITOR, Depok – Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah Universitas Islam Depok (UID) kembali menyelenggarakan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) secara daring dengan topik yang sangat relevan: “Analisis Kepatuhan Prosedur Pencatatan Nikah Pasca-Terbitnya PP No. 48 Tahun 2014”.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber utama Faiz Adzkia Arsyad, S.H., M.H., dosen tetap Hukum Keluarga Islam UID, serta dipandu oleh moderator Siti Madinatul Munawaroh, Wakil Ketua DEMA Fakultas Syariah UID. Acara berlangsung melalui platform Zoom Meeting dan terbuka untuk umum, dengan partisipasi peserta dari kalangan mahasiswa, penyuluh agama, tenaga pencatat nikah, dan masyarakat pemerhati hukum Islam.
Dalam pemaparannya, Faiz Adzkia menguraikan latar belakang terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2014, yang merupakan regulasi perubahan dari PP No. 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Kementerian Agama. Sebelum adanya PP ini, praktik gratifikasi dan pungutan liar dalam layanan pencatatan nikah sering terjadi, terutama untuk pernikahan yang dilakukan di luar Kantor Urusan Agama (KUA) dan di luar jam kerja. Biaya pencatatan yang tidak diatur secara jelas menyebabkan sebagian penghulu “dipaksa” menerima pemberian tambahan dari calon pengantin.
Faiz menegaskan bahwa PP No. 48 Tahun 2014 hadir sebagai solusi yang sah dan adil, dengan dua ketentuan utama: pencatatan nikah gratis (Rp 0) jika dilaksanakan di KUA pada jam kerja, dan berbiaya Rp600.000 jika dilakukan di luar KUA atau di luar jam kerja. Pembayaran dilakukan melalui transfer bank guna menciptakan transparansi.
Mengutip hasil penelitian lapangan di dua kecamatan—Gondokusuman dan Tegalrejo—ditemukan bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap aturan ini masih bervariasi. Di Gondokusuman, pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap kebijakan ini relatif tinggi berkat akses informasi yang memadai. Sementara itu, di Tegalrejo, pemahaman masih rendah dan masyarakat menganggap sistem baru cukup merepotkan. Sosialisasi regulasi pun dinilai masih terbatas, umumnya hanya dilakukan saat pendaftaran nikah.
Dari perspektif penghulu, kebijakan ini dinilai membawa kelegaan karena mereka tidak lagi terbebani isu gratifikasi. Biaya yang sudah ditentukan dan dibayarkan secara resmi membuat tugas mereka lebih nyaman secara etik dan hukum. Namun, tantangan tetap ada dalam aspek pemahaman masyarakat, terutama di wilayah dengan tingkat pendidikan dan literasi hukum yang rendah.
Faiz juga menyampaikan tinjauan Ushul Fiqh terhadap kebijakan ini. Ia menilai bahwa PP No. 48 Tahun 2014 merupakan bentuk maslahah mursalah yang sejalan dengan maqashid asy-syariah, khususnya dalam menjaga harta (ḥifẓ al-māl). Aturan ini dianggap memenuhi prinsip daruriyyat dalam syariat, yakni memberikan manfaat, menghindari kemudaratan, serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam layanan publik.
Kegiatan ini menegaskan bahwa pendekatan hukum positif dan hukum Islam dapat berjalan beriringan demi kemaslahatan umat. Di akhir kegiatan, narasumber berpesan agar lembaga keagamaan dan pemerintah terus mengintensifkan sosialisasi peraturan ini di tingkat akar rumput.