Mamat Salamet Burhanudin *
Berita viral tentang “Ayam Goreng Widuran” di Solo Jawa Tengah belakangan ini telah menyita perhatian publik. Ayam goreng yang sudah menjadi legen sejak 1976 itu ternyata mengandung unsur bahan non halal. Muncul berbagai tanggapan dari publik di berbagai media sosial atas kasus ini. Mulai dari tanggapan geram merasa tertipu karena sudah lama berlangganan, tanggapan senang karena merasa terhindar dari produk haram, sampai tanggapan positif karena ada niatan baik dari pengusaha memasang sendiri keterangan non halal yang justru menjadi pemicu usahanya viral.
Bagaimana sebetulnya aturan yang harus diikuti dalam hal penyajian produk makanan non halal di negara kita ini yang mayoritas muslim. Apakah ada larangan mengedarkan atau memperjualbelikan makanan non halal. Atau apakah cukup mencantumkan keterangan non halal dalam produk sajiannya jika memang benar ada kandungan haramnya. Apalagi dalam kasus di Solo keterangan non halal ini dibuat oleh pengusaha dengan kesadaran sendiri tanpa kordinasi dg pihak terkait.
Aturan non-halal
Selama ini aturan tentang pencantuman label halal di setiap produk yang disajikan sudah lumrah diketahui. Setelah mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produl Halal (BPJPH) pengusaha harus memasang label halal di setiap produknya. Dengan begitu masyarakat akan dengan mudah dapat mengenal kehalalan produk melalui label yang tecantum dalam kemasan produknya. Lalu bagaimana dengan produk non halal yang dipasarkan. Produk non halal ini biasanya disajikan untuk kalangan tertentu sesuai selera dan nilai keyakinan yang dianutnya masing-masing. Tentu saja bukan untuk masyarakat muslim. Apakah produk seperti ini juga harus dicantumkan lebel non halal disetiap produknya.
Aturan tentang lebel halal dalam kemasan produk sudah diatur dalam UU 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan PP 42 tahun 204 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Dalam pasal 25 UU 33/2014 dan pasal 106 PP 42/2024 disebutkan bahwa produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH wajib dicantumkan label halal di kemasan produknya. Dalam regulasi ini juga dijelaskan pula bahwa semua produk makanan, minuman, barang gunaan dan daging sembelihan yang beredar dan diperdagangkan di wilayah negara Indonesia wajib bersertikat halal.
Adapun produk yang mengandung bahan yg diharamkan menurut pasal 10 PP 42/2024 masih boleh beredar dan tentu saja tidak terkena kewajiban bersertifikat halal. Akan tetapi produk makanan seperti ini harus diberi keterangan tidak halal saat diedarkan atau diperjualbelikan. Keterangan ini nanti akan berfungsi sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen kalau produk ini mengandung unsur yang diharamkan. Dalam pengertian lain pemilik usaha makanan atau minuman yg mengandung bahan haram wajib memberi tahu kepada konsumen. Pemberitahuannya bisa melalui label yang menjelaskan bahwa produknya non halal. Dengan demikian konsumen yang beragama Islam bebas memilih untuk tidak membeli dan menghindari untuk mengkonsumsi produknya. Dengan demikian pelaku usaha masih bebas mengedarkan dan menjual makan dan minuman yang mengandung barang non halal selama mencamtumkan keterangan nonhalal. Aturan ini menuntut kejujuran dari pelaku usaha terhadap produknya.
Aturan yang tertuang dalam UU 33/2014 ini memiliki filosofi yang cukup mendasar dan mulia. Aturan ini lebih jauh dapat menjadi jaminan terhadap kebebasan warga negara yg beragama muslim untuk menjalankan ajaran agamanya. Hak warga negara untuk menjalankan ajaran agama berupa larangan mengkonsumsi makanan yang diharamkan telah terjamin oleh negara. Malahan aturan ini dapat mencerminkan bahwa negara benar benar telah hadir untuk melindungi warga negara yg beragama Islam agar terhindar dari keharaman yang dikonsumsinya.
Dari sudut konsumen aturan ini akan memberikan kenyamanan tersendiri saat berbelanja. Mereka semakin tidak khawatir terhadap jajanannya karena sudah dipastikan halal atau tidaknya melalui label yg tertera dalam kemasannya.
Demikian juga dari sisi kepentingan pengusaha aturan lebel kehalalan ini akan menjadi nilai tambah tersendiri di pasar. Produknya yang berlebel halal akan menjadi daya tarik produknya tergadap pembeli.
Akan tetapi sebaliknya bila produk makanan “telanjang” tidak ada label yg menjelaskan halal atau nonhalalnya maka akan ditinggalkan konsumen. Malahan hak konsumen terhindar dan aman dari makanan haram menjadi terancam. Konsumen menjadi pihak yang rentan terpapar dari barang yang diharamkan. Tanpa ada label kehalalan produk konsumen akan dengan mudah menjadi korban penipuan pelaku usaha yang menyembunyikan keharaman produk.
Pasar makanan yang tidak ketat memasang label halal akan membuat konsumen tidak tenang. Konsumen akan mengalami situasi yang tidak terbebas dari unsur haram dalam produk makanan dan minuman yang akan dibelinya.
Sanksi
Aturan kehalalan produk tidak akan efektif tanpa dibarengi dengan aturan sanksi yang tegas. Bagaimana jika ada pengusaha yang menjual produknya tanpa ada keterangan halal atau non halalnya. Apakah mereka sudah melanggar hukum dan aturan regulasi yang berlaku di negara kita. Jika mereka melanggar apa sanksi dan hukuman buat mereka. Hukuman dan sanksi ini akan menjadi efek jera atau setidaknya menjadi peringatan kepada yang lainnya agar tidak melakukan hal yang sama.
Jika kita mencermati UU 33/2014 dan PP 42/2024 maka sanksi dan hukuman itu sudah diatur di sana. Akan tetapi sayangnya sanksi yang tertuang di sana masih terbatas berupa sanksi administratif. Belum sampai pada sanksi pidana. Sebagaimana tertuang dalam pasal 41 UU 33/2014 bahwa pengusaha yang tidak mencantumkan label halal tidak sesuai dengan ketentuan maka dikenai sanksi administratif berupa : a) Teguran Lisan b) Peringatan Tertulis c) Pencabutan Sertifikat Halal. Sanksi administratif yang agak lebih berat dijelaskan lebih detil di pasal 170 dalam PP 42/2024. Disana ditambahkan sanksi berupa denda paling banyak dua miliar rupiah bagi pengusaha yang melanggar aturan dan ketentuan tentang jaminan produk halal.
Sanksi yang lebih keras bagi pengusaha yang sengaja melanggar aturan kehalalan dapat dijerat melalui UU Perlindungan Konsumen (UUPK) No 8 tahun 1999. Dalam UU ini diatur sanksi pidana bagi pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi iklannya. Seperti tertuang dalam pasal 62 dikatakan bahwa memproduksi, menjual, atau memberi kesempatan untuk memeprdagangkan barang yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan merupakan tidak pidana. Berdasarkan aturan dalam UUPK ini konsumen mempunyai hak untuk melaporkan pengusaha yang telah melakukan tindak pidana yang merugikan konsumen kepada pihak kepolisian.
Kasus Ayam Goreng Widuran yang ketahuan menggunakan lemak babi dalam proses priduksinya dapat dikenai sanksi UUPK ini. Konsumen Muslim yang selama ini menjadi pelanggan tetap mengkonsumsi ayam goreng widuran pasti merasa dirugikan. Dengan menggunakan UUPK ini mereka bisa melakukan pelaporan kepada pihak berwajib karena pengusaha diduga telah menipu konsumen. Terlebih lagi disinyalir pelaku usaha ayam goreng ini telah mengiklankan produknya melalui spanduk yg berlebel halal. Padahal kenyataannya pengusaha menjual ayam goreng yang sudah tercemar minyak babi.
Kasus Ayam Goreng Widuran harus menjadi pelajaran bahwa penjual makanan dan minuman harus bertanggungjawab terhadap produknya. Pengusaha makanan harus menjaga kepentingan konsumen dalam hal higienitas, kebersihan, kesehatan, keamanan dan kehalalannya. Lebel kehalalan menjadi jembatan antara pengusaha yang bertanggungjawab terhadap produknya dengan konsumen yang harus dijaga haknya. Lebel kehalalan produk menjadi media komunikasi antara produsen dengan konsumen segingga saling percaya. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi.
*) Deputi Bidang Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)