Jumat, 23 Mei, 2025

Perusahaan Dilarang Tahan Ijazah, Puan Ingatkan Soal Pengawasan dan Sanksi Bagi Pelanggar

MONITOR, Jakarta – Ketua DPR RI Puan Maharani menyambut baik terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 yang melarang perusahaan menahan ijazah dan dokumen pribadi milik karyawan. Puan menilai, edaran tersebut harus dibarengi dengan pengawasan dan sanksi bagi perusahaan yang melanggar.

Menurut Puan, kebijakan larangan ini merupakan langkah kecil yang sudah lama ditunggu untuk menghentikan praktik-praktik pelanggaran di dunia kerja. Sebab penahanan ijazah karyawan tak hanya masalah hukum, tapi juga mencederai martabat pekerja Indonesia.

“Penahanan ijazah adalah bentuk pemiskinan sistematis terhadap pekerja. Ini bukan hanya soal pelanggaran etika perusahaan, tapi persoalan struktural yang selama ini didiamkan karena lemahnya keberpihakan regulasi pada pekerja,” kata Puan, Jumat (23/5/2025).

Sebagaimana diketahui, dalam Surat Edaran Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 yang dikeluarkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli pada Selasa (20/5), perusahaan kini dilarang untuk menahan ijazah karyawan.

- Advertisement -

Bukan hanya ijazah saja, pemerintah juga melarang perusahaan menahan dokumen pribadi pekerja seperti sertifikat kompetensi, paspor, akta kelahiran, buku nikah, dan buku pemilik kendaraan bermotor.

Pemerintah pun meminta agar para pemilik usaha tidak menghambat karyawannya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Aturan ini juga mengingatkan agar para pekerja benar-benar membaca surat perjanjian kerja ketika ingin memulai bekerja, khususnya yang menyaratkan ijazah atau dokumen pribadi untuk ditahan.

Kendati demikian, ternyata pemerintah tetap memberi celah bagi perusahaan untuk mengamankan ijazah karyawan dengan ketentuan kondisi tertentu. Misalnya, ijazah dan atau sertifikat kompetensi tersebut diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang dibiayai oleh pemberi kerja berdasarkan perjanjian kerja tertulis.

Namun perusahaan wajib menjamin keamanan ijazah dan atau sertifikat kompetensi yang disimpan dan memberikan ganti rugi kepada pekerja apabila ijazah atau sertifikat kompetensi tersebut rusak atau hilang.

Puan pun menyoroti bagaimana praktik penahanan dokumen seringkali terjadi pada sektor-sektor dengan pekerja berpendidikan menengah ke bawah, termasuk buruh pabrik, pekerja migran, dan tenaga kerja kontrak. Di mana dalam banyak kasus, pekerja dipaksa menyerahkan ijazah sebagai syarat bekerja tanpa adanya kejelasan perjanjian atau perlindungan hukum.

“Jangan lagi biarkan relasi kerja diwarnai praktik kunci gembok psikologis semacam ini. Kalau pekerja tidak punya akses ke dokumen pribadinya sendiri, bagaimana mereka bisa berpindah kerja, naik jenjang karier, atau bahkan sekadar mencari keadilan?” ucap Puan.

Untuk itu, perempuan pertama yang menjabat sebagai ketua DPR RI ini menegaskan bahwa SE yang diterbitkan Menaker harus dibarengi dengan pengawasan ketat di lapangan. Puan mendorong agar Kemenaker bersama dinas ketenagakerjaan daerah segera melakukan sidak terhadap perusahaan-perusahaan yang masih melakukan praktik penahanan ijazah, khususnya di kawasan industri dan zona padat buruh.

“Kalau hanya berhenti di edaran, tanpa pengawasan dan sanksi tegas, ini akan jadi dokumen mati,” tegas mantan Menko PMK tersebut.

“DPR RI melalui Komisi terkait juga akan meminta Kemenaker untuk terus menyampaikan laporan berkala soal implementasinya,” sambung Puan.

Puan menyatakan, DPR berkomitmen untuk terus mengawal perlindungan hak-hak pekerja, termasuk memperjuangkan agar praktik seperti ini diatur tegas lewat aturan yang lebuh kuat.

“Pekerja atau buruh adalah warga negara yang punya hak atas keadilan, mobilitas sosial, dan perlindungan hukum,” tutur cucu Bung Karno itu.

“Jika negara membiarkan praktik penahanan dokumen pekerja terjadi, artinya negara tidak menjamin hak-hak pekerja yang merupakan amanat konstitusi,” tutup Puan.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER