MONITOR, Jakarta – Pada momen Hari Pendidikan Nasional 2025, Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Ciputat, Fauzan Bahasuan menyoroti ketimpangan dan ketidak adilan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Menurutnya, hal ini menandakan masih jauhnya cita-cita pendidikan Ki Hajar Dewantara bahkan setelah 79 Tahun Indonesia merdeka.
“Ki Hajar mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekedar saranya menyalurkan ilmu, tetapi juga sebagai jalan pembebasan manusia dari belenggu ketertindasan, kebodohan dan ketidakadilan. Namun setelah 79 tahun Indonesia merdeka, pertanyaan besar kembali harus kita ajukan dengan serius dan jujur, sudahkah cita-cita pendidikan Ki Hajar Dewantara terwujud di tanah air ini? Realita di lapangan menjawab dengan getir, belum,” ungkapnya di Jakarta, Jumat (2/5).
Lebih lanjut Fauzan menjelaskan, ketimpangan dalam pendidikan hari ini tidak hanya tampak dari perbedaan kualitas sekolah antara kota dan desa, tapi juga dari akses terhadap teknologi, sumber daya guru, sarana dan prasarana, hingga mutu kurikulum yang kerap gagal menyesuaikan kebutuhan lokal. Anak-anak di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) masih harus menempuh perjalanan puluhan kilometer untuk bisa bersekolah. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki akses internet, bahkan belum tentu memiliki buku pelajaran yang layak.
“Di kota besar, anak-anak sudah diajarkan kecerdasan buatan dan coding sejak usia dini; sementara di pedalaman, masih banyak siswa yang tidak memiliki meja dan kursi belajar. Ini adalah potret nyata ketimpangan pendidikan yang sering kali luput dari perhatian pengambil kebijakan.” tuturnya.
“Ketimpangan ini diperparah dengan sistem penggajian guru honorer yang tidak manusiawi, serta distribusi guru yang tak merata. Banyak guru di daerah terpencil mengajar dengan dedikasi tinggi, tapi hanya menerima upah jauh di bawah UMR. Apa arti “mencerdaskan kehidupan bangsa” jika mereka yang bertugas mencerdaskan justru tidak mendapatkan keadilan?” tambah Fauzan.
Di kesempatan yang sama, ia juga mengkritisi pola pendidikan di Indonesia dengan analogi pendidikan tidak sesempit ruang kelas, menurutnya pendidikan adalah proses pembentukan karakter, kepribadian, dan kesadaran kolektif sebagai warga bangsa. Maka, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang membebaskan, bukan yang menindas; yang membentuk nalar kritis, bukan hanya memproduksi tenaga kerja.
Pendidikan seharusnya menciptakan manusia Indonesia yang tidak hanya pintar secara kognitif, tetapi juga berjiwa sosial, mandiri, dan berkomitmen pada keadilan. Sayangnya, hari ini kita masih melihat bagaimana sistem pendidikan lebih mendorong kompetisi individualistik daripada kolaborasi sosial. Banyak lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi gagal memahami persoalan bangsanya.
Untuk itu Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menekankan bahwa Hari Pendidikan Nasional tahun ini seharusnya tidak dilewatkan dengan rutinitas seremoni belaka. Melainkan momentum untuk menggugah kesadaran kolektif bahwa pendidikan adalah hak, bukan kemewahan. Pendidikan adalah kunci dari semua perubahan—dan jika kuncinya rusak, maka pintu kemajuan bangsa pun takkan terbuka.
“Karena ketika anak-anak Indonesia masih harus memilih antara sekolah atau bekerja, ketika guru masih harus berjuang demi gaji yang layak, dan ketika kampus-kampus masih menjadi tempat represi terhadap kebebasan berpikir—maka sesungguhnya, kita masih jauh dari merdeka,” pungkasnya.