PARLEMEN

Mardani Sedih Marak Mafia Tanah Incar Lansia Seperti Mbah Tupon, Harus Ada Political Will Negara Bela Rakyat

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera mengaku sedih dengan kasus alih hak tanah tanpa sepengetahuan pemilik seperti yang menimpa Mbah Tupon (68), seorang lansia warga Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ia mengatakan kasus Mbah Tupon ini menjadi bukti nyata masih lemahnya perlindungan negara terhadap hak kepemilikan tanah rakyat kecil.

“Sedih sekali melihat kasus Mbah Tupon dan bisa jadi sebenarnya banyak Mbah Tupon-Mbah Tupon lain saat ini yang juga sedang berjuang melawan mafia tanah,” kata Mardani Ali Sera, Rabu (30/4/2025).

“Kasus Mbah Tupon ini bukanlah sekadar peristiwa personal, tapi menjadi potret sistemik dari maraknya praktik mafia tanah yang menargetkan rakyat kecil, utamanya para lansia dan warga desa yang memiliki keterbatasan akses informasi hukum dan teknologi,” lanjutnya.

Seperti diketahui, kisah pedih Mbah Tupon tengah menjadi perhatian publik. Mbah Tupon yang merupakan warga Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, diduga menjadi korban mafia tanah. Tanah seluas 1.655 meter persegi miliknya, beserta rumahnya dan rumah sang anak terancam disita bank.

Mbah Tupon yang tak bisa baca tulis menduga kelemahannya ini dimanfaatkan menjadi celah para mafia tanah beraksi. Tanah seluas 1.655 meter persegi beserta dua rumah miliknya secara misterius telah beralih hak dan berganti nama atas orang lain, tanpa sepengetahuan dan persetujuan pemilik sah.

Kasus ini berawal saat lahan Mbah Tupon seluas 2.100 meter persegi hendak dijual sebagian. Ia kemudian menjual tanahnya seluas 298 meter persegi. Namun, karena tak punya akses jalan, Mbah Tupon kemudian memberikan tanah seluas 90 meter persegi.

Mbah Tupon juga memberikan tanahnya seluas 54 meter persegi untuk dibangun sebagai gudang RT. Pembeli sebagian tanah Mbah Tupon lalu menawarkan untuk memecah sertifikat sisa tanah Mbah Tupon seluas 1.655 meter persegi sesuai dengan nama ketiga anaknya.

Dalam proses itu, Mbah Tupon diketahui menandatangani dokumen terkait pecah tanah tanpa ada pembacaan isi dokumen dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang direkomendasikan oleh pembeli tanahnya tersebut. Karena tak ada proses membacakan dokumen, Mbah Tupon yang buta huruf tak mengerti apa yang dia tanda tangani.

Berbulan-bulan tak ada kejelasan, Mbah Tupon dan keluarganya kaget saat petugas bank datang pada Maret 2024 dan mengatakan tanah yang sedianya hendak dipecah sertifikat itu justru menjadi agunan bank senilai Rp 1,5 miliar. Mbah Tupon juga baru mengetahui dari pihak bank bahwa sertifikat tanahnya kini atas nama Indah Fatmawati yang sama sekali tak ia kenal.

Aset warisan Mbah Tupon tersebut dijadikan agunan oleh pihak yang mengklaim sebagai pemilik baru untuk mendapatkan pinjaman dari bank, dan tak pernah membayarkan utangnya. Akibat gagal bayar, bank bersiap melelang tanah dan rumah Mbah Tupon.

Melihat kasus yang menimpa Mbah Tupon, Mardani menegaskan perlu ada political will dari negara, khususnya stakeholder terkait, untuk memastikan keadilan bagi Mbah Tupon.

“Perlu ada political will dari negara dalam membela rakyat, terutama dari Pemerintah dan instansi yang mengurus persoalan ini. Sudah bukan rahasia lagi masalah mafia tanah yang kejahatannya terstruktur sangat merajalela dan menyulitkan masyarakat,” tutur Legislator dari Dapil Jakarta I itu.

Usai kasus ini viral di media sosial, Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Negara (BPN) DIY akhirnya memblokir sertifikat tanah milik Mbah Tupon yang tiba-tiba berganti nama Indah Fatmawati itu. Saat ini status sertifikat tersebut sudah status quo.

Mbah Tupon pun mendapat bantuan pendampingan hukum dari Pemkab Bantul. Tak hanya itu, Pemkab Bantul disebut akan menghentikan proses lelang aset milik Mbah Tupon yang diduga jadi korban mafia tanah. Sementara Polda DIY juga tengah mengusut kasus dugaan penipuan dan penggelapan tanah yang menimpa Mbah Tupon.

Mardani mengapresiasi berbagai upaya bantuan yang diberikan kepada Mbah Tupon.

“Political will dalam membela rakyat seperti ini kita harapkan selalu ada tanpa menunggu kasus viral. Dan komitmen dari pemerintah daerah untuk membantu Mbah Tupon harus dilakukan hingga akhir,” ungkap Mardani.

Di sisi lain, Mardani menilai kasus Mbah Tupon menunjukkan masih ada celah dalam proses administrasi pertanahan di Indonesia mengingat Mbah Tupon sampai tidak mengetahui bahwa sertifikat tanah miliknya telah berganti menjadi Indah Fatmawati.

“Mestinya semua proses administrasi pertanahan bisa berjalan dengan prinsip menjaga keamanan hak milik masyarakat. Jadi harus diinvestigasi secara detail semua prosesnya, termasuk kronologi jual beli,” ucapnya.

“Perlu tetap dilakukan proses verifikasi secara seksama dan menyeluruh dalam setiap proses pemindahan hak tanah yang selama ini terjadi. Proses ini untuk melindungi para pemilik tanah, khususnya para pemilik tanah yang lemah secara hukum,” lanjut Mardani.

Mardani menyebut, kisah Mbah Tupon memperlihatkan bahwa fenomena mafia tanah sudah lama menjadi borok dalam sistem pertanahan Indonesia yang harus segera diatasi. Modus yang dilancarkan pun beragam dari pemalsuan dokumen, rekayasa waris, hingga manipulasi data di kantor pertanahan.

Karena itu, Mardani mendorong pemerintah untuk lebih proaktif melindungi masyarakat, khususnya mereka yang berada dalam posisi rentan, agar tidak menjadi korban manipulasi hukum dalam kepemilikan tanah.

“Pemerintah daerah dan pusat harus menjamin bahwa hak milik yang sah tidak bisa begitu saja digeser oleh tipu daya dokumen,” sebutnya.

Mardani mengatakan, hal ini menjadi pekerjaan rumah untuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang merupakan mitra Komisi II DPR, untuk mengembalikan hak atas tanah Mbah Tupon. Kementerian ATR/BPN disebut harus memfasilitasi selama proses pengusutan kasus ini.

“Segera diberi keputusan berkekuatan hukum tetap bagi Mbah Tupon jika semua bukti memang menguatkan Mbah Tupon,” ujar Mardani.

“Usut tuntas, termasuk investigasi secara menyeluruh dan tegakkan hukum demi keadilan bagi Mbah Tupon,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Mardani mengatakan negara tak boleh lambat atau abai dalam melindungi rakyat kecil dari perampasan tanah yang sistematis. Apalagi berbagai instrumen hukum telah tersedia seperti Undang-Undang Pokok Agraria, sistem pendaftaran tanah elektronik, hingga reformasi birokrasi pertanahan.

“Negara perlu menyisir ulang ribuan kasus serupa dan memastikan bahwa mafia tanah tidak memiliki ruang untuk bergerak bebas melalui celah hukum. Negara tidak boleh kalah dari mafia tanah,” tutup Mardani.

Recent Posts

Bakamla Gelar Operasi Gabungan Pengawasan Orang Asing di Teluk Jakarta

MONITOR, Jakarta - Bakamla RI melalui unsur Catamaran 405 melaksanakan Operasi Gabungan Pengawasan Orang Asing…

1 jam yang lalu

Catat Kinerja Solid di Kuartal I Tahun 2025, Laba Bersih Jasa Marga Meroket 49,48 Persen

MONITOR, Jakarta - PT Jasa Marga (Persero) Tbk. (Perseroan) mencatatkan awal tahun yang impresifdengan kinerja keuangan yang solid dan pertumbuhan laba bersih yang signifikan. Corporate Secretary & ChiefAdministration Officer Jasa Marga Ari Wibowo mengatakan, Perseroan sukses membukukan Laba Bersih di Kuartal I Tahun 2025 sebesar Rp927,49…

2 jam yang lalu

Soroti Siswa Bermasalah Dikirim ke Barak Militer, Bonnie: Tak Semua Problem Harus Diselesaikan Tentara

MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana menyoroti soal rencana pengiriman siswa…

3 jam yang lalu

Menteri Agus Minta Jajaran Perkuat Program Akselerasi Pemasyarakatan

MONITOR, Jakarta - Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas), Agus Andrianto, meminta seluruh jajaran Pemasyarakatan perkuat…

4 jam yang lalu

Gedung Jampidsus Diresmikan, Hutama Karya Hadirkan Bangunan Berkonsep Berkelanjutan

MONITOR, Jakarta - Jaksa Agung Republik Indonesia (RI), ST Burhanuddin, meresmikan Gedung Jaksa Agung Muda…

5 jam yang lalu

Sen Kanan Belok Kiri, Benarkah Pengemudi Perempuan Lebih Rawan Mengalami Kecelakaan?

MONITOR, Jakarta - Masyarakat sering melempar guyonan seperti “sen kiri belok kanan” sebagai sindiran terhadap…

5 jam yang lalu