MONITOR, Yogyakarta – Kementerian Pertanian memperkuat strategi hilirisasi sarang burung walet (SBW) nasional sebagai upaya meningkatkan nilai tambah dan meningkatkan daya saing global.
SBW merupakan salah satu produk binaan utama Kementerian Pertanian yang kini tengah diarahkan untuk memberikan nilai tambah lebih besar melalui diversifikasi produk olahan.
Langkah ini ditegaskan dalam Lokakarya Nasional Peternakan Burung Walet yang digelar di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat, 26 April 2025. Acara ini dihadiri jajaran Kementerian Pertanian, Badan Karantina Indonesia, akademisi, dan pelaku usaha.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Agung Suganda, mengatakan Indonesia, yang menyuplai lebih dari 75 persen kebutuhan sarang burung walet dunia, harus memperkuat pengelolaan dari hulu hingga hilir.
“Sarang walet adalah komoditas unggulan binaan Kementan. Indonesia perlu meningkatkan ekspor tidak hanya SBW bersih saja namun juga produk olahan hasil hilirisasi . Hilirisasi adalah keharusan untuk memperkuat ketahanan pasar dan meningkatkan kesejahteraan peternak,” kata Agung.
Sebagai bagian dari upaya ini, Kementerian Pertanian tengah menyusun revisi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2020 tentang pengaturan Sarang Burung Walet. Revisi tersebut akan mengatur lebih rinci seluruh rantai pasok SBW, mulai dari budidaya di rumah walet, pencucian, pengolahan, penjaminan keamanan dan mutu sbw hingga pengaturan ekspor SBW.
“Regulasi ini akan menjadi payung untuk memperkuat pengembangan SBW nasional secara menyeluruh,” ujar Agung.
Selain itu, Agung menyebut Kementan saat ini sedang melakukan pembahasan perubahan protokol ekspor sarang burung walet dengan General Administration of Customs China (GACC). Upaya ini merupakan bagian dari strategi pemerintah mendorong perdagangan timbal balik (resiprokal) yang seimbang dengan Tiongkok.
“Perubahan protokol ini sangat strategis untuk membuka lebih banyak peluang bagi produk SBW Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan data 2024, volume ekspor SBW ke Tiongkok turun 12,7 persen, sementara harga ekspor anjlok hingga 30 persen dalam empat tahun terakhir. Sebaliknya, pasar di Makau, Australia, dan Amerika Serikat mencatat harga jual lebih tinggi, masing-masing US$ 968, US$ 928, dan US$ 703 per kilogram.
Dekan Fakultas Peternakan UGM, Budi Guntoro, menyoroti pentingnya kolaborasi semua pihak untuk memperkuat industri walet nasional. “Indonesia adalah produsen SBW terbesar dunia, tapi konsumsi dalam negeri masih rendah. Dunia kampus harus lebih aktif mendukung pengembangan penelitian khasiat dan hilirisasi walet,” kata Budi. Ia menekankan perlunya riset dari aspek budidaya, teknologi, sanitasi, nilai gizi, hingga pengolahan.
Kepala Badan Karantina Indonesia (BKI), Sahat Manaor Panggabean, mengatakan pihaknya berkomitmen mendukung hilirisasi.
“Arahan Presiden jelas: kita perkuat hilirisasi. Saat ini ada 51 perusahaan pengolahan dengan kapasitas 700 ton, tapi realisasi ekspor baru 60 persen. Potensi ini harus kita dorong,” kata Sahat.
Ia juga mengingatkan pentingnya legalitas rumah walet. Dari sekitar 100 ribu rumah walet di Indonesia, baru 3 persen yang terdaftar resmi.
“Legalitas penting untuk memperkuat ekspor. Ini memerlukan peran aktif pemerintah daerah,” ujarnya.
Melalui kerjasama pemerintah pusat, daerah, akademisi, dan pelaku usaha, pemerintah berharap dapat mempercepat hilirisasi SBW sekaligus memperkuat posisi Indonesia di pasar dunia serta meningkatkan kesejahteraan peternak lokal.