MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Abdullah menanggapi temuan uang tunai sebesar Rp 5,5 miliar di bawah kasur milik hakim Ali Muhtarom di Jepara, Jawa Tengah. Uang itu ditemukan Kejaksaan Agung (Kejagung) saat menggeledah rumah Ali terkait kasus vonis lepas kasus pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng
Menurut Abdullah, penemuan uang tunai dalam bentuk 3.600 lembar uang kertas pecahan 100 dolar AS di kolong kasur milik hakim Ali telah mengguncang kepercayaan publik terhadap integritas lembaga peradilan di Indonesia. Ali sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka suap dan disebut menerima uang sekitar Rp 5 miliar.
“Kasus ini tidak hanya menyoroti perilaku individu, tetapi juga mengungkap kelemahan sistemik dalam pengawasan dan penegakan hukum di tubuh peradilan. Ini cermin buram wajah peradilan Indonesia,” kata Abdullah, Jumat, (25/4/2025).
Dilaporkan, Ali Muhtarom yang sebelumnya menjabat sebagai hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memiliki total harta kekayaan sebesar Rp1,3 miliar. Ali merupakan salah satu dari delapan tersangka skandal suap vonis lepas terhadap terdakwa korporasi dalam kasus korupsi ekspor bahan baku minyak goreng.
Berdasarkan informasi, Ali disebut menerima uang suap bersama Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta (MAN), yang kala itu menjabat Wakil Ketua PN Jakpus. Arif telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan jaksa.
Kejagung diketahui menyita uang senilai Rp 5,5 M saat melakukan penggeledahan di rumah Ali di wilayah Jepara, Jawa Tengah, pada Minggu, (13/4) lalu. Uang itu terdiri atas 36 gepok pecahan USD 100 atau dolar Amerika.
Abdullah menilai, jumlah uang tunai yang ditemukan di kediaman Ali tentu menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi dan akuntabilitas pejabat publik sebab ribuan lembar uang dolar itu jauh melebihi kekayaan yang dilaporkan.
“Tentu kasus ini mencerminkan krisis etika dan moral di kalangan penegak hukum,” tuturnya.
Selain itu, Abdullah menilai kasus ini juga sudah pasti mengurangi kepercayaan rakyat terhadap lembaga peradilan.
“Ketika hakim yang seharusnya menjadi penjaga keadilan terlibat dalam praktik korupsi, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum akan runtuh,” ungkap Abdullah.
Untuk itu, Abdullah menilai diperlukan reformasi menyeluruh dalam sistem rekrutmen dan pengawasan hakim, serta evaluasi besar-besaran di tubuh peradilan Indonesia.
“Termasuk seleksi yang ketat, pelatihan etika, dan pengawasan berkelanjutan harus menjadi prioritas untuk mencegah terulangnya kasus serupa,” sebut Legislator dari Dapil Jawa Tengah VI itu.
Meski Mahkamah Agung (MA) telah mengambil langkah dengan memberhentikan sementara Ali Muhtarom dan membentuk satuan tugas khusus untuk menyelidiki kasus ini lebih lanjut, Abdullah menyebut tindakan MA harus diikuti dengan langkah-langkah konkret lainnya.
“Seperti penguatan sistem pelaporan kekayaan pejabat dan peningkatan transparansi dalam proses peradilan,” jelas Abdullah.
Anggota DPR yang duduk di Komisi bidang Hukum ini pun meminta agar kasus suap vonis lepas tersebut dijadikan sebagai momentum bagi masyarakat sipil dan media untuk terus mengawasi dan menuntut akuntabilitas dari lembaga peradilan. Hanya dengan tekanan dan partisipasi aktif dari publik, kata Abdullah, peradilan yang sejati akan dapat terwujud.
“Sebagai negara hukum, Indonesia harus memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu,” tegasnya.
“Dan kasus ini adalah peringatan keras bahwa tanpa integritas di lembaga peradilan, keadilan hanya akan menjadi ilusi,” tutup Abdullah.