MONITOR, Depok – Kementerian Agama (Kemenag) RI melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam terus memacu percepatan penyusunan regulasi untuk Ma’had Aly Marhalah II (M2) dan Marhalah III (M3). Langkah ini diambil untuk memastikan pendidikan tinggi pesantren dapat bersaing secara global dan mencetak generasi ulama yang siap menghadapi tantangan zaman.
Rapat koordinasi yang digelar di Depok pada 15–17 April 2025 ini melibatkan Majelis Masyayikh, asosiasi Ma’had Aly, serta pejabat Kementerian Agama untuk merumuskan standar regulasi yang lebih mendalam terkait pengelolaan Ma’had Aly M2 dan M3.
Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam, Arskal Salim, membuka rapat dengan menegaskan bahwa Ma’had Aly telah memberikan kontribusi besar terhadap pembentukan ulama intelektual di Indonesia. Menurut Arskal, saatnya pendidikan Ma’had Aly melangkah lebih jauh, terutama dalam pengembangan program M2 dan M3.
“Tahun 2016 Kemenag resmi menerbitkan SK untuk 13 Ma’had Aly, tahun 2017 menerbitkan SK untuk 14 Ma’had Aly. Saat ini sudah ada total 91 Ma’had Aly,”
“Pendidikan Ma’had Aly harus mengarah pada penguasaan ‘ilmu sumber’, yang menjadi jati diri utama. Kami ingin lulusan Ma’had Aly bukan hanya menjadi ahli kitab, tetapi ulama yang mampu mengkontekstualisasikan ilmu dalam menghadapi dinamika zaman,” ujar Arskal.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, Arskal mengusulkan pembaruan dalam sistem gelar bagi Ma’had Aly.
“Gelar di Ma’had Aly perlu memiliki kekhasan, namun tetap sejalan dengan Sistem Pendidikan Nasional. Kita ingin gelar yang merefleksikan kualitas, bukan sekadar formalitas,” jelasnya, seraya menambahkan bahwa Ma’had Aly harus siap beradaptasi dengan perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), yang kini mulai merambah dunia pendidikan.
Arskal menekankan bahwa penguasaan bahasa asing juga akan menjadi kunci untuk memperluas wawasan dan jaringan intelektual para santri.
“Ma’had Aly harus mempersiapkan para mahasantri dengan keterampilan bahasa asing yang mumpuni, agar mereka dapat berkontribusi secara global,” lanjutnya.
Direktur Pesantren, Basnang Said, memaparkan kontribusi nyata alumni Ma’had Aly dalam berbagai sektor.
“Lulusan Ma’had Aly telah mewarnai dunia kerja, mulai dari penyuluh agama, pengajar, hingga pegiat sosial keagamaan. Mereka memiliki kompetensi yang khas dan dibutuhkan,” ujarnya.
Ma’had Aly didorong untuk terus berkembang, terutama dalam mencetak generasi ulama yang bukan hanya berkualitas secara akademik, tetapi juga aktif dalam kehidupan sosial dan keagamaan,” ujar Basnang.
Basnang juga mencatatkan bahwa dari 91 Ma’had Aly yang ada, 15 di antaranya sudah mendapatkan rekomendasi dari Majelis Masyayikh, yang menunjukkan adanya proses verifikasi ketat. Ia berharap ke depan, akan ada lebih banyak Ma’had Aly yang bisa mandiri dalam mengelola keuangan dan operasionalnya, tanpa tergantung pada subsidi negara.
“Kami berharap Ma’had Aly dapat membangun organisasi yang lebih aktif, seperti BEM di perguruan tinggi. Ini penting untuk mengembangkan sisi kepemimpinan dan pergerakan intelektual santri, agar mereka siap menghadapi tantangan besar di masa depan,” tambahnya.
Kasubdit Pendidikan Ma’had Aly, Mahrus, menekankan bahwa penyusunan regulasi M2 dan M3 harus mempertimbangkan substansi keilmuan yang lebih mendalam. Menurut Mahrus, keberadaan M2 dan M3 harus menjadi loncatan kualitas, bukan sekadar kelanjutan dari jenjang M1.
“Jika M1 adalah program dasar, maka M2 dan M3 harus jauh lebih spesifik dan menantang. Tidak bisa hanya menambah jilid kitab atau mengganti dosen tanpa pembaruan substantif. Kami ingin Ma’had Aly menjadi pusat keilmuan yang bukan hanya menghafal teks, tetapi menguasai metodologi ilmiah dan bisa memberikan kontribusi nyata dalam peradaban,” tegas Mahrus.
Ia juga mengungkapkan bahwa pihaknya sedang mengkaji kemungkinan memperluas jaringan Ma’had Aly ke luar negeri, seperti ke Spanyol dan Uzbekistan, yang kaya dengan tradisi keilmuan Islam. “Ini adalah langkah strategis untuk memperluas wawasan akademik dan memperkuat jaringan internasional Ma’had Aly,” tambah Mahrus.
Ketua Majelis Masyayikh, Abdul Ghaffar Rozin, memberikan pandangan kritis terhadap pengembangan Ma’had Aly, terutama terkait dengan kesiapan kelembagaan dan regulasi. Ia menekankan pentingnya memastikan bahwa Ma’had Aly tidak hanya berkembang dalam jumlah, tetapi juga kualitas.
“Jumlah Ma’had Aly yang banyak tidak menjamin kualitasnya. Oleh karena itu, M2 dan M3 harus dibangun dengan standar yang lebih ketat,” ujar Gus Rozin.
Lebih lanjut, Gus Rozin mengingatkan bahwa regulasi M2 dan M3 harus memperhatikan keberlanjutan dan relevansi dengan standar nasional.
“M2 dan M3 bukan untuk semua orang. Ini adalah jenjang yang lebih sulit dan spesifik. Kami ingin M2 dan M3 menjadi wadah bagi mereka yang benar-benar ingin mendalami ilmu secara mendalam dan memiliki potensi untuk menjadi ulama besar,” tegasnya.
Menurut Gus Rozin, konsep M2 dan M3 harus berbeda dengan M1 dalam hal kedalaman ilmu dan kemampuan para pengajarnya.
“Kami ingin para dosen di M2 dan M3 memiliki kompetensi yang memadai, bahkan jika perlu setara dengan gelar doktor,” tambahnya.
Rapat ini diharapkan dapat menghasilkan draf regulasi yang lebih kuat, yang tidak hanya menjadi acuan administratif tetapi juga sebagai landasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Ma’had Aly di Indonesia. Kementerian Agama menargetkan agar regulasi ini dapat segera diterapkan guna memperkuat peran Ma’had Aly dalam mencetak generasi ulama yang mampu berkontribusi dalam percakapan global.