Minggu, 13 April, 2025

DPR Minta RSHS Di-banned Buntut Kasus Kekerasan Seksual Dokter, Ini Bukan Hanya Ulah Oknum!

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina mengecam keras tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter residen anastesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjajaran (Unpad), Priguna Anugerah terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat. Menurutnya, kasus ini tidak bisa lagi dikatakan sebagai ulah oknum namun juga melibatkan peran berbagai stakeholder.

“Jika boleh dikatakan, ini bukan hanya ulah oknum tapi semua ikut berperan. Baik institusi, rumah sakit, security, keamanan. Karena kita bicara bahwa ketika orang tua dalam kondisi kritis kita kan berharap dengan dokter, kemudian dia praktik di rumah sakit besar yang kredibilitasnya sudah diakui,” kata Arzeti Bilbina, Kamis (10/4/2025).

“Jadi ada kenyamanan kita mengantarkan orang tua kita, kita berharap akan tersembuhkan, tapi kok malah terjadi pemerkosaan,” lanjutnya.

Seperti diketahui, Priguna Anugerah Pratama (31) memerkosa anggota keluarga pasien di RSHS Bandung di mana korban merupakan perempuan berusia 21 tahun. Peristiwa itu terjadi di Gedung MCHC Lantai 7 RSHS, pada Maret 2025. Aksi pelaku tak terawasi karena lantai 7 gedung MCHC RSHS masih baru dibangun, dan belum dioperasikan.

- Advertisement -

Kala itu, pelaku yang sedang mendapatkan tugas jaga malam mendatangi korban pada pukul 01.00 WIB dan menyampaikan kepada korban perihal kebutuhan untuk mengambil darah guna keperluan medis orang tuanya yang sedang kritis. Priguna malah membius korban lalu memerkosanya.

“Sangat mengerikan kondisi seperti ini. Kasus harus segera diselesaikan, karena ini permasalahan yang sangat menakutkan dalam kondisi kita sangat berharap perlindungan dokter,” tutur Arzeti.

Pelaku kini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan terancam hukuman 12 tahun penjara. Priguna juga sudah dikeluarkan dari PPDS Unpad dan tengah diproses untuk dicabut izin praktik dokternya.

Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestasiologi dan Terapi Intensif di RSHS Bandung juga diberhentikan sementara akibat kejadian tersebut. Arzeti pun menuntut pertanggungjawaban RSHS Bandung.

“Dan Rumah Sakit harus di-banned (diblokir) juga, didenda! Jangan mentang-mentang mereka punya cara. Kita juga harus mengawal agar mereka punya rasa secure kepada pasien,” tegasnya.

Lebih lanjut, Arzeti menyinggung peran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi dokter. Ia meminta IDI tak hanya mengutuk tapi juga membuat mekanisme pengawasan etik yang lebih tegas. “Termasuk menyediakan platform pengaduan khusus bagi pasien atau keluarga, dan memastikan adanya sanksi pencabutan izin praktik secara permanen bagi pelaku kejahatan seksual,” sebut Arzeti.

Arzeti meminta pengusutan kasus dilakukan secara mendetail dan komprehensif. “Ada dugaan kan sebelumnya sudah terjadi juga. Kita minta penegak hukum melakukan penelusuran secara mendalam demi memastikan ada tidaknya lagi korban lain,” ungkapnya.

Dikutip dari berbagai pemberitaan, pihak kepolisian telah menyebut adanya dugaan pelaku juga melakukan kekerasan seksual terhadap dua orang lainnya. Polisi mengatakan, dua korban tersebut merupakan pasien.

“Penegak hukum harus memastikan semua pelanggaran yang dilakukan pelaku dapat terkuak. Ini demi keadilan bagi para korban,” tambah Arzeti.

Menurut anggota Komisi Kesehatan DPR ini, kasus kekerasan seksual dokter di rumah sakit tersebut bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap etika profesi dan relasi kepercayaan antara dokter dan pasien. Arzeti meminta institusi pendidikan kedokteran dan rumah sakit untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem seleksi dan pelatihan PPDS. “Penilaian terhadap calon dokter spesialis tidak boleh hanya berdasarkan kemampuan akademik dan teknis medis, tetapi juga aspek kepribadian, psikososial, dan rekam jejak etik,” ujar Legislator dari Dapil Jawa Timur I tersebut.

“Jika seorang calon dokter spesialis bisa menyalahgunakan posisi dan ruang kerjanya untuk kejahatan sekeji itu, maka ada yang keliru dalam sistem pendidikan kedokteran,” imbuh Arzeti.

Arzeti menilai, kasus ini harus menjadi momentum bagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi untuk menerbitkan regulasi baru atau revisi kebijakan terkait pengawasan PPDS.

“Kami mendorong adanya audit mendalam terhadap semua rumah sakit pendidikan. Kemenkes juga perlu membentuk tim inspeksi mendadak yang menyelidiki praktik-praktik rawan kekerasan seksual di lingkungan rumah sakit pendidikan,” ucapnya.

Kasus ini, menurut Arzeti, juga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk Kementerian Pendidikan Tinggi Sains Teknologi (Kemdiktisaintek) dalam hal menyeleksi calon dokter yang masuk ke fakultas kedokteran, terutama terkait unsur psikologi.

“Jangan lagi terjadi seperti itu. IDI harus bisa berperan lebih, dan Kemenkes serta Kementerian Pendidikan, bersatu padu semuanya harus bisa menindak tegas. Rumah Sakit, keamanan, pihak medis, tenaga kesehatan, semuanya harus bersama memastikan program pendidikan kedokteran berjalan dengan baik,” papar Arzeti.

Di sisi lain, Arzeti menekankan pentingnya perlindungan bagi para korban. Ia mendorong agar korban kekerasan seksual untuk menceritakan apa yang dialaminya dengan pendampingan psikologi dan pendampingan hukum dari negara.

Secara khusus, Arzeti menyebut negara harus menjadi garda terdepan dalam melindungi perempuan. Mengingat kasus kekerasan seksual kerap dialami oleh perempuan, termasuk pada kasus ini. “Jangan sampai di dalam public area saja, keamanan perempuan tidak kuat untuk dilindungi,” jelasnya.

Arzeti pun meminta penegak hukum dan instansi Pemerintah terkait untuk transparan dan akuntabel dalam menindaklanjuti kasus kekerasan seksual yang melibatkan dokter tersebut. “Pemerintah harus tegas terhadap tenaga medis yang melakukan tindakan yang sangat memalukan, terutama terhadap perempuan karena perempuan harus terlindungi,” tutup Arzeti.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER