MONITOR, Jakarta – Inisiasi DPR RI melalui Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) terkait isu krisis kemanusiaan di Myanmar dalam forum global mendapat apresiasi. DPR menyerukan kecaman terhadap kekerasan yang dilakukan junta militer Myanmar terhadap warga sipil dalam Sidang Umum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-150 yang baru-baru ini digelar di Uzbekistan.
“Inisiasi DPR ini tentu saja patut diapresiasi karena bagaimanapun juga tekanan terhadap pemerintah Junta Myanmar harus tetap dilakukan,” kata Pengamat Hubungan Internasional, Anton Aliabbas, Selasa (8/4/2025).
“Apalagi, pemerintah Myanmar seakan bebal dan tidak peduli bagaimana keselamatan warganya akibat bencana gempa bumi,” lanjut pengajar di Universitas Paramadina itu.
Dalam Sidang IPU yang merupakan forum parlemen internasional tersebut, BKSAP DPR mendesak junta militer Myanmar untuk segera menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap warga sipil, terutama pasca gempa bumi berkekuatan 7,7 Skala Richter yang mengguncang negara tersebut.
Delegasi DPR RI bersama-sama dengan parlemen Thailand, Laos, Filipina dan Malaysia juga menginisiasi resolusi darurat (emergency item) berjudul ‘Parliamentary diplomacy to promote peace and address the humanitarian crisis in Myanmar’.
Usulan resolusi darurat tersebut kemudian mendapatkan dukungan lebih luas di grup geopolitik Asia Pasifik, dengan bergabungnya Kanada sebagai co-sponsor.
Agar momentum dapat terjaga, menurut Anton, inisiasi DPR RI ini harus juga disuarakan dalam forum AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly) atau pertemuan antar parlemen ASEAN.
Tercatat, ada beberapa kegiatan AIPA yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Seperti 4th Meeting of the Coordinating Committee of Women Parliamentarians of AIPA (WAIPA) dan 14th ASEAN-AIPA Leaders’ Interface during the 46th ASEAN Summit yang akan digelar di Malaysia.
“Forum-forum AIPA sudah semestinya juga dimanfaatkan DPR untuk membuat terobosan dan inisiasi serupa,” jelas Anton.
Selain itu, Anton menilai DPR perlu juga memaksimalkan lobi terhadap negara-negara sahabat di ASEAN, misalnya lewat parlemen Thailand dan Malaysia yang diketahui merupakan investor terbesar pertama dan ketiga di Myanmar.
“Dengan kata lain, tekanan tidak hanya muncul dalam forum parlemen, tetapi juga disebarkan pada berbagai pihak terkait,” tutur Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) tersebut.
“Dengan begitu, harapannya, tekanan terhadap pemerintah Junta tidak hanya dilakukan oleh parlemen, tetapi juga berbagai pihak yang berkepentingan terhadap Myanmar,” imbuh Anton.
Sebelumnya, DPR RI menyampaikan kecaman terhadap kekerasan yang dilakukan junta militer Myanmar terhadap warga sipil. Khususnya kekerasan yang masih dilakukan usai gempa bumi berkekuatan 7,7 Skala Richter yang mengguncang Myanmar beberapa waktu lalu.
Kecaman itu disampaikan delegasi DPR RI dalam Sidang Umum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-150 yang digelar di Uzbekistan.
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri yang mengikuti Sidang IPU ke-150 menyebut, DPR menyuarakan kecaman terhadap kekerasan yang dilakukan junta militer Myanmar dalam rapat grup geopolitik ASEAN+3. Agenda ini mengawali sidang Umum ke-150 yang berlangsung di Tashkent, Uzbekistan, pada 5-9 April 2025.
Irine menyuarakan keprihatinan mendalam atas situasi kemanusiaan yang memburuk dan menginisiasi pengajuan resolusi darurat bersama sejumlah parlemen negara ASEAN.
“Kami mendesak junta militer Myanmar untuk segera menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap warga sipil, terlebih di saat masyarakat sedang berusaha bertahan dari dampak gempa,” tegas Irine, Senin (7/4).
“Oleh karena itu, DPR RI mengajak parlemen negara-negara ASEAN yang hadir dalam Sidang Umum ini, untuk mengajukan resolusi darurat terkait Myanmar,” lanjut Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu.
Pada forum parlemen dunia ini, delegasi DPR RI bersama-sama dengan parlemen Thailand, Laos, Filipina dan Malaysia juga menginisiasi resolusi darurat (emergency item) terkait krisis kemanusiaan di Myanmar.
Irine pun menekankan pentingnya peran parlemen dalam memperkuat diplomasi kemanusiaan. Legislator asal Maluku Utara tersebut menegaskan tindakan represif tidak boleh dilakukan.
“Aksi represif yang dilakukan oleh junta militer di Myanmar hanya akan memperburuk situasi dan menghambat upaya bantuan kemanusiaan bagi korban bencana,” ungkap Irine.