Minggu, 30 Maret, 2025

Dorongan DPR Agar Penghinaan Presiden Selesai Lewat Restorative Justice Jadi Cerminan Hukum Berkeadilan

MONITOR, Jakarta – Pembahasan mengenai pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dapat diselesaikan melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) dalam Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi salah satu poin yang menuai sorotan. Pasal itu merupakan dorongan dari Komisi III DPR.

Adapun mekanisme RJ memungkinkan penyelesaian kasus di luar pengadilan melalui proses perdamaian antara pelaku dan korban, termasuk dalam pasal penghinaan terhadap presiden. Pendekatan ini dinilai sebagai upaya menyeimbangkan keadilan prosedural dengan keadilan substantif dalam sistem hukum Indonesia.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpandangan dorongan DPR soal mekanisme RJ dalam Rancangan KUHAP (RKUHAP) merupakan cerminan dari hukum berkeadilan. Dorongan DPR dinilai juga bisa menegakkan hak asasi manusia (HAM).

“Dari rancangan ketentuan-ketentuan hukum acara yang baru (RKUHAP), menjadi indikator bahwa hukum acara pidana yang akan datang dapat ditempatkan sebagai instrumen keseimbangan antara keadilan procedural di satu sisi dengan keadilan substantif di sisi yang lain,” kata Abdul Fickar Hadjar, Kamis (27/3/2025).

- Advertisement -

“Juga sebagai tujuan akhir penegakan hukum pidana guna menjaga dan menegakkan hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara yang adil dan demokratis,” imbuhnya.

Fickar mengatakan meskipun RKUHAP secara resmi tidak menyebutkan sistem hukum acara yang dianut berbasis system adversary, rancangan ketentuan dalam RKUHAP memperlihatkan adanya perubahan yang mengarah pada sistem peradilan yang lebih modern, transparan, dan berkeadilan.

Menurutnya, prinsip-prinsip keadilan, supremasi hukum, serta partisipasi publik menjadi landasan dalam berbagai pasal yang diusulkan.

Fickar juga menyoroti sejumlah ketentuan yang mengatur tentang hak-hak tersangka dalam proses penyelidikan dan penyidikan, termasuk kewajiban penyidik untuk memberitahukan hak atas bantuan hukum serta merekam jalannya pemeriksaan dengan kamera pengawas yang dapat digunakan sebagai alat bukti baik bagi jaksa maupun tersangka.

“Beberapa ketentuan RKUHAP menggambarkan progresivitas yang dilandasi beberapa prinsip dasar perundang-undangan yang modern. Prinsip keadilan, transparansi, supermasi hukum (rule of law) dan partisipasi public tergambarkan dalam beberapa ketentuannya, sehingga mengarah pada sistem peradilan pidana yang semakin adil dan demokratis,” paparnya.

Seperti diketahui, DPR sudah memutuskan RKUHAP sebagai RUU usul inisiatif Parlemen dalam Rapat Paripurna DPR ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 pada 18 Februari lalu.

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan, semua fraksi sudah sepakat bahwa pasal soal penghinaan presiden justru merupakan pasal yang paling penting untuk diselesaikan melalui Restorative Justice (keadilan restoratif) yang merupakan pendekatan penyelesaian tindak pidana dengan berfokus pada pemulihan dan rekonsiliasi.

Habiburokhman juga meralat kesalahan redaksi yang pada draf awal RKUHAP sempat mengecualikan pasal penghinaan presiden dari berbagai kasus yang bisa diselesaikan dengan mekanisme restorative justice.

Komisi III DPR menyatakan pasal penghinaan kepada presiden turut dalam kasus-kasus hukum yang bisa selesai dengan Restorative Justice. Habiburokhman pun memastikan ketentuan ini tidak akan berubah saat pembahasan dan pengesahan RKUHAP.

Kepada Pemerintah, DPR juga sudah mengirimkan draf yang di dalamnya sudah tidak lagi mencantumkan pasal penghinaan presiden sebagai pasal yang dikecualikan untuk diselesaikan dengan Restorative Justice.

Terkait hal ini, Abdul Fickar mengingatkan agar nantinya impelementasi penerapan Restorative Justice dalam RKUHAP bisa diterapkan secara adil dan memegang prinsip demokrasi.

“Perlu ada jaminan bahwa mekanisme Restorative Justice benar-benar diterapkan dengan adil dan tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi,” tutur Fickar.

Fickar pun mengingatkan agar penyusunan hukum acara pidana yang baru juga harus mampu menjaga keseimbangan antara kewenangan negara dalam menegakkan hukum dengan perlindungan hak-hak warga negara dalam menyampaikan pendapat.

“Dengan adanya prinsip keadilan, transparansi, dan supremasi hukum dalam RKUHAP, diharapkan sistem peradilan pidana Indonesia menjadi lebih adil, demokratis, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia,” sebutnya.

Selagi masih dalam proses pembahasan, Fickar pun berpandangan sebaiknya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dihilangkan dari RUU KUHAP.

“Sebab keduanya merupakan jabatan publik yang bisa diganti setiap lima tahun sekali,” ungkap Fickar.

Lebih lanjut, Fickar menilai penyelesaian perkara lewat Restorative Justice atau di luar peradilan tidak bisa menghentikan suara kritis dari masyarakat terhadap Pemerintah dalam rangka menjaga iklim demokrasi.

“Jadi sebaiknya dihapus karena itu bertentangan dengan semangat demokrasi, kecuali menghina pribadi orangnya,” imbau Fickar.

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan bahwa pidana terkait penghinaan presiden dan wakilnya bisa diselesaikan lewat keadilan restoratif dalam RKUHAP.

Mulanya pasal penghinaan martabat presiden dan wakil presiden tidak masuk dalam daftar tindak pidana yang dapat diselesaikan dalam Restorative Justice. Habiburokhman mengakui ada kesalahan redaksi dari draf yang ada sebelumnya.

Semua fraksi di DPR disebut sudah sepakat bahwa pasal soal penghinaan presiden justru merupakan pasal yang paling penting harus diselesaikan dengan RJ. Menurutnya, poin ini dipastikan tidak akan berubah saat pembahasan dan pengesahan

“Kami sudah mengirimkan ke Pemerintah draf yang di dalamnya sudah tidak lagi mencantumkan pasal penghinaan presiden sebagai pasal yang dikecualikan untuk diselesaikan dengan RJ,” ujar Habiburokhman, Senin (24/3).

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER