Jumat, 28 Februari, 2025

Sikat Mafia Migas, Selamatkan Pertamina


Oleh: Dadangsah Rawas*


Cerita ‘series’ mafia migas Indonesia kembali rilis, ditandai dengan pengusutan tata kelola pengadaan crude dan produk kilang oleh Kejaksaan Agung. Tak tanggung-tanggung, tiga sub holding PT Pertamina (Persero) serta sejumlah perusahaan rekanan, terseret dalam dugaan tindak kejahatan pidana korupsi yang merugikan negara Rp193,7 triliun.

Yang menarik adalah, salah satu tersangka dalam kasus ini yakni, Kerry Adrianto Riza, merupakan beneficial ownership PT Navigator Khatulistiwa yang menjadi rekanan subholding Pertamina dalam pengadaan impor crude dan produk kilang.

Kerry Adrianto Riza merupakan putra dari sang ‘maestro’ impor migas yaitu Riza Chalid. Riza Chalid bukan nama yang asing bagi publik Indonesia, terlebih pada kalangan elit politik dan kalangan trader migas. Namanya disebut disana-sini dalam berbagai kasus di Indonesia, mulai dari persoalan trading migas hingga kasus Papa Minta.

- Advertisement -

Yang paling diingat kasus Riza Chalid dalam persoalan migas yakni, skandal Pertamina Energy Trading Ltd (Petral). Sebagai wujud keseriusan memerangi mafia migas, Presiden terpilih saat itu, Joko Widodo membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas sebulan setelah ia dilantik, atau tepatnya pada November 2014.

Namun setelah satu dekade Joko Widodo memimpin Indonesia, tetap saja Riza Chalid dengan sindikatnya melakukan bisnis menggunakan cara-cara melawan hukum, hingga Kejaksaan Agung mencokok putra Riza Chalid atas dugaan tindak pidana tata kelola pengadaan crude dan produk kilang yang berlangsung periode 2018-2023.

Tentu gebrakan Kejaksaan Agung mestinya didukung dengan harapan bersih-bersih dan pembenahan tata kelola pertamina di bawah  rezim baru Presiden Prabowo Subianto. Jikalau dulu Presiden Joko Widodo melakukan gebrakan dengan membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas pasca sebulan ia dilantik, dan hasilnya belum optimal sebagaimana yang kita saksikan saat ini, namun pada rezim baru Presiden Prabowo saat ini, kita berharap kasus ini menjadi trigger untuk meninjau ulang tata kelola bisnis pertamina agar terintegrasi dari hulu hingga hilir sebagaimana UU No 8 Tahun 1971 dahulu.

Dengan pengembalian tata kelola Pertamina sebagaimana UU tersebut, diyakini proses usaha Pertamina akan jauh lebih efektif dan efisien serta berdampak secara keekonomian bagi masyarakat. Jauh dari pada itu, dengan pola integrasi bisnis sebagaimana UU Tahun 1971, tentu sistem deteksi tindak penyelewengan akan lebih cepat termonitor dibanding sistem tata kelola berbasis unbundling saat ini.

Lagipula, pengembalian tata kelola bisnis pertamina secara terintegrasi, selaras dengan political will Presiden Prabowo yang menempatkan Pertamina menjadi bagian dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Dengan tata kelola yang dijalankan secara terintegrasi, akan menjadikan Pertamina jauh lebih kuat dan besar. Artinya, dengan efektifitas bisnis dan efektifitas pengendalian kontrol dari tindak penyelewengan, valuasi pertamina akan meningkat, begitu pula reputasi pertamina akan semakin kuat, sehingga memberi dampak kualitas secara signifikan pada Danantara.

Reputasi Pertamina

Tidak bisa dipungkiri bahwasanya pengusutan kasus tata kelola pengadaan crude dan produk kilang oleh Kejaksaan Agung saat ini, kembali mencoreng reputasi Pertamina, baik di dalam negeri maupun di kancah internasional. Namun sebagai rakyat Indonesia yang notabene sebagai pemilik sejati perusahaan BUMN Pertamina, hal ini mesti dianggap sebagai pil pahit yang harus ditelan sebagai obat untuk membenahi Pertamina.

Artinya, rakyat tentu mendukung upaya penegak hukum untuk mengadili para pelaku kejahatan. Lebih dari itu, rakyat menuntut pemerintah dan manajemen Pertamina agar serius melakukan pembenahan.

Namun satu hal yang disayangkan dari peristiwa pengusutan kasus ini yakni terjadi mis informasi yang meresahkan rakyat sebagai konsumen atas isu blending maupun oplosan terhadap kualitas Research Octane Number (RON) Produk BBM Pertamina.

Agaknya tidak masuk akal kalau terjadi manipulasi kualitas RON yang dikonsumsi masyarakat melalui SPBU hingga tidak terdeteksi dalam jangka waktu sekian lama, lantaran terdapat sistem pengawasan berlapis dan berkala yang melibatkan berbagai lembaga. Sistem pengawasan ini bukan hanya pada SPBU corporate owned corporate operated (COCO) Pertamina, namun juga SPBU CODO, DODO dan brand lainnya seperti SPBU Shell, AKR, Vivo dan BP.

Adapun variabel yang diawasi cukup komprehensif, mulai dari kandungan, jenis, Octane, kesesuaian volume ukur liter hingga tata kelola dan sistem safety SPBU. Sehingga sulit dipercaya kalau hal ini tidak mengalami screening detection dini dengan sistem pengawasan yang ada pada SPBU.

Jika menelaah konstruksi hukum pengusutan kasus tata kelola pengadaan crude dan produk kilang yang dijelaskan oleh Kejaksaan Agung, yang menjadi persoalan adalah adanya cipta kondisi untuk melakukan impor dan menghindari ketentuan DMO crude.

Kemudian pada proses pengadaan, juga terjadi perbuatan melawan hukum, termasuk pembelian atau impor RON 90 kemudian diklaim dengan pembayaran RON 92 sehingga terdapat margin yang berpotensi diselewengkan. Adapun RON 90 yang dibeli sebelumnya, diolah kembali oleh subholding Pertamina pada depo atau storage untuk ditingkatkan octanenya menjadi RON 92.

Artinya, yang disalurkan ke SPBU, lalu dikonsumsi oleh masyarakat adalah RON 92, karena octanenya suda ditingkatkan melalui prodses produksi. Sehingga jelas dan terang benderang bawa kasus hukumnya bukan penipuan terhadap konsumen, tapi pada manipulasi jenis olahan kilang yang diimpor tidak sesuai spesifikasi atas pembelian.  

Tentu mis informasi ini sangat memungkinkan terjadi, karena tidak semua orang memahami keilmuan teknik kimia pada proses produksi BBM, jangankan publik secara umum, jurnalis hukum yang meliput di Kejaksaan Agung, belum tentu memahami teknis sektor energi. Bahkan termasuk pegawai Pertamina pun belum tentu memahami teknik produksi lantaran pastinya ada kompartemen atau scope of work tersendiri dalam perusahaan Pertamina.

Yang sangat disayangkan adalah, buruknya penanganan komunikasi krisis oleh Pertamina. Bukannya fokus untuk menyakinkan publik bahwa produk yang dibeli pada setiap SPBU telah dan tetap sesuai spek dengan berbagai garanti dan sistem pengawasan yang ada, komunikasi Pertamina justru malah terjebak pada diksi blending dan oplosan pada proses produksi.

Tentu penjelasan teknik produksi itu sulit untuk dipahami dan divalidasi oleh masyarakat umum. Yang ada malah, komunikasi terkesan membela para tersangka dan menyangkal temuan  Kejaksaan Agung atas manipulasi spesifikasi pembelian impor produk kilang yang selanjutnya produk tersebut diproses kembali pada depo untuk mencapai octane tertentu sesuai karakter jenis produk BBM Pertamina.

Dan lebih fatal, dengan penjelasan pada proses produksi, komunikasi Pertamina malah terkesan tidak menghormati proses hukum yang tengah ditangani penyidik. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap penanganan komunikasi Pertamina.

Menghindari Krisis Berlapis

Adanya krisis mis informasi kualitas RON 92 yang tengah dihadapi ini, diyakini tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan konsumsi produk BBM Pertamina, karena disadari fasilitas pengisian bahan bakar Pertamina melayani seluruh Indonesia hingga daerah terpencil, terluar dan terisolir (3T). Yang mana, Pertamina memiliki lebih dari 7 ribu SPBU dan lebih dari 6 ribu Pertashop.

Berbeda dengan SPBU Shell, AKR, Vivo maupun BP yang hanya berjumlah ratusan dan berada pada titik-titik kantong keekonomian strategis (wilayah-wilayah perkotaan) saja. Hal ini dapat dipahami bahwa, status Pertamina sebagai perusahaan BUMN, bukan hanya fokus pada profit semata, namun juga terdapat mandat tanggung jawab “penugasan” dari pemerintah untuk memastikan aksesibilitas masyarakat terhadap BBM. Sehingga dengan penugasan dari pemerintah tersebut, Pertamina turut menanggung setiap beban biaya untuk menjangkau wilayah 3T yang tidak masuk secara keekonomian bisnis.

Yang perlu dicermati, adanya mis informasi pada kualitas terhadap produk BBM Pertamina jenis RON 92, akan memicu kalangan masyarakat menengah ke atas untuk kembali migrasi kepada BBM Pertamina jenis RON 90 (Pertalite). Jikalau jenis Pertalite ini merupakan BBM subsidi, maka migrasi yang terjadi nantinya akan memberi beban kepada APBN, namun jika status Pertalite merupakan jenis BBM khusus penugasan, maka akan memberi beban pembiayaan oleh Pertamina atas selisih harga yang ditetapkan oleh pemerintah.

Tentu bagi publik, tidak ada bedanya antara menjadi beban bagi APBN maupun Pertamina. Yang pasti, dampak migrasi konsumen BBM kalangan menengah ke atas yakni, dari RON 92 ke RON 90 merupakan beban destruktif yang pada akhirnya berpotensi mengganggu stabilitas secara pembiayaan dan ketersedian produk.   Oleh karena itu, kami mengajak semua kalangan, terutama kalangan masyarakat menengah ke atas, untuk betul-betul menelaah dan menganalisa dengan saksama atas kegaduhan ini. Jangan sampai migrasi yang dilakukan ke BBM RON 90, malah memantik krisis baru dan merugikan masyarakat umum, terutama masyarakat menengah ke bawah.

*Pemerhati Energi dan Direktur Ruang Anak Muda

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER