Minggu, 23 Februari, 2025

PKD PMII Kota Tangerang, Ketua PW Fatayat NU Banten beberkan 3 Strategi Wujudkan Nahdlatun Nisa’

MONITOR, Tangerang – Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Fatayat NU Provinsi Banten Noni Menawati membawakan materi Nahdlatun Nisa’ (kebangkitan perempuan) pada acara Pelatihan Kades Dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKD PMII) Cabang Kota Tangerang, Sabtu 22/2/2025 di Pondok Pesantren Ar Rahman Sepatan Tangerang.

Menurut Noni, untuk mewujudkan cita-cita Nahdlatun Nisa’ (kebangkitan perempuan) kader PMII harus melakukan tiga hal, yang pertama harus melek dan cakap dalam dunia literasi.

“Sebab kita tidak dapat membendung perubahan zaman yang sangat cepat jika minim literasi. Lebih-lebih di era digital yang pergerakannya sungguh sangat cepat,” ujarnya.

Kedua, tutur Noni yaitu harus melek ekonomi. “Perempuan harus pandai mencari duit sendiri. Mencarinya bisa lewat berbisnis, menjadi wanita karir, atau menjadi content creator, dan lain-lain,” tuturnya.

- Advertisement -

Ketiga, harus melek bersosialisasi. “Jangan kuper, jangan ekslusif, tapi harus banyak bergaul dengan siapapun. Di era digital ini bergaul bisa lebih mudah, karena tidak harus ketemu fisik tapi bisa lewat online. Banyak sekali acara seminar online, pelatihan online, yang secara waktu dan biaya lebih efisien,” ungkap Noni.

Jika menilik sejarah di Nahdlatul Ulama (NU), jelas Noni gerakan kebangkitan perempuan sudah lama digaungkan. Adanya Muslimat NU, Fatayat NU adalah manifestasi dari gerakan kebangkitan perempuan di NU.

“Kesadaran itu dibangun karena adanya rasa persaudaraan atas dasar kesamaan jenis kelamin perempuan, serta solidaritas terhadap nasib dan perjuangan perempuan untuk menemukan kembali hak-hak kemanusiaan yang telah lama tercabut oleh sistem sosial, pada saat itu bahkan sebagian masih ada sampai saat ini,” jelasnya.

Noni menyebut di Muslimat NU ada Bu Nyai Djuaesih yang merupakan tokoh pendidik-pendakwah perempuan lahir di Sukabumi pada bulan Juni 1901. Beliau adalah pelopor kebangkitan perempuan Indonesia, terutama di kalangan Nahdlatul Ulama (NU).

“Salah satu perjuangannya adalah mengusulkan agar perempuan turut andil dan aktif menjadi anggota NU. Mengobarkan semangat kaum perempuan dan menyadarkan bahwa perempuan Nahdliyin memiliki tanggung jawab yang sama dengan kaum laki-laki NU,” ujar jebolan pesantren Babussalam ini.

Sementara di Fatayat NU, tambah Noni ada tokoh kebangkitan perempuan yang dikenal sebagai ‘Tiga Serangkai’ Pendiri Fatayat NU. Ketiga perempuan itu telah melakukan koordinasi dan konsolidasi pemudi-pemudi NU pada sekitar tahun 1948. Yaitu: Khuzaemah Mansur, Aminah Mansur, Murtosijah Chamid.

“Ketiganya berperan besar dalam perjuangan mendirikan Fatayat NU. Kontribusi penting Fatayat NU pada masa itu adalah ikut serta mencerahkan kaum perempuan lapisan bawah berkultur santri. Dimana prioritas programnya adalah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga sekolah guru,” ungkap Aktivis Perempuan alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Sedangkan dalam gerakan Nahdlatun Nisa’, menurutnya ada tiga pilar yang harus diperjuangkan. Di antaranya adalah Al-Hurriyah atau pembebasan (kemerdekaan) yaitu konsep dimana perempuan harus mempunyai mental yang kuat untuk membebaskan dirinya. Bebas dari kebodohan, kejumudan, dan taqlid terhadap teks-teks yang mengurung untuk berdzikir, berfikir, dan beramal shaleh. Kebebasan dalam Islam adalah mencakup kebebasan berpendapat, berfikir, berpolitik, dan ekonomi.

Selain itu ada Al-Adalah atau keadilan, adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan. Itulah representasi dari Aswaja yang tidak hanya dimaknai sebagai manhaj al fikr (metode atau teori berpikir), namun juga al harakah (gerakan) maupun as siyasah (poilitik).

Yang tidak kalah penting, lanjut Noni, adalah Al Musawwamah atau kesetaraan, yang dimaksud di sini adalah kesetaraan kesamaan hak untuk mendapatkan ruang dan akses publik untuk mengamalkan ilmu dan pengetahuan seluas-luasnya seperti, penyadaran budaya patriarki, kapitalisme pasar, imperialisme atau penjajahan gaya baru, dan fasisme religius atau pemasungan hak-hak perempuan dengan dalil agama, sehingga muncul tafsir misogenis yaitu penafsiran ayat Al-Qur’an yang merendahkan kedudukan perempuan. Misogini sendiri adalah kebencian, penghinaan, atau prasangka terhadap perempuan).

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER