MONITOR, Jakarta – Kementerian Agama terus mematangkan konsep “Kurikulum Cinta” dan “Eco-Thelogy” agar bisa segera diterapkan. Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan, dua konsep ini merupakan refleksi mendalam atas peran agama dalam membangun masyarakat yang rukun dan menjaga kelestarian bumi sebagai amanah Tuhan.
Dua konsep ini dibahas bersama dalam seminar internasional bertajuk “Kurikulum Cinta dan Eco-Theology sebagai Basis Gerakan Implementasi Deklarasi Jakarta” di Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan. Giat ini diselenggarakan Kemenag bekerja sama dengan Pesantren As’adiyah, Sengkang.
Hadir, mantan Deputy Menteri Wakaf Mesir As-Said Muhamad Ali Al-Husaini, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Arsad Hidayat, Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Nyayu Khodijah, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Hamdan Juhanis, dan civitas academica Perguruan Tinggi Keagamaan. Sekjen Kemenag Kamaruddin Amin dan Dirjen Bimas Islam Abu Rokhmad juga terjadwal menjadi pembicara
“Kurikulum Cinta dan Eco-Theology menjadi landasan penting dalam membentuk kesadaran kolektif untuk kehidupan yang lebih baik. Dua isu ini beberapa waktu lalu kami deklarasikan bersama Paus Fransiskus dalam suatu pernyataan bersama ‘Deklarasi Istiqlal’,” terang Menag di Jakarta, Selasa (4/2/2025).
Dijelaskan Menag, konsep Kurikulum Cinta merupakan seperangkat sistem dan fondasi hidup bersama dalam keragaman, untuk kerukunan umat beragama, baik internal maupun antarumat beragama. Cinta adalah inti dari segala tindakan kebaikan.
“Kurikulum Cinta adalah konsep yang menekankan pentingnya pendidikan berbasis kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan. Nilai ini harus menjadi bagian utama dalam sistem pendidikan kita, baik di lembaga formal maupun dalam lingkungan sosial dan keluarga, termasuk dalam kehidupan Pondok Pesantren,” sebut Menag.
Sudah seharusnya, kata Menag, pendidikan agama tidak hanya mengajarkan hal ritual-formalistik, tetapi juga menanamkan ruh dan semangat moderasi dan penghormatan terhadap keberagaman. Di Indonesia, kita telah melihat bagaimana pesantren, madrasah, dan sekolah-sekolah berbasis agama mulai mengajarkan toleransi dan harmoni dalam kehidupan berbangsa. “Ini adalah langkah maju yang harus terus kita dorong dan perkuat,” tuturnya.
“Dalam kehidupan sosial, “Kurikulum Cinta” dapat diimplementasikan melalui berbagai gerakan dan program yang memperkuat solidaritas antarumat beragama. Misalnya, dialog lintas iman, aksi sosial bersama, dan kampanye perdamaian,” sambungnya.
Terkait Eco-Theology, Menag menjelaskan bahwa itu menjadi landasan spiritualitas dalam upaya pelestarian lingkungan. Konsep “Eco-Theology” mengajarkan bahwa menjaga bumi bukan sekadar upaya ilmiah atau kebijakan negara, tetapi juga merupakan bagian dari spiritualitas dan ibadah kita kepada Tuhan.
“Gerakan lingkungan berbasis keagamaan telah berkembang di banyak tempat. Di Indonesia, kita telah melihat inisiatif masjid ramah lingkungan (eco-friendly mosque), pesantren hijau (green pesantren), gereja berkelanjutan, dan lainnya yang memanfaatkan energi terbarukan dan praktik ramah lingkungan. Ini adalah contoh-contoh baik yang harus terus kita kembangkan sebagai wujud nyata dari eco-theology dalam kehidupan umat beragama,” tandasnya.
Spirit Deklarasi Istiqlal
Mewakili Dirjen Bimas Islam Abu Rokhmad, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Arsad Hidayat mengatakan, saat ini dunia sedang dihadapkan pada tantangan dehumanisasi dan kerusakan alam. Dehumanisasi ditandai terutama dengan masih terjadinya praktik kekerasan dan konflik yang menimbulkan korban jiwa. Kerusakan alam telah berakibat bencana, pemanasan global, dan cuaca tak menentu.
BMKG, kata Arsad, menyebutkan suhu udara Indonesia pada Januari 2025, merupakan yang tertinggi ke-11 sepanjang periode pengamatan sejak 1981. Climate.gov juga mencatat, laju pemanasan bumi sejak 1982 tiga kali lebih cepat, yaitu mencapai 0,20° C per dekade. Hasil riset pada 2024 juga menyebutkan selama 10 tahun terakhir luas kehilangan hutan telah mencapai 12,5 juta ha. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan.
“Semua kita wajib terpanggil untuk memperbaiki keadaan. Agama dan tokoh agama diyakini memiliki peranan sangat penting dan strategis dalam membentuk pengetahuan dan pemahaman masyarakat. Tokoh agama, dengan bahasa agama yang dimilikinya, diyakini dapat memengaruhi publik dan berdampak signifikan bagi perubahan yang diharapkan,” ujar Arsad.
Menurutnya, Deklarasi Istiqlal yang ditandatangani Imam Besar Masjid Istiqlal dan pimpinan Katolik Paus Fransiskus pada 5 September 2024 di Jakarta, diyakini akan memberi dampak signifikan bagi perubahan kondisi dehumanisasi dan kerusakan alam. Ada dua isu utama dalam Deklarasi Istiqlal, yaitu: melawan dehumanisasi, dan memperkuat upaya pelestarian lingkungan.
“Dalam perkembangannya, kita semua mengikuti ulasan-ulasan Bapak Menteri Agama, atau Imam Besar Istiqlal, yang menggunakan dua diksi yang relevan dengan dua kata kunci Deklarasi Istiqlal, yakni ‘kurikulum cinta’ dan ‘eco-theology’. Kedua hal ini perlu terus diamplifikasi dan diimplementasikan,” jelas Arsad.
Seminar internasional ini mengundang dan menghadirkan banyak unsur se-Sulawesi Selatan, nasional bahkan internasional. Hadir di lokasi acara, lebih dari 200 tokoh. Selain itu, ada lebih dari 1.000 peserta yang mengikutinya secara virtual melalui aplikasi zoom. Acara ini juga disiarkan melalui chanel YouTube As’adiyah.