Minggu, 29 Desember, 2024

Tak Hanya untuk Pangan, Sektor Kelautan Perikanan Bisa Jadi Sumber Pendapatan dan Devisa Negara

MONITOR Jakarta – Dengan pengelolaan yang bijaksana sektor kelautan dan perikanan Indonesia tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional, tetapi juga dapat menjadi sumber pendapatan dan devisa yang besar bagi negara.

Hal tersebut disampaikan guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Prof Rokhmin Dahuri saat menjadi narasumber utama diskusi daring yang diselenggarakan oleh Masyarakat Petani dan Pertanian Organik Indonesia (Maporina) pada Jum’at (27/12/2024).

Dalam paparannya, Anggota Komisi IV DPR RI 2024 – 2029 itu menegaskan bahwa sektor kelautan dan perikanan Indonesia memiliki potensi luar biasa yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi sumber pangan berkelanjutan dan memberikan kesejahteraan bagi petani dan nelayan. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan pendidikan, teknologi, kolaborasi yang solid, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Pada kesempatan itu, Prof Rokhmin Dahuri menekankan pentingnya pangan dalam kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Ia mengungkapkan bahwa pangan tidak hanya sebagai kebutuhan dasar, tetapi juga memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk kualitas sumber daya manusia (SDM) dan menentukan keberlanjutan serta kedaulatan sebuah negara.

- Advertisement -

Menurutnya, kualitas SDM adalah kunci kemajuan sebuah bangsa, karena masyarakat yang sehat dan cerdas akan mampu berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial.

“Pangan menentukan tingkat kesehatan, kecerdasan, dan kualitas SDM. “You are What you eat” (FAO dan WHO, 2000). Kualitas SDM adalah kunci kemajuan sebuah bangsa!” katanya.

Prof. Rokhmin Dahuri juga menyampaikan bahwa negara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang yang ketergantungan pangannya pada impor akan menghadapi kesulitan besar dalam mencapai kemakmuran. “Negara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang, akan susah (tidak akan) maju dan Makmur, bila pemenuhan pangannya dari impor,” kata Prof Rokhmin Dahuri mengutip FAO, 2000.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta orang harus memperkuat kemandirian pangan untuk menghindari ketergantungan pada impor pangan yang rentan terhadap fluktuasi harga dan ketidakstabilan global.

“Oleh karena itu, kita harus memperkuat ketahanan pangan dan kemandirian pangan dengan memanfaatkan potensi yang ada di dalam negeri,” tegas Prof. Rokhmin Dahuri.

Pangan Adalah Hak Asasi

Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan bahwa pangan bukan hanya sekadar kebutuhan, tetapi juga hak azasi manusia yang harus dipenuhi oleh setiap negara untuk memastikan keberlangsungan hidup dan kesejahteraan rakyatnya.

Pangan merupakan elemen fundamental yang mendasari kualitas hidup, kesehatan, dan produktivitas suatu bangsa. Pangan yang cukup, berkualitas, dan terjangkau adalah kunci kesejahteraan serta kemajuan suatu negara.

Ia menekankan bahwa pangan merupakan hak azasi yang harus dijaga oleh setiap negara. Indonesia, dengan segala potensi yang dimilikinya, harus memperkuat ketahanan pangan dan kemandirian pangan untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini.

“Pangan adalah hak asasi setiap manusia dan merupakan faktor utama dalam menjaga keberlangsungan hidup, baik secara individu maupun negara. Tantangan yang ada, baik dari segi suplai pangan, perubahan iklim, hingga ketegangan geopolitik, memerlukan kerja keras bersama untuk menghadapinya,” ujar Prof. Dahuri dalam diskusi tersebut.

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri mengutip perkataan Presiden Soekarno (1957) yang menyatakan bahwa “Pangan adalah hidup dan matinya sebuah bangsa”.

“Seperti yang dikatakan oleh Presiden Soekarno, “Pangan adalah hidup dan matinya sebuah bangsa”, yang menegaskan bahwa ketahanan pangan adalah kunci untuk kemajuan dan kedaulatan bangsa,” sebut mantan menteri kelautan dan perikanan itu.

Pernyataan ini menegaskan betapa krusialnya pangan dalam menjaga kemakmuran dan keberlanjutan suatu negara. Tanpa ketersediaan pangan yang mencukupi, suatu negara akan kesulitan untuk bertahan dan berkembang.

“Pangan adalah jantung dari kemajuan sebuah negara. Negara yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, akan kesulitan untuk maju dan makmur,” ungkap Prof. Rokhmin Dahuri.

Pentingnya Kemandirian Pangan

Menurut Prof. Dahuri, pangan merupakan salah satu dari 5 Butsarman (Pangan, Sandang, Papan, Kesehatan, dan Pendidikan) yang paling utama dan menjadi dasar bagi kelangsungan hidup setiap individu dan bangsa.

Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dunia, permintaan terhadap pangan semakin tinggi. Prof. Dahuri mengingatkan bahwa pada tahun 2050, jumlah penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 9,7 miliar orang, yang berarti kebutuhan pangan akan meningkat secara signifikan. Meningkatnya permintaan pangan ini menjadi tantangan besar bagi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, dalam memastikan ketahanan pangan dan ketersediaan pangan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Dengan jumlah penduduk yang terus berkembang, kebutuhan pangan akan terus meningkat. Hal ini menuntut kita untuk lebih serius dalam mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya pangan yang ada,” tambah Prof. Dahuri.

Di sisi lain, suplai pangan global justru menghadapi banyak tantangan yang menyebabkan penurunan ketersediaan pangan di seluruh dunia. Beberapa faktor penyebab penurunan suplai pangan secara global yang disampaikan Prof. Dahuri antara lain:

Pertama, Alih Fungsi Lahan Pertanian

Alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan, industri, atau infrastruktur menjadi salah satu penyebab menurunnya luas lahan yang digunakan untuk produksi pangan. Hal ini mengurangi kemampuan sektor pertanian untuk menghasilkan pangan yang cukup bagi populasi dunia.

Kedua, Triple Ecological Crisis

Perubahan Iklim Global (Global Climate Change): Dampak dari perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem, kekeringan, dan banjir, berdampak besar pada produktivitas pertanian.

Kehilangan Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Loss): Menurunnya keanekaragaman hayati menyebabkan ketergantungan pada beberapa jenis tanaman atau hewan tertentu yang bisa mengancam ketahanan pangan.

Polusi: Polusi yang merusak lingkungan dan kualitas tanah juga menghambat kemampuan pertanian untuk memproduksi pangan secara berkelanjutan.

Ketiga, Tensi Geopolitik yang Meningkat.

Konflik internasional, seperti Perang Rusia vs Ukraina, genosida Israel terhadap Palestina, dan rivalitas China vs AS, mempengaruhi stabilitas ekonomi global dan pasar pangan. Perang Ukraina, misalnya, mengganggu pasokan gandum dan bahan pangan penting lainnya di pasar internasional.

Keempat, Pembatasan Ekspor oleh Negara Produsen Pangan.

Negara-negara produsen pangan besar seperti Rusia, India, dan Vietnam mulai membatasi ekspor pangan mereka untuk menjaga keamanan pangan domestik. Hal ini memperburuk keterbatasan pasokan pangan global dan meningkatkan ketidakpastian pasokan pangan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Dewan Pakar ASPEKSINDO (Asosiasi Pemerintah Daerah Pesisir dan Kepulauan se Indonesia) itu , menyampaikan pandangannya mengenai ketahanan pangan sebagai salah satu pilar utama yang menentukan kesejahteraan dan kemandirian suatu bangsa. Salah satu topik penting yang beliau paparkan adalah Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Indonesia, yang menggambarkan kondisi dan status ketahanan pangan di berbagai provinsi di Indonesia.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, *lIndeks Ketahanan Pangan (IKP) digunakan untuk mengukur tingkat ketahanan pangan di tingkat provinsi berdasarkan kriteria seperti aksesibilitas pangan, distribusi pangan, produksi pangan lokal, dan ketersediaan pangan.

Berdasarkan data terbaru, IKP di Indonesia menunjukkan pembagian yang cukup beragam di antara 34 provinsi, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Provinsi dengan Status Sangat Tahan (55,88%)

Sebagian besar provinsi di Indonesia berada dalam kategori sangat tahan terhadap ketahanan pangan. Ini berarti provinsi-provinsi tersebut memiliki aksesibilitas pangan yang baik, produksi pangan lokal yang cukup, dan sistem distribusi pangan yang relatif efisien.

Provinsi-provinsi ini cenderung memiliki produksi pangan yang stabil dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya.

  1. Provinsi dengan Status Tahan (29,41%)

Sebagian besar provinsi di Indonesia juga berada dalam kategori tahan, yang artinya mereka memiliki ketahanan pangan yang relatif baik, meskipun masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi, seperti kerentanan terhadap perubahan iklim atau fluktuasi harga pangan.

Provinsi dalam kategori ini masih memiliki akses pangan yang cukup dan produksi pangan yang memadai, tetapi ada beberapa faktor yang perlu diperbaiki untuk mencapai ketahanan pangan yang lebih tinggi.

  1. Provinsi dengan Status Agak Tahan (8,82%)

Beberapa provinsi di Indonesia memiliki status agak tahan, yang menandakan bahwa mereka menghadapi beberapa masalah dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, seperti terbatasnya akses ke pangan atau terjadinya penurunan produksi pangan akibat faktor alam atau ekonomi.

Ketahanan pangan di provinsi-provinsi ini masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki infrastruktur pertanian, distribusi pangan, serta pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik.

  1. Provinsi dengan Status Rentan (5,88%)

5,88% provinsi di Indonesia berada dalam kategori rentan terhadap ketahanan pangan, yang berarti mereka menghadapi ancaman besar terhadap ketersediaan pangan*l. Hal ini bisa disebabkan oleh terbatasnya lahan pertanian, kerusakan lingkungan, bencana alam, atau ketidakmampuan untuk mengakses pangan yang cukup.

Provinsi-provinsi ini memerlukan perhatian khusus dalam hal peningkatan ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya alam agar dapat mengurangi kerentanannya terhadap krisis pangan.

Penyebab dan Tantangan dalam Ketahanan Pangan

Prof. Dahuri juga memaparkan beberapa tantangan besar yang dihadapi dalam memastikan ketahanan pangan yang merata di seluruh Indonesia, antara lain:

  1. Alih Fungsi Lahan Pertanian: Salah satu tantangan besar dalam ketahanan pangan Indonesia adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman atau infrastruktur. Perubahan penggunaan lahan ini mengurangi luas lahan yang dapat digunakan untuk pertanian, yang berdampak langsung pada produksi pangan lokal.
  2. Perubahan Iklim Global: Perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem seperti kekeringan atau banjir semakin sering terjadi, memengaruhi produktivitas pertanian dan ketahanan pangan. Perubahan iklim mengancam keberlanjutan produksi pangan di banyak daerah, terutama yang bergantung pada pertanian musiman.
  3. Ketergantungan pada Impor Pangan: Beberapa provinsi, terutama yang berada di luar pulau Jawa, mengalami ketergantungan yang tinggi pada impor pangan untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Ketergantungan pada impor pangan ini membuat Indonesia lebih rentan terhadap fluktuasi harga pangan global dan ketidakpastian pasokan pangan internasional.
  4. Krisis Geopolitik dan Global: Krisis geopolitik, seperti perang Rusia vs Ukraina, atau tensi politik di negara-negara besar, juga memengaruhi ketahanan pangan global. Negara-negara produsen pangan besar mulai membatasi ekspor pangan mereka untuk menjaga keamanan pangan domestik, yang berpotensi mengganggu pasokan pangan Indonesia.
  5. Ketidakmerataan Pembangunan Infrastruktur: Ketidakmerataan pembangunan infrastruktur pertanian, seperti irigasi, gudang penyimpanan, dan transportasi pangan, menyebabkan kerugian pascapanen dan menghambat distribusi pangan yang efisien, terutama di daerah-daerah terpencil.

Ketergantungan Impor Beras yang Meningkat

Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea tersebut mengungkapkan kekhawatiran terhadap ketergantungan impor beras di Indonesia. Pada 2024, Indonesia diperkirakan akan mengimpor 5,17 juta ton beras. Angka ini sangat signifikan karena melampaui rekor impor sebelumnya pada tahun 1999 yang hanya mencapai 4,75 juta ton.

Proyeksi ini mencerminkan ketergantungan yang semakin besar pada impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, yang tentunya menimbulkan kekhawatiran serius terhadap ketahanan pangan Indonesia.

Beliau mengungkapkan bahwa ketergantungan terhadap impor beras menjadi masalah besar bagi ketahanan pangan nasional. Impor beras yang terus meningkat menunjukkan adanya kesenjangan antara produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi yang terus berkembang.

Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun produksi beras Indonesia terus berjalan, namun konsumsi beras yang tinggi, ditambah dengan faktor-faktor lain seperti perubahan iklim, alih fungsi lahan pertanian, dan bencana alam, membuat negara harus mengandalkan pasokan dari luar negeri.

Ketergantungan yang semakin besar pada impor beras menimbulkan kekhawatiran serius terhadap ketahanan pangan nasional. Jika Indonesia terus mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan beras, maka negara ini akan menghadapi kerentanannya terhadap fluktuasi harga pangan global dan risiko pasokan pangan yang tidak stabil. Hal ini juga berpotensi merugikan petani lokal dan mengurangi produksi pangan dalam negeri.

“Ketergantungan yang tinggi terhadap impor beras menimbulkan ketidakpastian dalam ketahanan pangan kita. Jika terjadi gangguan pada pasokan global, kita bisa kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional,” tambah Prof. Rokhmin Dahuri.

Dalam penjelasannya, Prof. Rokhmin Dahuri menyoroti sejumlah faktor yang menyebabkan ketahanan pangan Indonesia semakin terancam, termasuk perubahan iklim, minimnya ketersediaan pupuk, menurunnya jumlah petani, dan alih fungsi lahan pertanian yang semakin masif, terutama di Pulau Jawa.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan bahwa produksi beras nasional telah menunjukkan kecenderungan penurunan yang persisten sejak 2018. Hal ini memprihatinkan, mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang besar dan bergantung pada beras sebagai makanan pokok utama. Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan produksi beras nasional antara lain:

  1. Perubahan Iklim (El-Nino)

El-Nino yang menyebabkan cuaca ekstrem seperti kekeringan dan penurunan curah hujan berpengaruh pada produktivitas pertanian, termasuk padi. Perubahan iklim menyebabkan ketidakpastian dalam hasil panen, yang berdampak langsung pada pasokan beras dalam negeri.

  1. Minimnya Ketersediaan Pupuk

Salah satu faktor yang menghambat produksi beras adalah minimnya ketersediaan pupuk yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan hasil panen padi. Tanpa pupuk yang cukup, kualitas dan kuantitas produksi pangan akan sangat terpengaruh.

  1. Jumlah Petani yang Menurun dan Menua

Jumlah petani di Indonesia semakin menurun, terutama karena banyak petani muda yang tidak tertarik untuk melanjutkan profesi ini. Selain itu, petani yang ada semakin menua, sehingga produktivitas pertanian menjadi terhambat. Generasi muda lebih memilih bekerja di sektor lain, meninggalkan sektor pertanian yang semakin kekurangan tenaga kerja.

  1. Alih Fungsi Lahan Sawah

Alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan, industri, atau infrastruktur semakin tidak terkendali, terutama di Pulau Jawa. Ini terjadi seiring dengan pesatnya urbanisasi dan berbagai proyek strategis nasional (PSN) yang mengubah lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian.

Ancaman Lost Generation

Prof. Rokhmin Dahuri mengingatkan bahwa jika masalah ketahanan pangan ini tidak segera diatasi, maka Indonesia akan menghadapi ancaman “lost generation”. Generasi mendatang yang tidak mendapatkan pangan bergizi dan kesehatan yang baik akan mengalamifisik yang lemah dan kecerdasan yang rendah, yang pada gilirannya akan memengaruhi produktifitas dan kemajuan bangsa di masa depan.

“Jika masalah ketahanan pangan tidak segera diatasi, kita akan menghadapi generasi yang lemah secara fisik dan rendah kecerdasannya. Ini adalah ancaman nyata yang bisa merugikan bangsa dalam jangka panjang. Inilah yang kita sebut dengan ‘lost generation’,” ujarnya.

Selain itu, Prof. Rokhmin Dahuri juga menyampaikan bahwa biaya yang diperlukan oleh warga Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pangan bergizi seimbang sangat tinggi. Berdasarkan standar Healthy Diet Basket (HDB) yang ditetapkan oleh FAO pada tahun 2020, biaya untuk memenuhi kebutuhan pangan bergizi seimbang adalah Rp 22.126 per hari atau Rp 663.791 per bulan.

Namun, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan kekhawatiran besar mengenai kemampuan masyarakat untuk memenuhi biaya tersebut. Berdasarkan perhitungan, sekitar 183,7 juta orang atau 68% dari total penduduk Indonesia tidak mampu memenuhi biaya pangan bergizi seimbang tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang sehat dan bergizi, yang dapat berdampak pada kesehatan dan perkembangan generasi muda.

“Biaya untuk mendapatkan makanan yang bergizi sangat tinggi, dan sangat sedikit keluarga yang mampu memenuhinya. Ini adalah masalah serius yang perlu segera diselesaikan agar kita tidak mengalami kerugian jangka panjang,” tegasnya.

Selanjutnya, Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany itu memaparkan tantangan dan potensi Indonesia di berbagai sektor: Literasi, Produktivitas, Inovasi, dan Pangan Akuatik.

Berdasarkan berbagai riset dan data, jelas Prof. Dahuri, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan besar dalam hal pendidikan, ekonomi, dan ketahanan pangan, namun juga memiliki potensi besar dalam sektor pangan akuatik yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung ketahanan pangan dan ekonomi nasional.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER