MONITOR, Jakarta – Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Sebab, kontribusinya bisa mencapai 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, masalah bahan baku, perizinan hingga persaingan pasar masih menjadi kendala yang kerap dikeluhkan pelaku UMKM.
Segala langkah dan upaya untuk mendorong geliat UMKM ini pun telah dilakukan oleh DPR. Misalnya, DPR telah mendorong agar ekosistem digital terus diperbaiki. Semata-mata agar para pelaku UMKM bisa memasarkan produknya secara online dan cakupan pasarnya lebih luas.
DPR mendukung program integrasi ekosistem ultra mikro yang melibatkan beberapa BUMN seperti Bank Rakyat Indonesia dan Pegadaian. Hal ini untuk membantu pelaku UMKM mendapatkan akses permodalan.
DPR juga berupaya memperkuat kerjasama dengan berbagai stakeholders, termasuk pemerintah daerah dan sektor swasta, untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan UMKM. Selain itu, dorongan agar perizinan bagi UMKM dipermudah terus dilakukan oleh DPR.
Ternyata, sejumlah kendala ini selaras dengan apa yang dirasakan oleh para pelaku UMKM di lapangan.
Salah satunya pelaku UMKM bidang fashion anak bernama Rizka Fadillah. Rizka memproduksi boneka rajut hingga pakaian anak.
Rizka menjalankan usaha ini karena sebelumnya berpengalaman sebagai guru playgroup. Dia melihat peluang dalam bidang ini. Namun, dia baru bisa memulai usaha kecil karena modalnya tak banyak.
“Karena modal saya nggak banyak, memulai sesuatu yang besar itu tidak bisa. Makanya dimulainya dari UMKM ini,” kata Rizka.
Dia juga mengungkap kendala-kendala yang ia alami. Salah satunya yakni persaingan pasar di sektor online. Bahkan, ia harus rela menekan keuntungan demi membuat produknya lebih murah.
“Saat ini jalan mau empat tahun. Saat ini tantangannya persaingan pasar ya. Utamanya waktu berjualan online. Kita nggak ngerti kok mereka (yang di online) bisa menghitung harga jual yang murah banget. Bahkan ada produk yang kita samain harganya, tapi harus kita press keuntungan kita sendiri,” tuturnya.
“Ini persaingan paling berat. Mungkin kita nggak bisa bersaing dengan harga, tetapi kita bisa bersaing dengan kualitas,” lanjutnya.
Dia juga berharap kepada DPR untuk mendorong perbaikan program pelatihan. Dia ingin acara-acara yang diadakan oleh dinas terkait bisa lebih baik. Sebab, kebanyakan pelatihan UMKM hanya didominasi oleh pelatihan bidang kuliner.
“Sejujurnya bagus acara-acara itu, tapi pelatihannya masih didominasi bidang kuliner. Sedangkan yang kriya masih belum banyak,” tuturnya.
Sementara itu, ada juga pelaku UMKM bernama Mpi Razan. Dia selama ini bergerak di UMKM bidang minuman rempah-rempah. Dia mengungkapkan bahwa selama ini kendala yang ia rasakan adalah persoalan bahan baku.
“Kendalanya harga bahan baku, rempah-rempah. Misalnya kadang harga jahe itu kadang RP 30 ribu kadang Rp 40 ribu. Terus harga gula juga. Itu fluktuatif,” kata Razan.
Dia mengaku pernah mendapatkan bantuan dari KADIN hingga dinas terkait. Ia juga pernah mendapat pelatihan soal branding.
“Pernah dibantu untuk open booth dari KADIN Kota Bogor. Terus paling bantuan pemerintah yang lain ya Bogor Creative Center. Bekraf juga pernah bantu. Jadi secara tidak langsung kita difasilitasi dapat pelatihan, dapat pelatihan soal branding,” katanya.
Razan merasa terbantu dengan program-program UMKM tersebut. Namun, ia berharap DPR bisa turut memperbaiki regulasi yang kerap membingungkan.
“Dibilang membantu sih membantu. Tapi cuma hal yang sedikit ribet itu soal IMB. Jadi membingungkan di regulasi. Karena tempat tinggal dan usaha beda,” katanya.
Pandangan lain terkait kendala yang dialami UMKM disampaikan oleh Rachelthera Triyati. Rachel mempunyai pengalamam belasan tahu mendampingi UMKM. Dia juga merupakan Ketua Umum Galeri Etnik Nusantara.
Berdasarkan pengalamannya, kendala UMKM selalu terkait dengan ketekunan. Dia melihat bahwa banyak UMKM yang tidak mau berkorban lebih dulu.
“Kendala UMKM itu tidak setia, tidak mau berkorban, tidak tekun,” ujarnya.
Akibatnya, kondisi ini juga berdampak pada sulitnya permodalan. Ada ketidakpercayaan terhadap UMKM. “Selain itu permodalan. Karena terkadang ada keraguan terhadap UMKM,” katanya.
Atas segala kendala ini, Rachel berharap DPR bisa mendorong perbaikan pada sistem. Sebab, sistem saat ini juga masih menyulitkan pelaku UMKM yang ingin memasarkan produknya.
“Karena sistem, masukkan produk anak-anak itu harus melalui pengadaaan,” tuturnya.
Akses Permodalan Hingga Perizinan Perlu Diperbaiki
Sementara itu, pengamat UMKM Siti Nurjanah memaparkan pandangannya terkait kendala yang kerap dialami UMKM. Beberapa di antaranya seperti masalah modal.
“Mereka literasi keuangannya kurang, sehingga mereka tidak bisa mengembalikan modal. Jadi berputar seperti itu. Dikasih akses permodalan pun masalahnya sama,” kata Siti Nurjanah.
Dia juga menyinggung soal masalah perizinan. Selain itu, sertifikasi halal dan cek standar produk untuk ekspor pun perlu diperhatian. “Kemudian masalah izin, dari izin dari RT, halal produk, atau masalah ketika produknya harus diekspor,” katanya.
“Terus masalah produk standar. Misal untuk madu. Itu kan tergantung musim. Musim ini rasanya apa, itu kan beda. Tapi ketika diekspor, mereka tidak punya standar,” lanjut Siti.
Dia berharap DPR bisa mendorong pemerintah untuk terus mengadakan pelatihan UMKM. Tentunya, lanjutnya, kebijakan ini bisa dilakukan secara terukur.
“Pemerintah juga harus bisa menentukan siapa sasaran pelatihan, dan tujuannya ini untuk apa. Ketika kebijakan ini dilaksanakan, ini harus terukur. Misal produk unggulan daerah yang mau ditonjolkan apa,” katanya.