MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI, Prof Rokhmin Dahuri mengajak Semua Pihak untuk menjadikan Indonesia sebagai Produsen Ikan Nila (Tilapia) nomor satu terbesar di Dunia karena kontribusinya yang luar biasa besar dari soal Ketahanan Pangan hingga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi tinggi seperti yang dicanangkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yakni pertumbuhan Ekonomi 8 person.
“Kontribusi Ikan Nilai Luar Biasa Besar, jadi mari kita pacu Indonesia jadi Produsen terbesar Ikan Nilai di Dunia,” katanya saat menyampaikan paparan “Peningkatan Kontribusi Usaha Budidaya Dan Industri Ikan Nila bagi Ketahanan Pangan, Kualitas SDM, Dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia secara berkelanjutan” pada Diskusi Panel memperingati Hari Ikan Nasional yang diselenggarakan Regal Springs di Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong itu mengungkapkan Indonesia merupakan produsen ikan nila terbesar kedua di dunia (26% total produksi dunia), setelah China. Pada 2023 sekitar 99,2% produksi ikan nila untuk memenuhi pasar domestik (nasional), hanya 0,8% (11.166 ton) yang diekspor, dengan nilai USD 82 juta (Rp 1,3 trilyun).
Mengutip Litbang Kementerian Kesehatan Tahun 2018, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB itu menuturkan bahwa sekitar 60% total asupan protein hewani yang dikonsumsi rakyat Indonesia berasal dari ikan. Kandungan gizi ikan nila yang kaya protein (20%), omega-3, vitamin D, vitamin A, zinc, zat besi, kalsium, dan mikro nutrien lainnya membuat ikan nila sangat bagus untuk kesehatan dan kecerdasan manusia (kualitas SDM) yang mengkonsumsinya.
Pada 2023, terang Prof Rokhmin dari total produksi ikan Indonesia sebesar 5,487 juta ton; 1,369 juta ton (25%) berupa ikan nila. Dengan volume produksi 1,369 juta ton, ikan nila menempati peringkat-1, disusul oleh ikan lele 1,137 juta ton dan udang sebesar 821.060 ton.
“Budidaya Ikan Nila Banyak menyerap tenaga kerja dan menghasilkan multiplier effects yang luas,” tutur Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
“Dari sisi ekspor, Tiongkok dominan dengan nilai mencapai USD 268 Juta dan pangsa pasar sebesar 33,2% di Tahun 2022. Meskipun begitu, pertumbuhannya relatif moderat yakni hanya sekitar 2,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan Indonesia, pada periode sama nilai ekspornya hanya mencapai USD 79 juta dengan pertumbuhan yang cenderung meningkat yaitu mencapai 19%,” jelasnya.
Budidaya Nila di Danau Toba
Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin menyatakan bahwa Usaha Budidaya Ikan Nila Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba telah memberikan Kontribusi nyata terhadap perekonomian Dan kesejehteraan masyarakat Sumatera Utara, dirinya pun mengkritik pihak-pihak yang ingin menghilangkan Usaha Budidaya Nila di Danau Toba karena pertimbangan pariwisata. Padahal menurutnya sekitar 90 % total volume dan 75% total nilai ekspor ikan Nila Indonesia berasal dari usaha KJA di Danau Toba.
Sementara itu, mengutip Deltares dan Bank Dunia tahun 2017, Prof Rokhmin menyebut kontribusi ekonomi sektor pariwisata baru akan bisa menyamai kontribusi ekonomi sektor perikanan budidaya di Danau Toba saat ini, diperkirakan pada 2041 (Deltares dan Bank Dunia, 2017).
“Usaha Budidaya Nila KJA di Danau Toba memiliki nilai Ekspor sebesar USD 100 Juta (Rp 1,5 trilyun) per tahun (KKP, 2019). Menyediakan lapangan kerja: sekitar 2.500 orang pembudidaya (on farm); dan 12.500 orang yang bekerja di sektor hulu (pabrik pakan, alsintan, hatchery, dan lainnya), di sektor hilir (industri pengolahan filet ikan nila, pabrik es, cold storage, packaging, dan lainnya), rumah makan, hotel, transportasi, dan industri serta jasa terkait lainnya,” ungkapnya.
Selain itu, sebagaimana data dari Badan Pangan Dunia (FAO, 2016) roduk filet kemasan Toba Tilapia menjadi yang terbaik di dunia, dan terlaris di pasar AS, Jepang, dan Uni Eropa.
Strategi Pembangunan Budidaya dan Industri Pengolahan
Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu menyatakan pemerintah dapat melakukan berbagai Strategi Pembangunan Budidaya Dan Industri Pengolahan Ikan Nila yang produktif, efisien, Berjaya saing, inklusif dan berkelanjutan diantaranya: Pertama Menjaga, merevitalisasi, dan mengembangkan perusahaan-perusahaan ikan nila terpadu-berkelas dunia (seperti PT. Regal Spring dan PT. Suri Tani Pemuka), sehingga Indonesia menjadi pengekspor ikan nila (volume dan nilai) terbesar di dunia.
Kedua, Revitalisasi seluruh unit usaha budidaya ikan nila rakyat, supaya lebih produktif, efisien (menguntungkan), berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan (sustainable).
“Caranya dengan menerapkan Good Aquaculture Practices (Cara-cara Budidaya Ikan Terbaik): (1) lokasi budidaya sesuai RTRW, (2) penggunaan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing) bersertifikat, (3) pakan berkualitas dan teknik pemberian pakan presisi (FCR rendah, bila mungkin FCR = 1), (4) teknologi budidaya mutakhir seperti RAS dan bioflock, (5) pengendalian hama & penyakit, (6) pengelolaan kuantitas dan kualitas air, dan (7) biosecurity,” jelas Prof Rokhmin.
Ketiga, Pengembangan usaha budidaya ikan nila di wilayah-wilayah (ekosistem) perairan baru (ekstensifikasi): danau, bendungan, sungai, sawah (mina padi), dan bekas tambak udang di Pantura, sesuai dengan Daya Dukung Lingkungan masing-masing wilayah.
Keempat, Penguatan dan pengembangan industri pengolahan (manufacturing industry) dan kemasan ikan nila untuk menghasilkan produk hilir (finished products) baru yang berdaya saing tinggi, dan tanpa limbah (zero-waste).
Kelima, Penguatan dan pengembangan usaha hatchery (pembenihan) untuk menghasilkan indukan (broodstocks) dan benih ikan nila unggul, dengan jumlah yang mencukupi usaha pembesaran ikan nila di seluruh wilayah NKRI.
Keenam, Penguatan dan pengembangan industri pakan berkualitas tinggi, harga relatif murah, dan volume mencukupi.
Ketujuh, Penguatan dan pengembangan sistem logistik dan rantai pasok secara terintegrasi. Penguatan dan pengembangan infrastruktur, termasuk jaringan jalan, telkom, internet, listrik, dan air bersih. Kedelapan, Pengelolaan lingkungan perairan agar tidak tercemar.
Kesembilan, Kerjasama saling menguntungkan antara perusahaan besar dan UMKM. Kesepuluh, Kebijakan politik-ekonomi yang kondusif: moneter, fiskal, naker, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis.