MONITOR, Jakarta – Komisi XIII DPR RI mempertanyakan dasar hukum kebijakan Pemerintah yang akan memulangkan terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Veloso ke Filipina. Pakar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto Juwana menyebut DPR telah menjalani fungsi pengawasan dengan baik. “Perhatian DPR bisa dipahami mengingat DPR mempunyai fungsi pengawasan. Komisi terkait perlu untuk mempertanyakan dasar pemindahan narapidana,” ujar Prof. Hikmahanto Juwana, Selasa (26/11/2024).
Wakil Ketua Komisi XIII DPR Andreas Hugo Pareira mempertanyakan dasar hukum pengembalian Mary Jane. Sebab rencana pemulangan Mary Jane melalui transfer of prisoner itu tidak memiliki kekuatan hukum.
Hal yang sama disampaikan oleh Prof Hikmahanto yang menjelaskan bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pemulangan tahanan atau transfer of prisoner tidak dimungkinkan mengingat Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Pemasyarakatan mensyaratkan adanya UU yang mengatur Pemindahan Narapidana. “Bahkan dalam pasal 45 ayat 1 UU Pemasyarakatan disyaratkan adanya Perjanjian Pemindahan Narapidana dengan negara mitra,” jelas Guru Besar UI itu.
“Sementara perjanjian antara Indonesia dengan negara lain terkait pengalihan (pemindahan) narapidana sama sekali belum ada,” lanjut Prof Hikmahanto.
Menko Hukum HAM Keimigrasian dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyampaikan bahwa pemulangan Mary Jane diatur dalam kerangka perjanjian kerja sama dengan negara-negara sahabat dalam bentuk mutual legal assistance atau MLA atau Bantuan Timbal Balik Hukum. Hikmahanto menyebut hal tersebut juga tidak dimungkinkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. “Bila merujuk pada UU Timbal Balik Bantuan Hukum No 1 Tahun 2006 dalam Pasal 4 huruf c disebutkan dengan tegas bahwa Bantuan Timbal Balik Hukum tidak memberikan wewenang untuk pengalihan narapidana,” jelasnya.
Prof Hikmahanto kembali menegaskan bahwa hingga saat ini UU terkait Pemindahan Narapidana di Indonesia belum ada. Apalagi perjanjian antara Indonesia dengan negara lain terkait pengalihan narapidana pun sama sekali belum ada sehingga tidak ada landasan hukum yang bisa digunakan untuk pemindahan Mary Jane ke tempat asalnya. “Bila dipaksakan pemindahan Mary Jane berdasarkan MLA, hal ini berpotensi mencabik-cabik kedaulatan hukum di Indonesia,” tegas Prof Hikmahanto.
“Terlebih lagi bagi para petugas pemasyarakatan akan dalam situasi berpotensi melanggar tugas karena melepas narapidana yang tidak berdasarkan hukum,” sambungnya.
Dengan kondisi seperti ini, Prof Hikmahanto menilai warning dari DPR sebagai mitra Pemerintah sangat penting. Ia juga meminta Pemerintah mempertimbangkan pesan dari DPR sebagai lembaga legislatif. “DPR melakukan fungsinya karena kebijakan Indonesia tidak boleh diterjemahkan sebagai kebijakan eksekutif belaka,” tutur Prof Hikmahanto.
“DPR harus menjalankan fungsinya untuk memastikan adanya check and balance atas kebijakan yang diambil oleh Pemerintah,” imbuhnya.
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira mempertanyakan dasar hukum kebijakan yang digunakan Pemerintah dalam pengembalian terpidana mati kasus narkotika, Mary Jane Veloso ke Filipina. Ia menuntut Pemerintah untuk memberikan penjelasan kepada rakyat Indonesia perihal kasus tersebut. “Pemerintah dalam hal ini perlu menjelaskan dengan mekanisme dan prosedur hukum seperti apa Mary Jane ini diserahkan ke pemerintah Filipina,” kata Andreas Hugo Pareira.
Mary Jane mendekam di penjara Indonesia sejak tahun 2010 atas tuduhan penyelundupan narkotika berupa 2,6 kilogram heroin. Pekerja migran Filipina tersebut mendapat vonis hukuman mati meski terus berupaya mendapat keringanan hukum.
Setelah permohonan grasinya ditolak oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Mary Jane kini akan dikembalikan ke Filipina. Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI Yusril Ihza Mahendra mengatakan Mary Jane bukan dibebaskan tapi akan dipindahkan melalui kebijakan kerja sama pemindahan atau transfer of sentenced person (transfer of prisoner).
Andreas pun mendorong Pemerintah untuk menunjukan ketegasan hukum yang menjadi rujukan atas kebijakan Pemerintah dalam hal pemulangan Mary Jane. “Dan kalaupun dikirim ke Filipina, apakah kita sudah punya perjanjian ekstradisi dengan Filipina? Setahu saya belum,” sebut Legislator dari Dapil NTT I itu.
“Kalau belum, lantas atas dasar hukum apa pengembaliah Mary Jane ini. Hal tersebut harus dijelaskan karena menyangkut kedaulatan dan kewibawaan hukum di negara kita,” sambung Andreas.
Pimpinan Komisi di DPR yang membidangi urusan reformasi hukum dan hak asasi manusia (HAM) tersebut meminta Pemerintah untuk memberikan penjelasan yang komprehensif dan didasari landasan hukum jelas terkait kasus Mary Jane. Andreas juga mengingatkan pentingnya agar Indonesia tetap konsisten sebagai negara yang berdaulat atas hukum. “Kami ingin memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak melanggar hukum yang telah ada,” pungkasnya.