MONITOR, Jakarta – Pada momentum hari guru nasional 2024, JPPI merasa penting untuk menyoroti secara khusus kondisi guru madrasah. Tampaknya, guru madrasah seakan-akan menjadi kelompok pinggiran dalam percaturan kebijakan guru. “Bisa dibilang, keberadaanya tidak begitu mendapat perhatian pemerintah. Mereka ini diperlakukan seperti anak tiri dalam sistem tata kelola guru di Indonesia,” ujar Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI.
Soal kesejahteraan, guru madrasah bisa dikatakan menempati kasta yang paling bawah, dibandingkan dengan guru-guru di sekolah. Aneh memang. Mereka adalah sama-sama guru, punya hak dan kewajiban yang sama, tapi pemberian haknya dibeda-bedakan. Padahal peraturan rujukannya sama, UU Guru dan Dosen No.14 tahun 2005. Apalagi, jika status mereka adalah guru honorer di madrasah, beban penderitaannya pun berlipat ganda.
Soal kualitas, pun juga tak kalah memperihatinkan. Hingga kini, jumlah guru madrasah yang sudah tersertifikasi hanya berjumlah 39,2%. Padahal, berdasarkan amanah UU guru dan dosen (pasal 82 Ayat 2 ), ditegaskan bahwa 10 tahun sejak berlakunya UU Guru dan Dosen, seluruh guru harus sudah tersertifikasi. “Kini, sudah 19 tahun berlalu, nyatanya masih ditemukan sebanyak 484.737 (atau 60,8%) guru madrasah yang belum mengantongi sertifikat pendidik. Mengapa ini dibiarkan?” tanya Ubaid mempersoalkan perkara ini.
Ubaid menambahkan, jika tidak ada perubahan kebijakan pemerintah soal ini, maka diperkirakan daftar antrian PPG (Pendidikan Profesi Guru) untuk guru madrasah mencapai 53 tahun. Panjangnya antrian PPG dikarenakan pemerintah hanya kasih jatah kuota PPG untuk guru madrasah rata-rata 9000 per tahun. “Dari data ini kita bisa tahu bahwa antrian guru madrasah untuk mengikuti PPG itu lebih panjang daripada antrian haji,” kata Ubaid.
Ubaid memprediksi, nasib guru madrasah bisa jadi kian sengsara, jika pemerintah berkomitmen menunaikan janji politiknya untuk menambah gaji guru Rp. 2 juta. Karena gaji tambahan ini, ternyata tidak untuk semua guru, tapi kabarnya hanya akan diberikan kepada guru-guru yang sudah tersertifikasi. Artinya, kebijakan ini hanya akan dinikmati oleh segelintir guru madrasah. Padahal, dari 484.737 guru madarah yang berlum tersertifikasi, terdapat 455.767 (94,1%) guru madrasah yang berstatus non-ASN. Merekah yang paling terdampak dari sistem tata kelola guru yang belum berkeadilan ini.
Untuk itu, JPPI pada Hari Guru Nasional 2024 memberikan beberapa rekomendasi supaya tata kelola guru di Indonesia lebih berkeadilan bagi semua guru dan tidak diskriminatif kepada guru madrasah.
- Presiden bersama DPR RI harus membuat kebijkan satu sistem dalam tata kelola guru di Indonesia. Perbedaan akan terjadi hanya pada penempatannya saja. Ada guru yang ditempatkan di sekolah, ada pula yang di madrasah. Perbedaan tempat bertugas ini, hanyalah soal tempat bekerja, tapi soal hak dan kewajibannya haruslah setara dan berkeadilan untuk semua guru.
- Bappenas bersama Kementerian Keuangan harus merencanakan dan menyediakan dana pendidikan yang cukup untuk mempercepat target PPG untuk semua guru, khususnya untuk guru madrasah. Tindakan ini harus segera dilakukan supaya tidak perlu menunggu antrian PPG hingga 53 tahun. Jika ini dibiarkan maka sangat tidak berkeadilan dan terus memicu masalah kesenjangan kualitas guru.
- Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Agama harus menjadi leading sector untuk merumuskan kebijakan satu sistem tata kelola guru dan Menyusun roadmap bersama dalam rangka upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, baik di sekolah maupun madrasah.
- Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota harus memberikan dukungan dana untuk kesejahteraan guru madrasah yang belum tersertifikasi, khususnya yang honorer dan belum PPG, dalam bentuk pemberian insentif atau tunjangan. Sebab, mereka selama ini digaji jauh di bawah standar upah minimum.
- Organisasi profesi guru harus menjadi pilar penting dalam peningkatan kompetensi bagi para anggotanya, baik dalam bentuk pemberdayaan, pelatihan-pelatihan maupun coaching pengembangan pedagogik maupun substansi.